Di bulan November ini, upacara peringatan Hari Pahlawan dan tabur bunga di makam patriot bangsa, biasanya akan menggelitik emosi dan memori kita tentang kepahlawanan. Mudah-mudahan, ingatan kita tidak sekedar berhenti dengan Makam Pahlawan dan tugu Pahlawan di Surabaya, saja. Sesudah 7 pahlawan Revolusi, kita sudah tidak bisa mengidentifikasikan secara gamblang, yang mana patriot-patriot negara yang perlu di elu-elukan sebagai pahlawan bangsa. Bukan sekedar karena tidak ada perang yang nyata, namun publikasi mengenai pejuang modern, seperti penjaga perbatasan yang mempertaruhkan nyawa, sangat sedikit. Jangankan anak sekolah , orang dewasa pun banyak yang tidak menyadari adanya pejuang-pejuang yang mengorbankan jiwa raga, dan keluarganya demi membela negara.
Perang sekarang sudah tidak perlu selalu perang antar negara. Bayangkan betapa teroris bisa membunuh ratusan orang tak bersalah. Kita juga sama sama menyadari bahaya narkoba, yang tidak saja mengancam remaja, tetapi juga orang-orang dekat di sekitar kita. Belum lagi bahaya kejatuhan moral,seperti pornografi remaja, yang bisa membuat semua orang kecut, dan tidak tahu bagaimana melindungi remajanya. Penggerogotan terhadap harta negara sudah dilakukan oleh koruptor-koruptor, yang masih bisa tersenyum lebar di kamera media. Demikian pula, persaingan ekonomi antar negara, yang bisa menyebabkan bangsa lain dengan semena-mena menjajah negara, tanpa disadari oleh rakyatnya. Bukankah ‘perang’ yang sekarang kita hadapi, menjadi demikian multidimensional, sehingga bahkan lebih berbahaya dari perang fisik yang nyata di masa lalu? Bukankah pejuang Indonesia masa kini harusnya berjumlah lebih banyak dari jaman perang dulu, dan bahkan lebih pintar dan lebih berkualitas?
Bila kini kita rindu sosok pahlawan patriot bangsa, sesungguhnya kita pun perlu menyadari dan menumbuhkan pejuang modern di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Dari program “heroes” Kick Andy kita berkenalan dengan Gendu, pejuang yang merawat 10.000 orang sakit jiwa. Kita tahu ada pahlawan ekologi seperti Babah Akong yang belasan tahun menanam bakau di Maumere sampai 23 hektar. Ada juga guru-guru sekolah di daerah terpencil, pembuat kaki palsu yang berhasil membantu orng cacat dengan kaki palsu murah. Kita pun tentu bangga melihat walikota Surabaya yang berusaha memperbaiki hidup para wanita yang terikat hutang kepada para mucikari sehingga tidak pernah terbebaskan dari profesi tercela. Kita juga punya Ignasius Jonan, yang berupaya memikirkan dan memperjuangkan kebutuhan karyawan, memberi jaminan kesehatan pada seluruh karyawan, memperbaiki sistem perkeretaapian, sehingga baik penumpang, masinis, kepala stasiun, mempunya penghargaan diri yang lebih baik, dan bisa berdampak positif kepada kualitas kerja dan kehidupan keluarganya? Bukankah nyata-nyata mereka pejuang tanpa senjata?
“Selesai” dengan Dirinya
Para pejuang modern, yang rela mengorbankan diri demi orang lain atau negara, biasanya ‘sudah selesai’ dengan dirinya sendiri. Artinya, individu ini sudah mengenal apa yang ia butuhkan, biasanya sangat familiar dengan istilah ‘cukup’ dengan dirinya. Pada saat inilah ia kemudian mempunyai kelonggaran untuk memikirkan hal-hal yang lebih besar, seperti lingkungan , negara, dan kemanusiaan . Determinasinya kemudian sudah tidak personal lagi, sehingga ia pun kuat mengasah kekuatan mentalnya seperti, toleransi, disiplin diri, komitmen dan kontrol diri. Dari sinilah kita bisa menyaksikan betapa seorang anak muda misalnya bisa berpikir untuk daerah rumahnya yang kumuh, dan ingin memperbaiki nasib anak-anak di area itu. Ia ingin membuat anak anak di area itu lebih cerdas dari rata-rata dan bangga bahwa mereka betul berasal dari daerah kumuh. Ini hanya bisa dilakukan oleh individu yang benar-benar sudah tahu apa yang mereka mau. Orang-orang seperti ini memang biasanya sudah mengasah diri dengan latihan-latihan dan berusaha belajar dari lingkungannya. Bila pada suatu saat pejuang ini tidak mencapai apa yang sudah ia canangkan, mereka tidak kehilangan keyakinan, karena menang, kalah atau ‘seri’ sekalipun, adalah bagian dari latihan yang dikembangkannya setiap hari.
Menumbuhkan Mental Pejuang
Bila kita menjadi orang-orang yang ikut berteriak dan mencaci maki koruptor saja, namun tidak berperan serta, menyingsingkan lengan baju untuk memberantas korupsi, jelas kita belum bisa mengklaim diri sebagai orang yang berguna untuk negara dan masyarakat yang lebih luas. Banyak orang, bahkan kita sendiri pun, bisa kehabisan energi untuk menyingsingkan lengan baju, bila terbiasa membiarkan diri kita ada di zona nyaman, tidak menikmati lagi berkeringat, mengotori tangan dengan bekerja keras. Padahal, kemampuan, talenta, keahlian dan kepintaran kita, tidak akan jadi apa-apa bila tidak diikuti dengan tempaan latihan, disiplin, turun ke lapangan, kepekaan dan mawas diri. Banyak orang tidak terlatih untuk mengamati posisi dirinya, terhadap lingkungan sosial, dan berusaha menerima dan memahami kebutuhannya. Kita harus sadar bahwa hanya dengan kekuatan mawas diri, spirit untuk menjadi pejuang baru akan tumbuh.
Kita bisa menjadi pejuang pekerja, namun bukan menjadi demonstran yang ‘tidak mau tahu’ saat minta kenaikan upah buruh. Banyak orang yang masih mengkaitkan perjuangan dengan kekerasan, padahal orang yang melakukan kekerasan, apalagi terhadap orang yang tidak berdaya, adalah orang yang bisanya melakukan ‘bullying’, bukan? Kita perlu sama-sama berpikir bahwa peluang dan keharusan kita untuk menjadi pejuang bangsa, di masa sekarang ini justru bisa dalam berbagai bentuk, misalnya memperbaiki mental individu, mental sebagai pekerja, sehingga ia bisa hidup lebih cerdas dan layak. Orang yang dikategorikan pejuang, sebenarnya adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kepentingan orang yang lebih banyak, tidak melulu memikirkan atau memperkaya diri dan lingkungannya sendiri. Apakah orang orang ini mempunyai ciri yang berbeda dengan kebanyakan orang? Apakah mereka memang dilahirkan di lingkungan tertentu, atau mempunyai profesi tertentu? Jelas kita melihat, setiap orang, dari lingkungan dan profesi apapun, punya kesempatan untuk melatih diri agar peka pada lingkungan, mengembangkan mentalitas tidak memikirkan diri sendiri dan lebih memikirkan orang banyak. Ada orang-orang yang bisa setia pada pekerjaan dan lahan kerjanya, sampai sering tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi bersungguh sungguh membelanya. Inilah pejuang modern.
(Dimuat di Kompas, 9 November 2013)