Apakah Anda membuat resolusi tahun baru? Ya, menyusun resolusi seolah menjadi “ritual” tahun baru, baik untuk individu maupun organisasi. Menariknya, ternyata bukan masa modern sekarang ini saja orang membuat resolusi saat tahun baru. Orang kuno di jaman Babilonia, sudah melakukannya! Berbeda dari orang di masa sekarang yang banyak menyusun resolusi untuk mengurangi berat badan, berhenti merokok, atau ‘financial planning’ yang lebih baik, di jaman kuno Babilonia, mereka umumnya berjanji pada para dewa untuk mengembalikan hutang atau barang pinjaman. Kesamaannya, baik masa modern dan jaman kuno, biasanya lewat beberapa minggu setelah resolusi dibuat, motivasi dan niat itu sudah dilupakan. Mula-mula pelanggaran dilakukan perlahan dengan alasan-alasan yang “masuk akal”. Namun lama kelamaan, kebiasaan lama pun, secara malu-malu, kembali lagi. Resolusi tidak berarti.
Mengapa resolusi sering sulit dijalankan? Oscar Wilde pernah mengatakan: "Good resolutions are simply cheques that men draw on a bank where they have no account." Jadi, kita memang perlu hati-hati karena resolusi tahun baru kita bisa berupa "false hope syndrome". Kita bisa saja merasa puas dengan resolusi yang kita buat, namun saat alarm waktu berbunyi, biasanya kita tersadar akan waktu yang terus berjalan sementara kita tetap saja meneruskan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak menguntungkan. Para ahli kerja otak mengatakan bahwa resolusi, bila tidak tepat, membutuhkan proses ‘re-wire’ otak, seolah membedah benang kusut dan meluruskannya kembali. Pola-pola pikir yang sudah menahun, misalnya mendapatkan kenikmatan dengan mencari sebatang rokok, menyulut dan menghisapnya, sudah menjadi memori yang berkarat di dalam saluran-saluran syaraf otak. Inilah basis dari perilaku standar yang ada di permukaan barisan respons sehingga akan muncul paling cepat saat kita merasa membutuhkannya. Saat kita berusaha menyetopnya, respons ini tetap berada di dalam kondisi siap dan tetap berada pada urutan teratas prioritas untuk beroperasi. Perubahan hanya bisa dilakukan, bila saluran-saluran pemikiran dirombak dan dibelokkan, dilatih dan dirangsang.
Taktik Determinasi
Kita kerap menyampaikan resolusi yang kita buat pada orang lain. Paling tidak, anggota keluarga menyaksikannya dan gembira mendengar ’niat baik’ tersebut. Ada juga teman yang mengumumkannya di depan para karyawannya. Kesemuanya sah-sah saja, asalkan kita menyadari bahwa resolusi sesungguhnya adalah komunikasi dengan diri sendiri, “in-person communication”. Kita perlu tuntas menjawab: “Mengapa kita harus berubah? Mengapa kita harus berhenti merokok, menurunkan berat badan atau berhemat?”, “Apa untungnya buat kita? Apakah kita ‘senang’ melakukan proses perubahan ini?”, “Apakah sasaran perubahan ini sesuai dengan nilai dan budaya kehidupan yang kita anut?”. Kita bahkan juga perlu berdialog untuk menjawab: “Siapa yang mendukung, mengejek, atau menghambat program kita? Mengapa?”. “Apakah kita mengerti bagaimana proses menghentikan kebiasaan buruk kita?”. Dialog internal inilah yang perlu diperkuat sehingga kita bisa melihat dengan jelas tujuan kita, menjadi yakin dan bisa puas diri dengan perubahan dan perbaikan hidup yang kita pilih. Di sini sesungguhnya letak ‘being realistic’-nya.
Target dan pernyataan ‘bombastis’ yang kita tetapkan untuk diri kita, umumnya akan lebih sulit dibuatkan perbaikannya dibanding dengan pernyataan yang dibuat dengan ukuran waktu yang lebih pendek. Orang kadang berpikir bisa kehilangan beberapa kilo berat badan dalam sebulan, padahal metabolisme tubuhnya tidak bisa menyesuaikan situasi begitu cepat. Alhasil, diet tidak berhasil dan pola makan kembali seperti sedia kala. Harapan yang digantung terlalu tinggi, justru mempunyai potensi gagal lebih besar. Bila kita tidak paham langkah dan tahapannya, tidak bisa spesifik, kuantitatif untuk memonitor kemajuannya, kita dengan mudah akan tersesat di tengah jalan. Pada saat itulah, kebiasaan lama muncul kembali sebagai solusi, dan kita gagal berubah. Sebaliknya, bila kita menguasai proses, kita bisa merasa lebih ‘powerful’ karena kita tahu bagaimana melakukannya. Bila kita ingin, misalnya, belajar bahasa Itali, kita bukan hanya sekedar perlu tahu tempat kursusnya, tetapi juga tahu, bagaimana meluangkan waktu untuk menjadwal kursusnya, bagaimana membuat belajar bahasa itu lebih mudah, dan hal-hal lain agar persistensi kita terbantu dengan mudah. Sahabat terdekat kita, yaitu diri kita sendiri, perlu kita maafkan bila ada kegagalan yang pernah kita buat. Kita tidak perlu terus menganalisis penyebab kegagalan, namun cukup mengingat-ingat respon-respon apa yang efektif dan mana yang kurang efektif. Pelajari apa yang kita bisa nikmati dan akan kita ulang.
Milestone Perubahan
Awal tahun jelas momen yang baik untuk melakukan refleksi ataupun evaluasi. Kita perlu mengingat bahwa akhir dan awal tahun hanyalah sebuah tonggak dari perjalanan yang panjang. Begitu kita melewatinya, ‘life goes on’. Perubahan dan perbaikan akan terus selalu terjadi. Kita perlu sadari bahwa hidup bukan seperti menumpang kereta api, di mana kita bisa berhenti di stasiun tertentu. Dalam hidup, kita harus jalan terus. Stasiun demi stasiun memang kita lewati, tetapi stasiun hanyalah ‘milestones’ saja. Jadi, lebih baik kita membentuk ‘mindset’ untuk berubah setiap saat dan tidak berpatokan pada masa lalu.
Di sisi lain, langkah-langkah kecil dalam upaya perbaikan perlu kita catat, dan kita hargai perubahannya. Kita pun perlu pandai-pandai mereward diri kita, misalnya membeli baju baru, begitu kita turun berat badan 2 kilo. Kita perlu berfokus pada perilaku baru, cara pikir baru yang menyertai gaya hidup sehat, cara kerja lebih efisien. Kita perlu belajar mengadaptasi nilai-nilai baru dalam kehidupan orang yang lebih muda sehingga kita tidak sekedar ingin berubah tapi mengunakan cara lama. Di jaman modern sekarang, banyak sekali perangkat lunak yang bisa kita manfaatkan untuk memonitor niak baik kita. Ada aplikasi mengukur gizi makanan, pembakaran kalori, bahkan bersaing dengan teman-teman di komunitas untuk menjaga niat baik kita bisa berhasil. Tidak salah juga hasil penelitian Stanford University, yang mengatakan bahwa setiap orang yang membukukan perkembangan perubahaannya, biasanya mencapai keberhasilan lebih dari 70%. Jadi, memang: Don’t Just Think It, Ink it!
(Dimuat di Kompas, 4 Januari 2014)