Dalam situasi silaturahmi, ketika orang tua bertemu dengan teman anaknya atau, lebih jauh lagi, calon menantunya, sering pertanyaan yang terlontar pertama kali adalah, “Anak siapa kamu?”. Meski jaman semakin modern, kita memang tetap memperhatikan kriteria “bibit, bebet, bobot” sebagai radar untuk menimbang martabat seseorang. Ukuran seperti asal usul, latar belakang keluarga, profesi, pekerjaan, jabatan, kepintaran masih menjadi faktor krusial yang ditimang-timang oleh keluarga. Situasi seperti ini, membuat kita pun seringkali tergerak untuk menjawab “siapa kita” dan siapa anggota keluarga yang baru masuk, dan menimbang ‘martabat’-nya. Pada saat itulah kita seolah sedang menimbang “harga” kita di mata masyarakat.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa orang-orang yang dinilai “bergengsi” di masyarakat biasanya adalah mereka yang punya mobil bagus dan rumah megah. Anak muda, anak kecil, calon mertua, bahkan tetangga akan berdecak kagum melihat individu yang datang dengan mobil mewah dan penampilan mentereng. Kita pun kerap melihat uang bisa menjadi daya tarik yang ‘sexy’ bagi wanita-wanita cantik untuk berminat digauli pria tua yang tidak mungkin memenuhi kriteria sebagai pria idolanya. Kita sering terkagum-kagum dengan penampilan luar individu, dan tiba-tiba tidak lagi memikirkan atau mempertanyakan kualitas diri si empunya, apa karya dan prestasinya. Padahal, ada juga orang yang cukup terpandang dan banyak berkarya, namun tidak terlalu mempedulikan apa kata masyarakat tentang dirinya, bahkan bergaya “dressing down”, sehingga dalam pertemuan-pertemuan tidak dikenali sebagai “somebody”. Benarkah kita sudah begitu silau oleh materialisme, sampai-sampai tidak bisa lagi membedakan mana orang yang benar-benar berhak bergengsi dan yang hanya bergengsi karena uangnya? Apakah kita memang sudah menggeser cara menilai kualitas manusia atau memang sudah tidak menganggap penting nilai-nilai yang pada era lalu masih banyak dijadikan patokan masyarakat?
Mengetahui betapa ada orang sampai mempunyai mobil mewah lebih daripada yang mungkin bisa dikonsumsi dan dinikmatinya, kita tentu tergelitik untuk berpikir: apa sebetulnya yang kita kejar dan apa yang butuhkan untuk bisa puas dan punya “nilai” di mata masyarakat? Kita tentu familiar dengan 5 aspek piramida kebutuhan dari psikolog gaek, Abraham Maslow, yang sudah dikenal sejak tahun 1940-an. Kita tidak banyak mengetahui bahwa pada tahun 1970-an piramida kebutuhan tersebut sudah ditambah dengan dua aspek, yaitu kognitif (kebutuhan untuk mengembangkan pengetahuan, mengasah intelektualitas, memahami arti dari apa yang dikerjakan) dan estetika (apreasiasi terhadap seni, keindahan, tren, keseimbangan). Pada tahun 1990, teori maslow bahkan dikembangkan lagi dengan “transcendence needs” di puncak piramida, yaitu kebutuhan untuk menolong orang lain mencapai aktualisasi diri. Jelas-jelas kebutuhan materialistis letaknya di bagian bawah piramida saja. Kita pun bisa jadi bertanya-tanya, inikah yang sering membuat individu tidak bisa membuat batas kepuasan? Bisakah kita tidak mendekatkan kesuksesan dengan pangkat dan kekuatan finansial? Teori Maslow mengingatkan bahwa bila kebutuhan sandang pangan sudah terpenuhi, bila kita sudah mempunyai sedikit tabungan masa depan, marilah kita mulai memikirkan orang lain dan hubungan kita dengan orang lain. Rasa berharga dan bermartabat sebetulnya bisa kita peroleh dari dalam diri, keluarga, profesi dan pekerjaan yang bisa menolong orang dan memberi kebaikan. Inilah yang bisa membuat hidup kita puas.
“Somebody” atau “nobody”
Kita bisa jadi terperangah melihat koruptor yang tidak menampakkan rasa malu ketika tertangkap kamera, seolah tidak merasa martabatnya jatuh. Pertanyaannya: pantaskah seorang koruptor menjadi ‘somebody’ yang bermartabat? Apakah orang yang ‘hanya’ mengejar kekayaan, tanpa memikirkan etika, fairness, profesionalitas, memperoleh martabat tinggi di mata masyarakat? Kita perlu ingat bahwa identitas diri, baik yang positif maupun negatif, tumbuh dan bertumpuk dalam lingkungan sosial. Seseorang yang diingat-ingat karena berbuat baik, menolong sesama, dan bermurah hati bisa seketika hancur martabatnya karena ternyata menjadi kaya dengan cara yang tak halal. Sementara orang yang memelihara nilai-nilai dan etika, tidak pernah sendirian dalam keadaan goyah tanpa pegangan, karena ia mempunyai dirinya sendiri dan selalu tahu jalur apa yang perlu ditempuh. Untuk itu, kita memang perlu jelas mendefinisikan sukses dan martabat atau nilai di mata masyarakat. Setiap orang bisa sukses dan bermartabat, apapun profesinya bila ia menerapkan praktik-praktik terbaik, mengikuti kaidah atau standar yang benar. Orang lain yang mendefinisikan sukses dengan pencapaian jabatan atau kepemilikan, suatu saat akan dibingungkan bila jabatan atau hartanya tanggal.
Presiden Maldives, Mohamed Nasheed, menyerahkan kemewahan yang dinikmati presiden terdahulu, dan memilih tinggal di sebuah ‘townhouse’ bersahaja dan mengatakan:”Ini adalah jaman kesulitan. Tidak pantas saya berada di istana sementara rakyat mengalami kesulitan.” Bagi orang yang masih ingin memikirkan peningkatan martabatnya, orang-orang seperti inilah yang seharusnya di ‘benchmark’ dan dijadikan model. Julian Short, penulis buku A Model for Living, mengatakan bahwa meningkatkan martabat adalah berusaha sekeras-kerasnya untuk menjadi yang terbaik dengan menjunjung nilai-nilai etika. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan disiplin diri yang keras. Martabat kitalah yang akan menemani kita menghadapi krisis, dan membuat kita tetap mengkontrol diri pada situasi situasi tak menentu.
Perjelas Misi Pribadi
Banyak bukti bahwa misi pribadi bisa meningkatkan martabat orang, bahkan meningkatkan status sosialnya secara natural. Ibu guru di ceritera Laskar Pelangi, terasa mengangkat martabat guru, walaupun kesehariannya sangat sederhana. Misi hidup tidak selamanya bisa kita kaitkan dengan hasil yang kasat mata, apalagi kekayaan dan status sosial di masyarakat. Banyak orang tetap bersahaja walaupun mendapat Hadiah Nobel sekalipun. Motif dan misinya lah yang dihargai orang.
Setiap kita bertindak, sebetulnya kita bisa mempertanyakan apakah nilai-nilai seperti ‘fairness’, respek sosial, hubungan kemanusiaan masih kita junjung tinggi? Kita perlu sadar saat mengambil tindakah, apakah kita melakukan sesuatu atau tidak melakukannya adalah karena alasan harga diri, nilai profesi, atau semata kebutuhan pribadi? Dengan kekuatan pegangan diri sendiri, kita bisa mencapai ‘harga diri’ yang cukup tinggi dan mulai menikmati diri kita sendiri, sebagai manusia bermartabat. Kita masing-masing jelas perlu kembali memikirkan martabat diri sebagai hakekat kehidupan dan bukan materialisme.
(Dimuat di Kompas, 12 Oktober 2013)