was successfully added to your cart.

PEMIMPIN: “PEOPLE EXPERT”

Siapa pemimpin yang Anda idolakan? Bila kita memuji seorang pemimpin, biasanya kita akan menonjolkan keberhasilan dan kinerjanya. Saat kita memuji Jokowi – Ahok, kita akan membahas apa yang sudah berhasil di rombaknya, bagaimana ia berhasil melakukan perubahan, dan memperbaiki kota dengan cepat. Di perusahaan pun serupa. Pemimpin yang dinilai berhasil adalah mereka yang sukses meningkatkan laba perusahaan, menciptakan inovasi dan perubahan. Di balik prestasi yang terlihat ini, jarang sekali kita mendalami, bagaimana proses tercapainya pemikiran, prestasi dan kinerja kesuksesan  itu. Ada prestasi yang diraih karena kinerja tim yang baik, namun tidak jarang kita melihat tidak seimbangnya upaya atasan – bawahan dalam pencapaian target kerja. Sering kita melihat bawahan hanya sekedar menjalankan sistem atau perintah saja, belum sepenuhnya mencurahkan seluruh pemikiran dan emosinya dalam pekerjaan. Ini tentu saja jauh dari kondisi ideal yang kita harapkan, bukan?

Banyak orang mengeluhkan bahwa situasi pendidikan dan pemerintahan membuat kita ‘dibodohkan’. Di lingkup hidup dan tanggung jawab kita sendiri, pernahkah kita berpikir apakah kita sudah memahami cara mencerdaskan orang-orang di sekitar kita? Apakah kita mendalami bagaimana anak buah harus dikembangkan? Tanpa kita sadari kita juga juga sering ikut-ikutan me-’robot’-kan manusia. Kita pun tidak jarang melihat manusia sebagai mesin yang produktif dengan ‘lifetime’ tertentu. Sebagai pemimpin, belum tentu kita tuntas mempertimbangkan keseimbangan harapan dan tindakan tiap individu. Begitu kita menghadapi resistensi, kemalasan, rendahnya motivasi, kita mencap kondisi itu sebagai sifat umum manusianya. Kita kerap mudah mengeneralisir sulitnya mendekati  karyawan atau bawahan secara individual dan mendalam. Seberapa sering kita berpikir bahwa mendekati individu secara psikologis akan menciptakan produktivitas, motivasi bahkan kreativitas? Pernahkah kita mendalami diri sendiri dan bertanya-tanya apa yang salah dalam sikap dan kepemimpinan kita, sehingga bawahan tidak bersemangat?

Perubahan digerakkan Manusia

Perubahan yang begitu cepat akibat semakin cerdasnya manusia, semakin gilanya perkembangan teknologi, menyebabkan  cepat usangnya ketrampilan bekerja. Sales manager yang 10 tahun lalu berprestasi bagus, sekarang nampak sudah seperti macan ompong. Teknik-teknik kesuksesannya sudah tidak bisa dipergunakan lagi. Perusahaan yang sudah mabuk kemenangan dan keuntungan, juga bisa kalang kabut menyiapkan kompetensi baru karena keharusan mengantisipasi ‘golden eggs’ baru. Era industrial di mana ketrampilan bisa dipakai berulang-ulang sudah lewat. Sekarang, pemimpin perlu menyiapkan pembuat perubahan: “every individual needs to be a changemaker.” Bila seorang individu tidak gemar berubah, ia jelas akan menjadi beban bagi teman-temannya yang ingin berubah.  Tim bukan sekedar tim, tetapi perlu bersinergi dengan tim-tim lainnya. Inilah format organisasi di era sekarang : “Change begets change … and the world we are going to is better”. Dengan kondisi ini, jelas fokus kita harus lebih banyak kepada penekanan bobot manusia, sumberdaya yang paling canggih di muka bumi ini , dan paling bertahan. Kita musti angkat topi dengan perusahaan seperti Kompas–Gramedia Grup, yang jelas memiliki visi menomorsatukan karakter dengan keyakinan bahwa ketrampilan bisa diajarkan, meski sadar bahwa pembentukan karakter akan memakan waktu yang tidak sebentar.

Kalau dulu kita sering mendengar ungkapan mempersiapkan ‘the future leader” seolah mempersiapkan putra mahkota, saat sekarang secara ‘real time’ kita sudah perlu mendorong anak buah kita, menjadi leader itu sendiri. Dalam realitanya, pada banyak CEO ditemukan bahwa kunci sukses mereka sangat terletak pada kemampuan mendorong bawahan secara personal dan emosional, kemampuan mengangkat ‘self interest’ bawahannya. Walaupun penelitian sering membuktikan adanya kekuatan pendekatan manusia ini, sungguh disayangkan betapa masih banyak orang menomorduakan ‘softskills’ dan menganggapnya sebagai tambahan ketrampilan setelah ketrampilan bisnis lainnya.  

Empati sebagai “Power”

Seorang peneliti manajemen, Galinsky, menyatakan "As power increases, power-holders are more likely to assume that others' insights match their own." Penelitian ini mengungkapkan pula bahwa bila seseorang mulai merasakan ‘power’ dari hasil kinerjanya, maka empatinya ke orang lain bisa berkurang. Ia menjadi ‘self centered’ dan ‘self assured’, atau dengan kata lain, seolah ‘tidak butuh orang lain’. Penelitian lain menemukan bahwa ‘power’ bisa menimbulkan "mirror system" di otak, di mana penyerapan terhadap pegalaman orang lain tidak terjadi, seolah ada proses ‘shut down’ secara otomatis. Sebagai akibat, mekanisme empati dari pemilik power jadi berkurang drastis. Padahal, kemampuan empati, bermain rasa, dan kesadaran diri adalah alat-alat menuju pematangan jiwa. Inilah sebabnya kita sering melihat gejala beberapa pemimpin yang memiliki otoritas dan jabatan tinggi di institusi ataupun perusahaan menjadi tidak peka terhadap situasi eksternal, pandangan orang di sekitarnya ataupun masukan-masukan di media massa. Apa yang bisa kita harapkan dari sosok pemimpin seperti ini? Alih-alih membimbing, membesarkan dan memberi semangat anggota timnya, kapasitasnya menjadi model pun sudah tidak ada.

Kita bisa melihat banyak perusahaan mencari ‘salesman’ dengan ciri-ciri: “berempati, mempunyai ego drive, dan ego strength’ yang kuat. Bukankah kualitas-kualitas ini sepenuhnya soft-skills? Mau tidak mau, pemimpin pun tidak bisa lagi menyepelekan kualitas manusia yang terbukti akan menjadi andalan utama dari kinerja organisasi. Kita tidak semata memanfaatkan tenaga dari anak buah, tetapi yang lebih penting adalah mengolah hati dan kreativitas pemikirannya. Pemimpin masa sekarang jelas perlu mengubah cara dalam berempati. Kita tidak boleh hanya  berorientasi internal, sibuk menyusun organisasi, tanpa mempedulikan bagaimana anggota mempergunakan empatinya untuk bekerja. Empati bahkan perlu menjadi “way of life” kita. Tentunya sebagai pemimpin kita juga perlu berlatih membuat laboratorium manusia, yang subyeknya adalah pengikut atau bawahan kita sendiri. Kita perlu mendominasi komunikasi kita dengan bertanya, mendengar, mendapat berita dari luar, serta berdiskusi dengan prinsip kesejajaran, sehingga pada akhirnya kita betul-betul berada di pusat kelompok kita. Pada saat itulah kita akan menikmati  unsur ‘kemanusiaan’ dan merasakan kemudahan menjadikan setiap anggota tim seorang ‘leader’ sejati.

(Dimuat di Kompas, 14 September 2013)

For further information, please contact marketing@experd.com