Keluh-kesah mengenai karyawan keluar-masuk, karyawan yang terasa begitu tidak loyal, atau banyaknya karyawan yang tidak bersemangat di tempat kerja, begitu sering kita dengar. Jaman memang jelas sudah berubah. Tidak seperti dulu, orang tidak lagi bercita-cita untuk setia sampai mati pada organisasi. Beberapa karyawan, saat digali mengapa memutuskan hengkang dari organisasi, mengatakan bahwa mereka bosan dengan pekerjaannya dan tidak tahan bekerja tanpa adanya insipirasi baru. Bagi karyawan muda yang kita sebut “Gen Y” dan “millenials”, banyak kita dengar bagaimana mereka seolah tidak banyak pikir panjang saat memutuskan untuk keluar dari perusahaan, karena alasan sepele seperti tidak sreg dengan pekerjaan yang tidak seperti yang ia harapkan. Kita memang tahu bahwa “engagement” adalah kunci untuk menghadapi situasi ini. Namun, ketika kita dihadapkan pada isu tidak adanya ‘engagement’, kita juga seringkali tidak tahu mau memulai dari mana.
Penelitian terbaru dari Gallup di Amerika, memang cukup membuat kita surprised. Riset Gallup mengatakan bahwa hanya 30% dari karyawan di merasa ‘happy’ di pekerjaan. Sisanya 70%, tergolong tidak ‘engaged’, tidak menyukai pekerjaannya, menunjukkan tidak antusias dengan peranannya di pekerjaan, hanya pemikiran dan upaya seadanya sajalah yang dilibatkan di tempat kerja. Pernahkah kita menghadapi anggota tim seperti ini? Realita yang lebih mengejutkan juga adalah bahwa setelah organisasi melakukan berbagai upaya, angka ‘engagement’ ini kadang tidak bergerak, tetap sama dari tahun ke tahun. Bisa kita bayangkan betapa sulit menarik tim yang sudah enggan untuk memberikan ‘hati’-nya di pekerjaan.
Karyawan sebuah perusahaan yang kinerja dan prestasinya sangat baik, terlihat antusias bila membicarakan prestasi bulanan, triwulanan dan tahunan. Mereka semua sangat bersemangat, karena tahu bahwa bila perusahaan membuat laba, mereka pun pasti akan kebagian. Pertanyaannya, apakah reward seperti ini cukup untuk menyemangati karyawan berinovasi? Di perusahaan tersebut, inovasi, apalagi perubahan cara kerja, pencanggihan sistem kerja tidak ada dalam kamus mereka. Tindakan yang dilakukan semata untuk meningkatkan angka penjualan saja, tidak bisa diharapkan inisiatif dari karyawan. Suasana kerja seperti ini pada akhirnya bisa melelahkan dan usang, karena pembaharuan sulit dikembangkan. Apa yang bisa membuat suatu organisasi dinamis, hidup dan ‘happy’?
Inspirasi sebagai komoditi
Karyawan, terutama anak muda golongan milenial, justru sekarang sangat mengejar ‘arti’ dalam pekerjaannya. Mereka ingin cepat melihat hasil, tetapi ini pun bukan melalui pekerjaan tanpa ‘fun’. Mereka mencari panutan yang bisa mereka percaya dan tempat kerja yang dianggap sebagai komunitas. Kalau komunitasnya tidak ‘asik’, mereka tidak segan-segan hengkang. Jadi, mau tidak mau, kita memang perlu mengubah sistem motivasi kita ke dalam suatu kancah yang lebih nonmateriil. Atasan perlu menjadi sosok yang dikagumi dan memberi inspirasi. Atasan yang menunjukkan komitmen penuh dengan ‘passion’, bahwa ia akan ‘melayani’ tim sama kuat dengan melayani pelanggan, akan dianggap sebagai atasan yang menginspirasi. Apalagi kalau kemudian ia memang mempertontonkan ‘serving game’ nya dengan konsisten.
Bill Marriott, CEO grup hotel terkemuka, mengatakan bahwa ada cara ampuh untuk menginspirasi karyawan secara teratur, yaitu jangan pernah berhenti menanyakan: “what do you think?” kepada bawahan. Jelas-jelas, insiprasi bukan diberikan, tetapi sebenarnya di serap oleh CEO ini. Komunikasi akan terasa terbuka dan jujur, apalagi bila karyawan tahu, bahwa ide-idenya ditindaklanjuti, bahkan terbukti bisa mengubah praktik praktik di perusahaan. Di sini kita lihat bahwa organisasi bisa memanfaatkan inspirasi sebagai komoditi penting yang bisa beredar kencang dan kental, tetapi juga bisa absen dari sebuah organisasi. Inspirasi juga bisa berbentuk masukan, umpan balik, bahkan ‘brutal facts’ yang mengejutkan tetapi justru membangunkan perusahaan untuk berubah. Sebenarnya, inspirasi juga bisa datang dari cerita orang lain. Alangkah ruginya, bila dalam suatu organisasi seorang pemimpin tidak senang bercerita saat memberi arahan ataupun dalam pembicaraan sehari-hari. Pasti komunikasi di lembaga tersebut hanya berisi instruksi instruksi yang kering. Ini lah hal hal yang sebetulnya masih bisa digarap tetapi sering tertinggalkan karena ketegangan mencapai target.
Relational Creativity
Teman saya yang berpangkat letkol pasukan khusus, baru-baru ini mendapatkan penugasan di lokasi baru. Segera setelah menempati posisi baru ia membuat komitmen mengunjungi 5 rumah bawahan untuk bersilaturahmi, dan akan memberi kulian ‘bela negara’ untuk 2 SMA dalam seminggu, bila tidak ada tugas khusus. Ia betul betul ingin mengenal ‘players’-nya luar dalam. Alasannya simpel: bila kita ingin meng ‘empower’ anak buah untuk melakukan hal yang ‘benar’, kita perlu benar-benar ‘dekat luar dalam’. Keterbukaannya tidak basa basi, tetapi justru tidak berisiko, karena ketika kita transparan terhadap anak buah, anak buah pun akan transparan terhadap kita. Dengan begini kita baru bisa membaca kekhawatiran, keragu-raguannya, ‘happiness’ -nya. Apapun profesinya, orang bisa memilih pendekatan itu. Inilah bentuk nyata tindakan “people person” dari pimpinan, yang akan otomatis akan memperkuat engagement. Selain minat pada people, ada juga orang yang ahli menggarap relasi dan ada yang tidak. Keahlian orang menggarap relasi, kita lihat bisa juga dilakukan secara kreatif. Orang yang jago dalam relational creativity bukan saja mendorong kerja sama, tetapi membuktikan dan mengkaji keuntungan kerja sama, bahkan me’reward’ kerja sama. Saat melihat ada hubungan yang kurang harmonis di tim kerjanya, ia akan memberi stimulasi dengan kata atau kalimat yang merangsang relasi. Tidak hanya relasi antara dirinya sendiri dengan anggota tim lain yang menjadi perhatiannya, tetapi juga antar anggota kelompok. Orang dengan kejagoan “relational creativity”, memperhatikan apa yang menjadi ‘minat’ individu dan juga kelompoknya. Ia bukan saja mencocokkan minat dengan pekerjaan, tetapi mampu meningkatkan minat individu terhadap pekerjaannya. Kesuksesan pemimpin seperti ini biasanya tidak dilakukan melalui program yang kaku dan berdisiplin, namun melalui fasilitasi interpersonal yang berjalan secara ‘embedded’ di dalam pekerjaan sehari-hari, baik itu proses ‘coaching’, rapat, atau kepanitiaan dan tim adhoc. Ketika engagement tumbuh, orang-orang akan terinspirasi untuk menjadi ‘a better self”. Saat ini terjadi, seolah-olah tidak perlu lagi effort khusus untuk mencetak laba dan menggerakkan pertumbuhan perusahaan.
(Dimuat di Kompas, 26 Oktober 2013)