Bila berbicara dengan orang yang sudah sepuh, berusia di atas 80-an, kita tentu menyadari bahwa untuk memasukkan isi pembicaraan kita ke dalam pemahamannya, biasanya kita perlu berbicara dengan volume lebih keras, lebih perlahan, menggunakan kata sederhana dan mudah dimengerti, juga membatasi kata-kata kita. Mengapa? Nenek atau kakek ini, meskipun menunjukkan usaha untuk mendengarkan apa yang kita bicarakan, namun kemampuan reseptif alias kemampuan mencernanya sudah tidak 100% bekerja lagi. Kebanyakan, memori mereka sudah tidak lagi sempurna untuk mengaitkan apa yang baru diterimanya. Bisakah kita bayangkan dalam posisi seperti orang tua tersebut? Tentu kemampuan kita dalam menerima informasi menjadi sangat terbatas. Kita mungkin sering tidak menyadari bahwa dengan kemampuan mendengar yang sempurna sekalipun, kita kerap tidak mencerap informasi secara keseluruhan.
Pernahkah di dalam rapat, kita memikirkan hal lain atau berbicara sendiri dengan orang di sebelah kita karena ada agenda pembicaraan lain di luar topik yang tengah dibicarakan dalam rapat? Bisa jadi, kita menatap lawan bicara, mendengar semua kata-katanya, mengangguk-angguk seolah mengerti, namun sebetulnya tidak menyerap dan mengolah informasi yang kita terima. Ada orang yang sibuk dengan pikirannya sendiri, ada yang bersiap-siap untuk membantah, ada juga orang yang tidak mengerti tetapi tidak menyatakannya. Apa akibatnya? Topik pembicaraan yang didiskusikan, tidak sempat kita kembangkan menjadi tindak lanjut yang berarti dan serius. Bayangkan berapa banyak waktu yang kita buang-buang dengan tidak benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan orang lain? Kita jelas tidak menambah pengetahuan, wawasan kita dari diskusi yang terjadi. Bagaimana kita bisa mengembangkan solusi, tindak lanjut dan keputusan yang tajam bila tidak benar-benar mendengarkan?
Mendengarkan tidak sama dengan mendengar
Kita tahu bahwa berkat dari alam semesta, yaitu kemampuan mendengar, dimiliki hampir semua orang. Kita mengindrai suara secara otomatis. Namun, dengan akal budi yang kita miliki, manusia sebenarnya bisa memanfaatkan pendengaran dan indra lainnya secara lebih. Koordinasi panca indra bisa mengaktifkan untuk mengaktifkan intuisi atau sering diistilahkan orang sebagai indra ke-6. Dengan sedikit upaya lebih, selain mendengar, kita bisa membaca pesan-pesan nonverbal yang disampaikan orang. Di sini, atensi kita juga sangat penting. Dengan mengaktifkan indra kita secara serius, fungsi interpretasi dalam pemikiran kita terdorong untuk bekerja intensif dan mulai mengaktifkan memori jangka panjang maupun jangka pendek, kemudian meramunya dengan informasi yang baru masuk. Disinilah proses pemahaman bekerja dengan lebih baik.
Bila berita yang masuk optimal, berita tersebut sudah terolah melalui proses interpretasi yang sempurna, maka si pendengar bisa berespons, bisa menyimpannya di dalam memori, membuat penilaian dan menjawab sesuai dengan pemikiran dan pendapatnya. Disinilah kita bisa membedakan pendengar dengan atensi yang kuat dengan yang lemah. Orang yang dikatakan pendengar yang baik, memfokuskan atensi dan sudah biasa memproses hasil pendengarannya. Betapa “powerful”-nya individu yang bisa memanfaatkan proses sederhana ini, untuk membantu dirinya dalam memberi solusi, juga mengambil keputusan dengan tepat sasaran dan terarah. Tidakkah kita ingin bisa juga menjadi pendengar yang baik?
“Mendengarkan” harus menjadi DNA kita
Kita tahu bahwa perusahaan servis banyak menyediakan pos-pos ‘customer service’ untuk mendengarkan keluhan pelanggan. Bahkan, pos-pos pelayanan pelanggan ini pun “beroperasi” juga di social media. Namun, kita pun menyaksikan betapa banyak perusahaan ini seolah tidak coba betul-betul memahami, berempati dan menindaklanjuti keluhan pelanggan tersebut. Ini tentu malah menjadi masalah baru, karena pelanggan jadi makin kesal dan frustrasi. Mengapa hal ini terjadi? Permasalahannya adalah mendengar saja tidak berarti otomatis menyelesaikan masalah. Setiap keluhan pelanggan adalah 1 kasus yang tidak hanya perlu didengar dan dipahami, tapi harus dibedah dan diproses sampai tuntas. Andaikata saja kita menyediakan waktu cukup untuk mencerna dan memproses berita yang sampai dan menindaklanjutinya, kita bisa mendapatkan banyak manfaat ketimbang mengacuhkannya. Garuda Indonesia, misalnya, melalui twitter menanggapi keluhan pelanggan mengenai keterlambatan dengan sopan dan informatif. Alhasil, si pelanggan yang kebetulan mempunyai banyak follower ini mengucapkan terimakasih secara terbuka pula. Alangkah besar pengaruh positif yang didapat bila kita betul-betul serius mendengarkan keluhan pelanggan.
Kita sering menjadikan kegiatan mendengar ini sekedar jargon dan ‘take for granted’. Apa buktinya? Apakah kita terbiasa mencatat apa yang dikatakan orang lain dalam rapat? Apakah kita mengolah dulu apa yang kita dengar kemudian baru berespons? Apakah dalam ‘talkshow’ kita sempat menunggu orang lain selesai bicara tanpa sibuk mempersiapkan apa yang akan kita katakan? Apakah dalam menginterview kita serius melakukan ‘probing’ alias sambungan pertanyaan dari apa yang sudah diceriterakan orang? Kalau kita tidak memahami istilah tertentu, apakah kita melakukan pendalaman dan menanyakan apa artinya istilah tersebut? Apakah kita betul-betul mendengarkan, bukan hanya pura-pura terlihat melibatkan emosi kita dalam suatu percakapan?
Ungkapan para ahli komunikasi bahwa mendengar lebih penting dari berbicara memang memerlukan praktek yang jelas. Kita tidak bisa mendengar sepotong-sepotong. Kita juga tidak bisa mengklaim telah mendengar bila tidak mengendapkan dan mengkaitkan informasi yang masuk dengan memori dan pengetahuan kita. Jadi, proses mendengarkan lawan bicara, walaupun terlihat cepat dan sederhana, adalah proses yang kompleks dan lengkap. Jadi bukannya bicara, tetapi mendengarkanlah yang harus dikembangkan dalam budaya kita. Mendengarkan jauh lebih penting daripada kegiatan berkoar-koar mengatakan bahwa perusahaan, lembaga, atau negara kita ini terbaik. Bisa kita bayangkan bila dalam organisasi kita, semua orang rajin mendengar, mencatat, dan mencerna, serta menindak lanjuti baik permintaan pelanggan ataupun kejadian di pasar, alangkah majunya kita.
(Dimuat di Kompas, 21 Juli 2013)