Pernahkah sebagai pelanggan kita mengalami geramnya di oper-oper, dari satu konter ke konter lain? Tentu kita juga pernah mendengar pelanggan yang frustrasi karena untuk melaporkan keluhan saja susahnya bukan main. Hal yang lebih parah adalah bila pemberi jasa malah saling melempar kesalahan atau menuding bagian lain yang dianggap belum menyelesaikan masalah. Kita bisa langsung merasakan komunikasi internal perusahaan yang macet, namun kita sebagai pelanggan yang merasakan akibatnya. Jelas ini bukan masalah sepele, juga bukan isu baru, namun sering kita berkubang dalam keadaan ini tanpa ada perubahan
Akses informasi yang tidak sama antar bagian, juga pembagian kerja di perusahaan memang tidak bisa dihindari. Hal yang menjadi masalah adalah keengganan satu bagian untuk menegur bagian lain, atau memberi informasi yang diperlukan secara sukarela. Sering kita dengar orang berkomentar: “Ah, nanti dibilang kepo (mau tahu urusan orang), lebih baik memikirkan urusan sendiri saja.”. Tidak hanya di perusahaan, namun di pemerintahan pun kita bisa melihat hal ini nyata-nyata terjadi. Jarang kita bisa menyaksikan para menteri bekerja sama menangani suatu program kerja dan tampak bersemangat untuk mencapai tujuan yang sama. Kalaupun bekerja sama, ‘jarak’ di antara mereka sangat terlihat. Masing-masing seolah sibuk memprioritaskan kepentingan sendiri, mencari “kredit” untuk bagiannya sendiri. Koordinasi tidak terlihat, perang dingin yang terasa. Apakah hal ini juga kerap terjadi di tempat kerja kita? Kita tidak bisa cepat-cepat menuding orang lain melakukan gejala ini, karena kita pun patut bertanya dalam hati. “Kapan terakhir kali kita memberi informasi pada kolega dari bagian lain, tentang hal penting yang perlu ia ketahui atau prioritaskan?
Kita perlu menyadari bahwa hal yang menyuburkan perang dingin adalah bila atasan dianggap sebagai satu-satunya kekuatan untuk menyambung komunikasi, menyambung rasa, dan memberi solusi. Bila ada informasi penting, atasanlah yang berhak tahu. Bila atasan tidak berkenan, lebih baik informasi tersebut dipendam daripada di sebarluaskan ke divisi lain. Bila terjadi konflik, daripada beradu mulut, orang lebih memilih untuk menunggu saat-saat rapat dan atasan-lah yang diharapkan untuk menyelesaikan masalah. Tidak ada orientasi “around and across”, semua pembicaraan adalah mengenai atasan, top management, baik ataupun buruk, dan komunikasi pun berlangsung lebih banyak melalui atasan. Dalam setiap persepsi manager atau direktur tumbuhlah ‘tower vision”, kecenderungan untuk selalu melihat ke atas, yang bisa memperparah ‘perang dingin’. Kita bisa mendeteksi adanya perang dingin bila melihat orang di perusahaan mulai tidak berbicara satu sama lain, komplen di balik punggung, tidak merasa berkewajiban meneruskan dan menyebarkan informasi, ‘tidak mau tahu’ persoalan yang dialami divisi lain, apalagi memikirkan prioritas dan pengetahuan yang diperlukan. Singkat kata, dinding pemisah antar divisi menjadi tebal, seperti halnya ‘silo’, pemilah biji-bijian di pabrik-pabrik gandum tradisional. Bila ini terjadi, sudah pasti kelincahan dan produktivitas organisasi akan terganggu. Bagaimana mungkin kita akan berperang melawan kompetitor, memenangkan kompetisi dengan Negara lain, bila perang dingin di internal organisasi tidak kita selesaikan?
Mentalitas 'us-vs-them'
Bila mentalitas “kita vs mereka” disahkan oleh pemimpin-pemimpin divisi, maka ‘sharing’ informasi dan masalah di luar divisi jelas tidak ada dalam kamus anggota kelompoknya. Semangat korps secara keseluruhan sulit dikuatkan, efisiensi bukan menjadi agenda utama, bahkan anggota kelompok lebih banyak berusaha men-’defense’ diri dan divisinya dari kemungkinan dipersalahkan oleh unit kerja lain. Dalam kondisi seperti ini, tentu sangat sulit untuk memperbaiki manuver ke pelanggan, karena manajemen puncak pun tidak bisa menjangkau informasi yang dipunyai para ‘frontliners’. Organisasi sulit bergerak, bagaikan orang yang sedang tidak ‘fit’ tetapi ingin melakukan perubahan dirinya. Padahal, berapapun usia organisasi, kita perlu terus meyakini dan menjaga kebugarannya.
Organisasi yang bugar sudah pasti organisasi yang siaga, well informed, dan siap berubah.Toyota mengharuskan karyawan dari setiap lapisan untuk berpartisipasi dalam rapat-rapat pengembangan proses dan keputusan keputsan penting. Mayo Clinic secara teratur berinovasi karena ada tim dokter, perawat, teknisi, orang-orang marketing yang mencari bentuk-bentuk baru pelayanan yang dibutuhkan pelanggan. Organisasi yang menyadari pentingnya pemersatuan ini akan melibatkan pekerja pabrik dalam desain prodak dan perubahan sistem manufaktur. Bukan saja kebersamaan yang didapat, tetapi biasanya kerjasama ini berdampak hematnya waktu pengembangan, karena komunikasi lancar. Organisasi bisa menambah kebugarannya bila anggotanya berinteraksi kuat satu sama lain, kompak, dan lincah. Perusahaan memang perlu menjaga agar para pekerjanya secara merata berada dalam status “need-to-know”.
Mengangkat “Ownership”
Di perusahaan yang berorientasi sales, divisi sales lah yang berperan sebagai leader. Bahkan divisi tertentu sering dianggap sebagai barisan ‘elite’. Terkadang suasana ini memang tidak bisa dihindari. Setiap departemen sudah diberi sasaran sendiri, harus mencapainya, bila tidak jangankan bonus tidak diberikan, bisa jadi kehilangan jabatanlah ancamannya. Tidak heran bila ujung-ujungnya orang jadi memprioritaskan kepentingan sendiri. Ketegangan mencapai target dan tidak adanya rasa kebersamaan ini, bahkan ke alpaan terhadap tujuan bersama ini, menyebabkan tidak adanya suasana ‘take and give’ yang mesra antar departemen.
Selain berbagi informasi dan mengkomunikasikannya dengan lancar, kita wajib menguasai cara berkolaborasi yaitu bekerja bersama untuk mencapai satu sasaran, dan berkooperasi, yaitu bekerja mencapai sasarannya masing-masing, tetapi tidak lupa untuk saling tolong menolong, karena diujungnya toh sasarannya sama. Bila prinsip ini diperhatikan, maka bisa dipastikan, sekaku apapun formalitas dan hirarki, protokol dan politik pasti akan berkurang. Jadi kolaborasi dan kooperasi ini adalah peer setiap pemimpin organisasi. Pimpinan harus tidak henti-hentinya mengingatkan anak buah agar kolaborasi kooperasi ini tetapi berlangsung. Hanya dengan cara inilah kelincahan organisasi tetap terjaga. Seperti halnya Toyota tadi, melihat ke depan dan berinovasi adalah olah raga tim, bukan divisi R&D atau manajemen puncak saja. Diversity sangat dibutuhkan baik dari keahlian maupun karakter setiap individu, dan hubungan baiklah kunci kesuksesan organisasi. Sementara rasa percaya satu sama lain adalah perekatnya.
(Dimuat di Kompas, 3 Agustus 2013)