Banyak lembaga berupaya keras menghidupkan nilai-nilai positif untuk dianut secara seragam. Hal yang paling kelihatan adalah dengan dipampangkannya poster nilai-nilai organisasi di berbagai penjuru ruang kerja. Ya, kita tahu bahwa tertanamnya nilai nilai positif akan banyak sekali membantu pengambilan keputusan, mendasari semangat, kerja keras dan juga prestasi organisasi. Namun, upaya penanaman nilai ini jelas bukan hal yang mudah. Kecurangan atau “fraud” terus menjadi tantangan di banyak organisasi, meskipun hampir seluruh organisasi tersebut mencanangkan nilai “integritas”. Keluhan mengenai mentalitas silo, sikap mementingkan diri sendiri yang menghambat produktivitas, terus menjadi isu di berbagai perusahaan, meskipun jelas nilai “Teamwork” disebut-sebut sebagai salah satu nilai utama organisasi. Hal seperti ini menjadikan kita kerap mempertanyakan nilai yang ada, juga mengomentari betapa upaya penanaman nilai, meski sudah diumbar pun tetap belum mempan.
Pertanyaan mengenai nilai-nilai, baik di lembaga, sekolah maupun masyarakat biasanya muncul ketika kita melihat gejala yang dianggap tidak pantas, misalnya saja korupsi, tawuran, ‘bullying’, saling mencaci di depan publik, juga pertentangan yang menjurus ke SARA. Pembahasan berkepanjangan mengenai pelanggaran nilai, juga komentar yang mengatakan “nilai-nilai positif di masyarakat sudah luntur”, tak jarang membuat kita merasa gamang, pesimis dan seolah kehilangan pegangan. Pertanyaannya, benarkah nilai-nilai positif kehidupan kita sudah licin tandas, hilang tidak bersisa? Bagaimana dengan tentara perbatasan yang menjaga batas negeri tercinta, demi negara? Bukankah kita juga mendengar ribut-ribut sekelompok orang yang membela jiwa korsanya? Bukankah tidak sedikit pula pelajar usia belia yang menolak bocoran ujian? Apa yang membuat anak-anak muda lulusan universitas terbaik mau dikirim ke pelosok, tetap berobsesi menjadi guru padahal tahu bahwa gajinya tak cukup? Bukankah kita melihat tentara, dengan gaji pas-pasan siap menyabung nyawa, meninggalkan keluarga untuk membela negara, menjaga perbatasan demi negeri tercinta? Dalam hal ini, kita memang perlu bersikap dan berpikir positif bahwa nilai-nilai positif ada dan bisa disebarluaskan dan ditumbuhkan.
Seorang ahli, Kevin Ryan, Direktur Boston University Center for the Advancement of Ethics, mengatakan, bahwa tidak seorang dewasa pun bisa menghindar dari tanggung jawab pertumbuhan nilai orang di sekitarnya, baik itu di dalam keluarga, RT/RW, perusahaan, departemen, atau masyarakat yang lebih luas. Setiap orang perlu menyadari bahwa dirinya adalah ‘agen nilai’, apakah itu personal, moral, korporasi atau tradisional.
Pembetukan Nilai yang Tidak Teraga dan Terasa
Kita tentu mengagumi beberapa individu yang terasa benar berdiri di atas prinsipnya dan jelas-jelas mempunyai nilai-nilai ‘mulia’, seperti Martin Luther King, Mahatma Gandhi. Hampir semua orang, termasuk lawan politiknya pun pasti mengakui bahwa nilai yang tertanam di karakter individu ini, menurut sosiolog Morris Massey sudah “principled” atau berprinsip teguh. Bisakah kita “mencelupkan” individu ke dalam pelatihan, pesantren kilat, sekolah berasrama dan kemudian mengharapkan seketika ia menjadi individu yang berprinsip kuat? Meski kita tahu program “retreat” seperti ini bermanfaat, namun kita juga perlu sadari bahwa pembentukan dan penguatan nilai tidak terjadi secara instan, namun terus berjalan seumur hidup.
Kita tidak bisa menjamin perubahan hanya dengan mencemplungkan individu ke lingkungan tertentu atau membuat propaganda ataupun indoktrinasi. Sejak bayi, individu menanam nilai dalam dirinya melalui proses penyerapan, ‘imprinting’, modelling, penggodokan, membandingkan dan sosialisasi. Proses ini bisa samar, bisa kuat, bisa konsisten ataupun inkonsisten. Semakin samar dan inkonsisten semakin tidak jelaslah nilai-nilai yang berakar pada individu. Ketika bekerja, pengenalan kebiasaan baru, nilai-nilai bisnis atau esprit de corps, pun bisa mengubah individu. Lingkungan kerja ataupun masyarakat dengan kultur yang masih kuat dengan sendirinya merupakan tempat individu dengan mudah melakukan modelling, imprinting, dan penguatan dengan subur. Kita bisa lihat di Bali, gadis-gadis kecil, masih berkumpul di banjar banjar dan melakukan kegiatan tari sementara yang pria langsung belajar menabuh gamelan. Tidak perlu ada propaganda apa-apa. Paling-paling ketika nilai mulai digasak oleh nilai nilai dari budaya lain dari luar, masyarakat Bali kemudian membentuk ‘polisi nilai’ yang disebut pecalang, satuan keamanan adat. Di organisasi, setiap pimpinan perusahaan, manager dan supervisor ataupun jajaran “change agent” harusnya sadar dan bangga untuk berperan sebagai agen nilai dan “polisi nilai”.
Pertentangan Nilai = Pertumbuhan Nilai
Kita kerap belajar mengenai nilai-nilai melalui ceritera kepahlawanan. Namun, kita juga melihat sendiri betapa pengajaran nilai sering bertabrakan. Robin Hood mencuri demi berbagi dengan orang miskin. Salahkah mencurinya itu? Bagaimana dengan mengajarkan kasih sayang kepada orang yang kurang mampu, sementara ada larangan pemerintah untuk “memberi” kepada pengemis di pinggir jalan? Salahkah memberi? Bagaimana kita mengajarkan kepada anak buah kita untuk menyikapi permintaan ‘under table money’, sementara ia dikejar target penjualan? Jelas dibutuhkan diskusi yang mendalam, juga pengolahan rasa dan intelektualitas untuk menjawab dan menyikapi berbagai pertanyaan tentang nilai, agar bisa tumbuh menjadi prinsip yang kuat dan tidak mudah luntur.
Kita hidup di tengah masayarakat dengan nilai-nilai yang simpang siur. Namun, para ahli sosiologi, psikologi, filsafat mengatakan bahwa nilai justru tumbuh dari pengolahan konflik nilai dan dialog-dialog baik secara eksternal maupun internal di dalam diri. Kevin Ryan, mengemukakan bahwa kita bisa menumbuhkan nilai melalui formula “6E”, yaitu: Example (memberi teladan), Explanation (membahas), Exhortation (memuji dan menerangkan), Ethos (membedakan baik dan buruknya tata krama), Experience (mengalami) dan Expectation of Excellence (memberikan sasaran idealisme). Pertentangan nilai, baik di masyarakat ataupun di dalam berbagai situasi di organisasi, tidak harus melulu dipandang negatif, namun sebaliknya bisa kita gunakan sebagai bahan diskusi untuk mengolah dan memperkuat nilai-nilai kita. Setiap orang, apakah ia orangtua, guru, kakak kelas, atasan, anggota masyarakat, mempunyai tanggung jawab untuk memperkuat nilai yang dianut. Diskusi, pemikiran, peneguran, dan pembentukan nilai harus dilakukan di mana mana, dalam setiap kesempatan. Kita, setiap orang, adalah agen agen nilai keluarga, masyarakat, perusahaan dan bangsa, bukan orang lain.
(Dimuat di Kompas, 7 Juli 2013)