Kita baru saja merayakan momem bersejarah yang penting bagi bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda. Apa yang pertama kali kita pikirkan saat mendengar “Sumpah Pemuda”? Sebagian besar orang ternyata lebih membayangkan dan membahas bagaimana heroic-nya sepak terjang pemuda jaman tahun 20-an. Pemuda yang berpeci coklat, mengobarkan semangat bela Negara dengan memegang bambu runcing dan berlatar belakang bendera merah putih. Tidak banyak yang kemudian mengaitkan Sumpah Pemuda atau kepahlawanan masa kini dengan image generasi muda sekarang yang menggunakan headphone di telinga, berwajah cuek seolah tanpa beban, bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa asing dengan fasihnya. Padahal, kita sudah hidup di millennium selanjutnya! Momen ini jelas mengingat kita untuk menelaah kembali posisi, mindset, spirit pada pemuda masa sekarang. Dalam waktu singkat, tidak sampai 20 tahun lagi, tokoh perubahan seperti gubernur DKI, Pak Jokowi, atau Pak Jonan, pembuat perubahan PT KAI, tentu sudah tidak lagi menjabat. Dalam dua dekade ke depan, masa depan kita jelas ada di tangan pemuda sekarang.
Saat sekarang, sudah banyak pemuda usia 18 sampai 30-an memasukin jajaran manajemen di perusahaan perusahaan maupun instansi pemerintah. Namun, pandangan miring tentang kelompok Gen Y ini begitu sering terdengar. Lebih-lebih, keluhan terhadap sikap generasi yang lebih muda lagi, generasi milenial. Asumsi terhadap ‘me-me-me’ generation inilah yang kerap menyebabkan mereka disangsikan bisa menjadi pegawai yang handal, disangsikan mampu membela negara. Proses rekrutmen menjadi lebih menantang, karena generasi “baby boomers” (kelahiran 1946 – 1964) atau “gen X” (kelahiran 1980 – 1964) yang melakukan seleksi, biasanya langsung memberi nilai negatif pada sikap pemuda sekarang yang terasa lebih ‘semau gue’, tidak loyal, terlalu percaya diri dan tidak segan berargumen dengan orang yang lebih senior usianya. Dalam kegiatan orientasi karyawan baru, banyak organisasi berpesan agar pemuda “darah baru” di organisasi digembleng, di-instal dengan sikap-sikap mental yang lebih kuat dan positif, “di-nol-kan”, agar bisa survive dan mampu beradaptasi dengan nilai organisasi dan terhindar dari konflik dengan karyawan yang lebih senior. Jelas ini bukan tugas yang mudah. Pemuda sekarang lahir dan tumbuh dalam masa dan cara pendidikan yang berbeda. Bagaimana mungkin kita bisa menjadikan mereka “sama” dengan generasi sebelumnya?
Dengan majunya jaman, orang tua jaman sekarang memang tidak “sekeras dulu”, lebih mudah meluluskan apa yang diminta oleh anak-anak kita. Sekolah sekarang pun tentu tidak lagi memberi hukuman dengan penggaris, lebih demokratis dalam diskusi dan pengajarannya. Segala macam bentuk kebebasan yang diperkenalkan kepada generasi muda, semacam kebebasan berpendapat, kebebasan memilih jadwal pelajaran atau kuliah, kadang menyebabkan generasi pemuda ini sangat sadar haknya, namun di lain pihak mengabaikan kewajibannya. Namun, bila kita melabel generasi muda sekarang manja, meninggalkan nilai-nilai sosial, bukankah ‘silver spoon’ yang disuapkan pada para pemuda disediakan oleh kita, orang tuanya? Bukankah kita juga yang boros dalam memberi hadiah/‘reward’ kepada anak-anak kita, sehingga ‘drive’ menuju hal yang apresiatif, dan ‘recognition’ menjadi lebih kecil? Jadi, bila dipikir terbalik, pemuda sekarang dengan kualitas-kualitas baik dan buruknya, adalah hasil pendidikan kita kita dari era terdahulu. Namun, lagi-lagi, bukankah di tangan mereka kita menggantungkan masa depan?
Memaanfaatkan ‘The Spirit of Times’
Dua puluh tahun lalu, untuk menuliskan skripsi atau tesis, kita perlu mengunjungi berbagai perpustakaan kampus, mencari buku tebal di antara rak berdebu, lalu menulis secara manual di catatan kita. Butuh waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk bisa melakukan riset yang mumpuni. Saat sekarang, pemuda hanya tinggal perlu meng-google, dalam sepuluh menit, ratusan literature tersaji di hadapan mereka. Kepraktisan teknologi dan segala macam fasilitas masa sekarang sering membuat generasi sekarang tidak lagi melihat habit-habit lama, seperti disiplin dan latihan kuat, diperlukan untuk membentuk karakter. Kepraktisan yang tersedia, kalau kita tidak waspada, dapat membentuk mental instan, yang buta terhadap ‘hardwork’. Kata ‘mudah, gampang, praktis, lebih sering kita dengar dalam pembicaraan mereka, ketimbang ‘hardship’ atau kesulitan yang berhasil dipatahkan dan membawa solusi. Kita jelas tidak bisa menyalahkan kemudahan yang tersedia sebagai kesalahan yang menjadikan generasi baru ini membentuk mentalitas “instan” dan “praktis”. Untuk itu, mentor atau coach di tempat kerja jelas perlu menggembleng pemuda masa sekarang dengan berbagai kesempatan melakukan analisis, mengembangkan tumpukan pengalaman solutif untuk membentuk karakternya. Kita perlu membantu dan memberikan pengalaman kepada darah muda organisasi untuk bisa menanamkan motto: “nothing comes easy in this world”. Mereka pun perlu diajak untuk melihat dan mencari tugas-tugas yang ‘beyond the call of duty’.
Buang Kemalasan
Saat memasuki area latihan pasukan khusus di cijantung, kita bisa melihat jelas terpampang tulisan, “Kami bukan yang terhebat, kami terlatih.”. Kalimat ini begitu powerful untuk mengingatkan kita, betapa pengetahuan, kemampuan, ketrampilan atau kepedean kita tidak akan ada apa-apanya bila kita tidak kuat berlatih, tidak kuat berdisiplin. Inilah yang juga bisa kita tanamkan kepada pemuda sekarang agar bisa menjadi generasi andalan yang kuat memberi kontribusi dan bisa berprestasi. Kemudahan akses terhadap informasi, perlu diikuti dengan kurikulum latihan kedisiplinan nyata di tempat kerja, dipantau oleh seniornya, agar pemuda yang ‘wangi’, “tech savvy’ dan cerdas ini mau segera menyingsingkan lengan baju, ‘service oriented’, berdisiplin, tepat waktu, berani susah, bersabar mengikuti prosedur standar, juga merespek orang lain, apalagi para senior.
Kita tidak bisa membuat stereotip cepat cepat mengenai pemuda ini. Evolusi memang terjadi, dan baik buruknya sebuah generasi, tidak ditentukan oleh barometer kita yang sekarang, tetapi harus dilihat dengan perspektif lebih luas, dan lebih jauh ke depan. Karakter mereka memang perlu pembentukan, dan perlu diyakini, bahwa karakternya belum ‘fixed’. Kita memang tidak bisa sekedar mencerca atau berkompetisi dengan para pemuda. Kita perlu berkomunikasi. Mau tidak mau, merekalah yang empunya masa depan ( Khalil Gibran)
(Dimuat di Kompas, 2 November 2013)