Dalam proses rekrutmen karyawan, siapa yang Anda pilih: kandidat dengan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) sedikit di atas rata-rata, namun menunjukkan kematangan emosi dalam menghadapi situasi sulit, mampu berhubungan baik dengan orang lain? Atau kandidat dengan IQ super yang cepat belajar hal baru, namun emosinya “kering” dan cenderung hanya memikirkan diri sendiri (self-centered)? Ya, kita tentu lebih memilih kandidat pertama, bukan? Kita bisa bayangkan, besarnya konflik yang bisa timbul di dalam tim, bila memilih individu yang tidak bisa berempati dan sulit membangun relasi dengan orang lain. Meskipun dulu kita meyakini IQ adalah penentu keberhasilan individu di pekerjaan, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa IQ memang bukan segala-galanya. Keld Jensen, dalam artikelnya “Intelligence is Overrated: What You Really Need to Succeed”, memaparkan betapa John F. Kennedy yang telah begitu terbukti suksesnya, hanya memiliki IQ 119. Penelitian terbaru mengatakan bahwa 85% kesuksesan individu ditentukan oleh faktor-faktor “human engineering’, sementara sisanya, yaitu sebesar 15%, berasal dari ketrampilan teknis, dan bukan semata kecerdasan umum.
Daniel Kahneman, psikolog Amerika pemenang hadiah nobel, menyatakan bahwa kita terbukti memilih berbisnis dengan orang yang kita sukai, ketimbang individu yang tidak kita sukai. Bukankah Margareth Thatcher juga tidak pernah menemui kesulitan bila berbeda pendapat dengan Ronald Reagan karena mereka menyukai dan saling memahami satu sama lain? Tidak pelak lagi, sumber kekayaan manusia, sebagai mahluk tertinggi, selain pada akal budinya, juga pada emosinya. Tidak salah bila Daniel Goleman membuat heboh dunia dengan bukunya “Emotional Intelligence: the ability to identify, assess, and control the emotions of oneself, of others, and of groups.” Kita jelas tidak bisa lagi mengelak dari kenyataan bahwa ‘human capital’ didominasi oleh faktor kepribadian, yang tidak terlalu bergantung pada kecerdasan, tetapi lebih pada sistem emosional yang beroperasi di kepribadian manusia. Dengan pemahaman bahwa aspek emosional lebih penting daripada sekedar kecerdasan kognitif, masihkah kita membiarkan diri kita tidak menelaah perasaan orang lain saat berhubungan dengan kita? Tidakkah kita perlu menunjukkan urgensi untuk memanfaatkan emosi ketika membangun hubungan, sehingga tercipta ‘chemistry’ yang lebih nyaman? Bukankah semua orang sekarang meyakini bahwa ‘social capital’ lebih mempan daripada “financial capital”?
Berpikir masak-masak
Tidak sedikit orang berpendapat bahwa kekuatan emosi kita terlanjur ada pada level tertentu, terkait pasang surut kehidupan yang kita lalui, sehingga tidak bisa banyak di-”kotak-katik”. Ini jelas keliru, karena kematangan emosi tidak pasif, namun sifatnya aktif, dan nyata-nyata bisa diasah. Kita jelas perlu bisa memanfaatkan emosi untuk meningkatkan produktivitas. Mitos yang juga perlu dibenahi adalah pandangan bahwa kekuatan emosional itu tidak rasional. Padahal, tanpa kerja rasio, kita tidak bisa menganalisa keadaan emosi kita. Rasio jelas bekerja saat kita melakukan ‘inner dialogue’ tentang kondisi emosi kita. Bahkan, kita perlu menginventarisir dan menjurnal isi pikiran kita dalam menganalisa pengalaman sehari-hari.
Ketika menghadapi situasi sulit, banyak orang mencari sahabat maupun pasangan untuk curhat dan menceritakan perasaannya. “Partnership” inilah yang harus dipindahkan ke dalam diri kita secara utuh, bila kita ingin kecerdasan emosi tumbuh subur di dalam diri kita. Dengan membangun kebiasaan melakukan dialog internal ini, kita akan bisa mendengarkan penginderaan kita dengan lebih baik. Dalam keadaan terkontrol seperti ini, kita bisa mendengarkan dan memahami orang lain dengan lebih baik, merasakan apakah orang lain nyaman atau tidak nyaman dengan komunikasi dengan kita, serta bereaksi secara rasional. Jadi, jelas kita tidak meninggalkan kegiatan berpikir dalam penajaman kecerdasan emosi. Proses ini menjadikan kita lebih terlatih untuk memikirkan apa yang dirasakan oleh orang lain, karena ada semacan penampungan dan saringan aktif di dalam diri kita yang digerakkan oleh penginderaan emosional kita. Dari sinilah kita menghindari sikap jumawa, masa bodoh, sombong, judes atau sikap negatif sejenisnya, karena sadar betul bahwa sikap seperti itu tidak produktif.
Mengaktifkan “Coping Technique”
Banyak orang terlihat “asli”-nya, bila sedang mengalami tekanan, alias stres. Pada saat itu, seolah individu menghalalkan pelepasan emosinya dan melepas rasionalitasnya. Padahal, individu dengan kecerdasan emosi yang baik, mestinya sudah mempunyai “tabungan” teknik menghadapi stress (coping techniques) efektif yang terasah melalui berbagai pengalaman hidupnya. Dengan demikian, individu terlatih dan terbiasa melihat situasi dari ‘berbagai sisi’. Seorang anak yang dipisahkan dari ibunya karena perceraian, misalnya, pasti mempunyai beberapa cara untuk menyehatkan perasaannya. Cara-cara inilah yang bisa diinventarisir dan digunakan lagi, ketika ia menghadapi situasi sulit lain yang serupa, misalnya saat ia terpisah dari rumah karena harus mengikuti karya wisata sekolah maupun saat harus sekolah jauh dari keluarga. Ini contoh betapa praktek kecerdasan emosi memang tak pernah berhenti dan harus dihidupkan seumur hidup.
Hidup penuh dengan situasi sulit, baik itu putus hubungan, kehilangan pekerjaan, sakit hati dan banyak lagi. Ini juga kenyataan yang menjadikan kita perlu belajar bereaksi positif dan konstruksif menghadapinya. Bahkan, kalau bisa selalu menganggapnya sebagai tantangan hidup. Salah satu hal yang memudahkan kita untuk menghadapi stres adalah bila kita menelaah kembali tujuan hidup kita dan berusahan ‘maju’ mencapai tujuan tersebut. Kita tidak bisa hanya menganalisa situasi, tetapi yang lebih penting adalah selalu mencari tindak lanjutnya. Action adalah unsur penting dalam kecerdasan emosi. Tanpa tindakan nyata secara aktif, kecerdasan emosional kita mandek pada tingkat awal saja. Seperti yang dikatakan seorang ahli : “Many a person can "see" what's wrong but they stop there and don't move on to the positive action as follow-through.
(Dimuat di Kompas, 22 Juni 2013)