Bahagia di tempat kerja jelas hal penting. Kita bisa bayangkan betapa tidak cuma produktivitas dan kinerja yang terganggu bila individu tidak happy dalam bekerja, lingkungan kerja pun pasti jadi terasa berat dan melelahkan. Tak heran bila banyak organisasi membuat survey utuk memahami seberapa happy dan puasnya karyawan, bahkan mengukur perkembangan keakraban, keterikatan emosi dan kebahagiaan karyawan. Hasil survey akan menjadi dasar untuk mendalami aspek yang menjadi penyebab tidak bahagianya karyawan dan faktor apa yang bisa membuat karyawan lebih bahagia. Bila mayoritas karyawan menyampaikan bahwa uang bukan faktor terpenting yang membawa kebahagiaan, maka manajemen akan memutar otak dan berpaling pada sikap atasan. Atasanlah yang perlu membuat bawahan lebih bahagia. Bila keluhan berkisar seputar ‘work life balance’, maka jam kerja yang akan ditilik, disorot, dibenahi, bahkan diperpendek. Padahal, di sisi lain, si pekerja keras, membutuhkan jam kerja panjang untuk berprestasi ‘lebih’ dan menjadi ‘the best’. Belum lagi kita bicarakan ketidakjelasan kebijakan, main politik, perubahan yang tidak masuk akal dan segala faktor yang dengan otomatis akan membuat hati bingung, gundah dan tidak aman. Begitu kompleksnya faktor yang menciptakan rasa bahagia ini, sehingga kadang teori manapun yang digunakan sulit untuk menjawab apa yang bisa mendongkrak semangat dan prestasi karyawan lagi. Kita pun segera bisa melihat kebenaran pendapat ahli yang mengatakan bahwa mempengaruhi motivasi karyawan dengan faktor eksternal hanyalah mitos, karena tidak bisa membuat rasa bahagia karyawan bertahan lama.
Kadang kita lupa dan memang tidak terpikir bahwa kebahagiaan tidak selalu merupakan konsekuensi dari tindakan tertentu. Bukankah banyak pesan bijak yang menganjurkan tiap individu untuk mengupayakan kebahagiaan dirinya sendiri? Misalnya saja, dalam situasi pernikahan yang diharapkan setidaknya survive paling tidak setengah abad. Kita sering mendengar pesan perkawinan yang mengatakan bahwa kitalah yang harus menjadi subyek perkawinan dan bukan obyek atau bahkan korban perkawinan tersebut. Kita yang harus aktif membahagiakan diri. Ini berarti, bahagia bukanlah status, tetapi sifatnya aktif dan berbentuk tindakan, alias “kata kerja”. Jadi dalam konteks bekerja, individu tidak bisa meletakkan kebahagiannya semata pada faktor eksternal di luar dirinya, namun kita sebagai pekerjalah yang harus berbahagia sendiri. Manajemen pun tidak bisa selalu berkutat pada hal-hal eksternal di luar individu, tetapi justru memikirkan bagaimana individu berbahagia dengan tugasnya, timnya, perusahaannya, dan secara aktif pula mengupayakan kebahagiaannya.
Jangan Sepelekan Faktor Rasa
Masih banyak orang berpendapat bahwa professional sejati perlu lebih mengedepankan “thinking” atau kekuatan berpikir, daripada kekuatan rasa atau emosi. Menampilkan emosi, saat mengambil keputusan atau adu argumen dalam diskusi, bahkan dianggap kurang profesional. Jadi, apakah kira-kira kita seperti Mr Spock dalam Star Trek yang mengatakan: “Emotions are alien to me. I’m a scientist.”? Padahal, jelas kita tidak bisa meninggalkan emosi kita di rumah atau di tempat parkir. Di tempat kerja, kita pasti akan resah bila menghadapi muka-muka tembok tanpa ekspresi. Maukah kita bekerja hanya karena diperbudak gaji, tanpa keterlibatan emosi dan motivasi, yang kesemuanya adalah aspek emosional? Bila kita mengupayakan spirit dan motivasi karyawan yang bersumber dari happiness-nya, jelas kita perlu mendalami keadaan emosi manusia.
Sistem manusia tidak mungkin bekerja tanpa emosi. Bagaimana mungkin orang mengambil keputusan tanpa berempati? Ada cerita mengenai seorang karyawan hotel yang mau bersusah payah mencarikan aquarium kecil untuk ikan mas yang dibawa tamu ciliknya. Ia sampai meminjam ke hotel tetangga. Ketika di tanya mengapa ia menjalankan tindakan di luar standar operasi, ia mengatakan,”Bisakah Anda membayangkan anak yang semalaman merasa khawatir dan orang tua yang gelisah menginap di hotel kita?” Saya ingin bekerja untuk pelanggan yang ‘happy’, supaya saya juga happy.”. Hubungan tim pun tidak mungkin kalau tidak mengandung unsur pertemanan yang melibatkan emosi. Seorang karyawan Southwest Airlines berkomentar, “Tempat ini begitu seru. Saya tidak bisa resign, karena teman-teman kerja di sini terlalu asik”. Perusahaan yang berhasil menjaga motivasi karyawannya, sadar betul akan hal ini, bahkan memberi ruang agar karyawan menjadikan perusahaan tempat mengekspresikan emosinya, baik dalam diskusi, bersikap, bertindak, menghasilkan produk, juga mengambil keputusan,
Ciptakan ruang emosi
Menciptakan ruang emosi, bukan secara harafiah menciptakan ruang untuk menangis, marah-marah, atau sejenisnya. Hal yang diperlukan justru memeriksa ‘job loading’, di mana setiap tugas dianalisis kembali bobot keasikannya, tantangannya, menambah bobot pada hal-hal yang menggugah emosi, termasuk melakukan rotasi dan mendelegasi, termasuk menghilangkan birokrasi berbelit-belit yang membuat karyawan merasa lelah atau tidak berarti. Belajar, berkreasi dan bekerjasama dibuat kencang, diharuskan, sekaligus dijaga agar konstruktif. Grup hotel Shangrilla berhasil menjaga motivasi karyawan justru dari “Listening meetings”, di mana karyawan yang berbuat salah malah diberi kesempatan bicara dan didengarkan. Kesalahan dibedah bukan dengan suasana negatif, tetapi konstruktif. Melalui meeting itu, diadakan perbaikan standar, ceklis, juga perbaikan sikap. Dengan cara ini, turnover karyawan malah bisa ditekan dan karyawan lebih ‘happy’. Worklife balance, sikap atasan, bukannya tidak penting, namun sifatnya lebih “bumbu” saja, sementara pekerjaannya sendiri tetap menjadi inti dan sumber utama happiness karyawan. Penelitian ahli teori motivasi Herzberg yang terakhir, juga mengemukakan bahwa hal yang lebih terbuka untuk dikotak-katik adalah esensi dari pekerjaan yang dilakukan. Manajemen perlu benar-benar memikirkan bagaimana ‘mengawinkan’ individu dengan pekerjaannya, sehingga individu memang membahagiakan dirinya sendiri. Bila ini terjadi, hal-hal lain, pasti akan mengikutinya.
(Dimuat di Kompas, 15 Juni 2013)