Di dunia sepakbola, jual-beli pemain adalah dinamika yang sangat menarik untuk kita perhatikan. Kita bisa melihat bagaimana klub memandang pemain, juga pelatih, sebagai ‘mesin uang’. Organisasi tidak hanya berani membayar mahal pemain inti, tapi pemain cadangan pun dipastikan adalah pemain jagoan. Bahkan, pemain yang jelas-jelas kalah di klub tertentu, masih diperebutkan jika dirasa kompetensi dan talentanya bisa diasah dan digarap. Bagaimana dengan perusahaan, korporasi atau lembaga pemerintah? Kita tahu ungkapan “Employees are our most important asset.” tetap didengung-dengungkan. Namun, bukankah kita, lebih sering memandang karyawan, apalagi buruh sebagai sumber pengeluaran? Padahal, kita semua tahu bahwa ‘people’ adalah sumber daya utama untuk menciptakan keunggulan kompetitif jangka panjang. Kekeliruan dalam memandang karyawan semata sebagai “alat”, kegagalan mengembangkan potensi – kompetensi, serta memelihara kekuatan manusia di perusahaan adalah situasi bunuh diri perusahaan.
Belajar dari klub-klub sepakbola yang ada, kita jelas perlu mulai berpikir dan berhitung, berapa banyak karyawan di tim atau perusahaan kita yang betul-betul berharga sebagai “pemain”? Kita tahu memang ada korporasi tahun 90-an, yang bisa bertahan dan bahkan menjadi raksasa, dengan hanya segelintir orang di posisi puncak yang menjadi pemikir. Selebihnya, karyawan lain hanya diharapkan bekerja dengan rajin sesuai keahlian masing-masing, tidak banyak mengeluarkan inisiatif. Walaupun beberapa perusahaan di Indonesia dengan komposisi yang pincang ini masih sukses, kita sebetulnya bisa melihat bahaya yang lebih dalam akan terjadi di masa mendatang. Bagaimana mungkin organisasi akan sukses mencapai visi, misi dan target kerjanya bila hanya mengandalkan segelintir orang untuk menggerakkan produktivitas?
Ketidaksadaran kita tentang efektif sumberdaya manusia ini bisa dimengerti, bila kita keliru atau mengabaikan pengukuran “Return on People”. Bila kita menanyakan kepada para ahli manajemen sumberdaya manusia, mengenai ukuran kesuksesan pengelolaan sumberdaya manusia, kerap kita mendengar jawabannya adalah angka ‘turnover’, rata-rata waktu rekrutmen, jam pelatihan, juga kelancaran ‘career path’. Indikator ini memang terukur dan tangible. Namun, seberapa jauh angka-angka ini bisa menggambarkan kualitas, kontribusi dan produktivitas di pekerjaan? Kita bisa segera melihat betapa ukuran kesuksesan departemen pengembangan sumber daya manusia ini tidak menjamin berkembangnya kemampuan “pemain”-nya. Di masa sekarang, kita jelas perlu memahami indikator yang menggambarkan kondisi happiness, ambisi, inisiatif, inovasi orang, karena kita tahu betul hal-hal inilah yang menentukan individu dan organisasi bisa berprestasi ‘lebih’ dan ‘menang’.
Mengaduk Kinerja
Di klub sepakbola, peran pelatih sebagai pembuat strategi dan pengatur pergerakan jelas sangat vital. Dalam organisasi, leader jelas perlu sadar perannya sebagai “coach” yang berperan mengaduk kinerja individu dan mengkombinasikannya dengan kinerja orang lain. Bila kita benar mau menjadikan human capital sebagai suatu kekuatan, paling tidak kita perlu mengukur efektivitas kepemimpinan, selain engagement karyawan, dan pemahaman para karyawan tentang arah pengembangan perusahaan. Banyak karyawan pintar yang direkrut bisa jadi tidak ‘perform’ dengan baik, karena tidak ada yang memahami arah, strategi perbaikan dan tidak berlatih untuk senantiasa memperkuat kompetensi untuk berkontribusi di dalam tim.
Banyak organisasi gagal karena agenda pembenahan tidak mendapat dukungan dari seluruh jajaran. Di suatu perusahaan, pucuk pimpinannya sudah membuat pola transformasi binis dengan rapih, namun hal ini tidak diterangkan jelas-jelas ke anak buahnya. Padahal, di perusahaan di mana knowledge accessibility diupayakan, maka orang di dalamnya akan cepat belajar dan tahu ke mana menggerakkan keahlian maupun kinerjanya. Kata seorang pimpinan perusahaan: “the more information you develop, the faster things can change.”
Kita perlu selalu ingat bahwa pembenahan suatu organisasi akan mendapatkan dukungan penuh, bila manusianya diajak bicara dan didengarkan. Masa-masa di mana rekrutmen diharapkan menjamin kinerja sudah lewat. Kita tidak bisa mengandalkan kemampuan alami dari seseorang. Bawahan perlu diperhatikan. Setiap bawahan perlu dikenal kekuatan, kelemahan, dan gaya kerjanya. Terkadang semua yang dipunyai baik, namun ia keras kepala. Kita harus siap menggarap karakternya, pula. Kita perlu mengenal bawahan, dengan sangat mendalam, sehingga kita bisa membantunya untuk berproduksi. Kitapun perlu mengajak karyawan untuk berpikir sebagai kesatuan tetapi sebaliknya setiap orang tetap perlu ‘merasa’ berkontribusi penuh. Di samping itu, karyawan hanya bisa ‘hidup’ dan berkembang bila ia didengar. Dalam banyak sekali organisasi, karyawan tidak berani bicara, dan bertanya. Suasana tidak kondusif untuk berdiskusi. Mana mungkin seseorang diharakan berinisiatif bisa suasana tidak memungkinkan bagi dia untuk ‘mengembangkan’ idenya. Ide yang tidak dikembangkan akan mentah dan tidak akan berbentuk inisiatif, apalagi bila ‘fear factor’ masih bekerja.
Fokuskan ke ego
Kita tidak bisa lagi melihat manusia sebagai pekerja, yang memang sudah kita bayar untuk bekerja. Saat sekarang kita perlu menyadari bahwa setiap manusia perlu mempunyai ego yang sehat. Hanya ego yang sehatlah bisa berpikir keras dan bekerja ekstra keras. Seorang pimpinan perusahaan yang memperbaiki letak ‘nametag’ anak buahnya, menyadarkan anak buah tentang pentingnya keselamatan, membuat anak buahnya bangga bekerja di instansi nya, secara tidak langsung menyuburkan ego anak buah. Tentunya kita perlu meninggikan ‘standard of competence’ dan kekuatan pengetahuan tentang perkerjaan yang harus dikuasai anak buah. Hal ini tentunya tidak akan menyerang egonya, tetapi justeru membuat ia tertantang dan melihat ruang untuk mengembangkan diri. Kita tidak bisa lagi, melihat manusia dalam organisasi sebagai ‘boneka’ dan membentuk penurut penurut. Kita perlu individu individu yang pada saatnya mampu dan siap berespons terhadap kesulitan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berat dan sulit. Di sini tantangannya adalah, apakah dalam organisasi kita meminta individu untuk berproduksi, tetapi juga melatih diri untuk menghadapi keadaan yang lebih menantang dan sulit lagi. Apapun tugasnya, serendah apapun di organisasi, kita perlu memperhitungkan bagaimana individu merasa bahwa ia adalah ‘superstar’ yang siap bertarung.
(Dimuat di Kompas, 16 November 2013)