Orang tua saya dulu, mengajarkan formula sederhana mengenai etiket makan. Mereka berkata, “Ingat, “left” itu terdiri dari 4 huruf, seperti halnya “food”. Sementara “right” terdiri dari 5 huruf, sama halnya dengan “drink”. Jadi, selalu letakkan makanan di sebelah kiri, serta minuman di sebelah kanan. Jangan dipindah-pindah, nanti minumanmu bisa terminum orang lain dan kamu akan terlihat tidak tahu aturan…”. Nyatanya, tidak semua orang mendapatkan pelajaran berharga mengenai etiket sehari-hari. Kita kerap melihat, orang-orang “berpangkat” sekalipun, tidak mengindahkan etiket, misalnya berbicara terlalu keras, makan sambil mengeluarkan suara, tidak mengindahkan taata cara makan, bahkan bersendawa tanpa rasa bersalah. Mungkin mereka berpendapat, “persetan dengan aturan-aturan etiket kuno.”. Masih perlukah kita, di jaman serba internet seperti sekarang, memikirkan tatakrama dan etiket dalam interaksi kita?
Bila kita melihat orang dengan sengaja tidak mengindahkan etiket, kita tentu akan sulit merespek orang tersebut, apalagi bersimpati padanya. Orang seperti ini jadi tampil tidak sopan karena bersikap tanpa memperhatikan lingkungan, serta kebutuhan atau perasaan orang di sekitarnya. Untuk urusan binis, bukankah ini sangat merugikan? Bagaimana individu bisa sukses berelasi, bernegosiasi bila ia tidak bisa memberi kesan positif pada orang lain? Sebaliknya, orang yang peka lingkungan, tentu akan berupaya untuk mengobservasi orang lain di sekitarnya, memperhitungkan dampak dari sikap dan tindakannya. Meskipun situasinya baru dan ia bisa jadi tidak “hafal” aturan baku etiket, namun keinginan untuk mengamati dan bertindak dengan memperhatikan kebutuhan orang lain, sudah akan membuatnya menarik dan mendapat simpati.
Etiket memang berlandaskan kehidupan sehari-hari yang bersifat ‘common sense’. Namun, lebih jauh lagi, etiket diciptakan untuk menampilkan kehalusan budi. Sebastian Brandt, pada abad ke-15, dalam bukunya “Ship of fools”, menggambarkan tata krama atau etiket untuk pertama kalinya. Dalam bukunya, ia mengungkapkan, “How you treat people says a lot about you”. Di abad ke-21 sekarang ini pun, hal ini masih sesuai, bukan? Dari jaman baheula, sampai sekarang, tujuan beretiket adalah menunjukkan respek pada orang lain dan diri sendiri.
Tonjolkan Ketulusan dan Respek
Banyak orang mengatakan untuk tidak mencampurkan antara etiket sosial yang dipelajari di rumah dan di pekerjaan. Misalnya saja, di dunia kerja di masa kini, etiket sudah ‘genderless’. Wanita sama kuat dengan pria, jadi tidak perlu disediakan kursi bila akan duduk. Sementara masih banyak orang belajar dari rumahnya untuk bersikap hormat dan mendahulukan wanita. Mungkin ini salah satu argumentasi, bahwa kemudian di kalangan bisnis, pemerintahan, dan politik, hal-hal yang protokoler dianggap kuno. Terlepas dari keprotokoleran yang mungkin menjadi kuno atau kaku, kita perlu sadar bahwa tujuan etiket adalah respek pada orang yang kita hadapi. Etiket memang membatasi dilanggarnya privasi orang lain. Disitulah saktinya etiket, yang langsung bisa memberi dampak kesan positif terhadap orang yang memperhitungkan ‘personal space’ orang lain. Banyak orang mengira bahwa etiket pergaulan perlu dihafalkan. Sebenarnya, secara common sense saja kita bisa mengembangkan etiket kita, asal kita tahu prinsipnya untuk merespek orang lain.
Di masa di mana tatap muka semakin langka, etiket semestinya malah tidak diabaikan. Kita justru harus pandai-pandai memanfaatkan momentum saat kita bertemu muka. Bayangkan saja, bila kita sudah susah-susah membuat janji dengan seseorang untuk bertemu dan saat bertemu salah menyebutkan namanya. Kita tentu jadi terkesan tidak menganggap penting orang tersebut. Orang yang mengindahkan etiket, senantiasa mengecek apakah dirinya sudah bersikap ‘pas’ kepada setiap orang yang kita temui. Ini perlu, karena etiket tanpa sikap ‘genuine’ juga akan ‘ketahuan’ dan tetap tidak ber”impact’ akhirnya. Kita bisa membuat ‘volume’ kita jadi lebih berbobot, menampilkan inner beauty kita, karena kejujuran, dan karakter kita.
Bukan “Drama Etiket”
Kita semakin sering menerima undangan kegiatan yang mencantumkan “dresscode”. Namun, kita bisa melihat ada saja orang yang mengabaikan “dresscode”, sehingga di saat acara berlangsung, menjadi canggung sendiri, saltum, salah kostum, karena jadi berbeda dari orang-orang yang lain. Memperhatikan hal-hal kecil seperti ini, adalah bentuk etiket juga, dan sebetulnya banyak sekali manfaatnya bagi kita. Setidaknya, kita tidak dicap sebagai orang yang tidak merespek tuan rumah. Cara berpakaian yang ‘pas’ tentunya juga akan membuat seorang menjadi lebih pede dalam menghadapi orang lain.
Penampilan seseorang memang kita akui akan mempengaruhi cara kita memandang orang tersebut. Namun, penampilan saja tidak kuat utk dijadikan “topeng”. Bila individu berpenampilan keren, namun sikapnya merendahkan orang lain, senang bergosip, segera saja “drama etiket” ini tidak mempan untuk membangun kesan positif. Sebaliknya, ada seorang eksekutif lembaga yang sangat bergengsi, berpakaian biasa sesuai dengan perannya saja, namun dikenal simpatik dan terhormat karena ‘awareness’-nya pada lingkungan. Beliau dikenal sangat memperhatikan siapa pun yang ia temui, membuat orang merasa bahwa ia sangat ingat diri kita. Dengan jabatan yang tinggi seperti itu, beliau masih merespon sms, email dalam waktu dibawah 24 jam. Beliau pun hadir dalam setiap event yang dianggap penting oleh karyawan. Ia juga mengatakan bahwa ’bertanya adalah suatu seni’. Kemampuannya bertanya untuk memahami suatu situasi atau menanyakan keadaan keluarga lawan bicara, atau untuk memahami suatu situasi, membuat ia terkesan penuh perhatian, dan tidak berorientasi pada diri sendiri. Kita pun bisa menganut prinsip yang sama dengan beliau, "Life be not so short but there is always time for courtesy."
(Dimuat di Kompas, 31 November 2013)