Kita senantiasa mengagumi orang-orang yang bisa mengambil keputusan dengan bijaksana. Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah ada bukti-bukti nyata bahwa selama ini kita bijak dalam mengambil keputusan? Saya kerap bertanya pada peserta di kelas pelatihan untuk memberi contoh keputusan besar yang pernah diambil dalam hidupnya. Sebagian besar orang menyebutkan memilih jurusan di bangku kuliah, juga memilih pasangan. Jarang orang mengatakan mengambil keputusan di pekerjaannya sebagai hal yang besar ataupun bijaksana. Bahkan, cukup mengejutkan bahwa banyak orang tidak ‘familiar’ dengan situasi pengambilan keputusan.
Terkadang, kita tidak menyadari bahwa dalam setiap rapat, kita diharapkan untuk membuat keputusan. Tidak sedikit kita melihat inisiatif yang sudah dicanangkan, rencana program yang sudah disusun, kemudian tidak jadi dieksekusi, ditunda-tunda atau dibiarkan saja mengambang. Padahal, kita tahu bahwa setiap orang di perusahaan harus mengupayakan perubahan, mengembangkan, berinovasi, dan mengusahakan efektivitas. Apapun pekerjaan yang kita tekuni, kita bukan saja dituntut untuk berpikir, tetapi juga mengambil keputusan. Bayangkan apa jadinya bila di dalam organisasi orang-orang memilih untuk pasif, menunggu, tidak bersedia mengambil risiko yang diperlukan untuk memajukan perusahaan, membiarkan orang lain yang mengambil keputusan atau membiarkan orang lain menunggu keputusan kita diambil? Sudah pasti organisasi ‘stucked’ dan tidak inovatif.
Keputusan bijaksana memang tidak lepas dari perhitungan yang matang, mengingat setiap keputusan pasti ada konsekunesinya. Kita perlu menyadari bahwa perbaikan di satu divisi akan berdampak pada divisi lain. Misalnya saja, begitu marketing menginformasikan adanya produk baru, divisi produksi perlu bersiap-siap menangani banjirnya pelanggan. Setiap keputusan juga selalu diiringi opsi-opsi yang berisiko. Pernahkah kita ada dalam posisi memilih menjual murah produk yang bertumpuk dengan harga rugi atau menahan menunggu pelanggan yang tiba tiba membutuhkan? Pernahkah kita berpikir untuk berinvestasi merekrut tenaga ahli untuk menelurkan inovasi dengan biaya tinggi atau justru membeli inovasinya saja? Apakah kita jago dan terbiasa secara matang menghitung perbedaan biaya yang dikeluarkan kalau ternyata keputusan yang anda ambil salah? Bila keputusan kita ternyata tidak tepat, apakah kita akan menghentikannya atau justru meneruskan dengan segala konsekuensinya. Dari berbagai situasi ini, kita bisa melihat pengambilan keputusan yang bijak memang tidak mudah. Inilah yang biasanya malah membuat kita kerap tidak berkawan dengan pengambilan keputusan. Padahal, semakin tinggi posisi kita, semakin orang berharap agar kita mengambil keputusan dan keputusannya pun harus bermutu. Pertanyaannya, apa yang mendasari kekuatan orang mengambil keputusan?
Big Picture
Berkaca pada orang yang bijaksana dalam mengambil keputusan, kita bisa menyaksikan, betapa yang bersangkutan mampu melihat gambaran keseluruhan dari suatu situasi, tidak hanya untuk saat ini, tapi bahkan juga di masa depan. Individu ini melihat situasi secara total, global dan dinamis. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mengasah pengambilan keputusan, sering lolos dalam melihat gejala-gejala dan aspek aspek yang perlu ia lihat. Banyak eksekutif mengaku bahwa ketika ia menghadapi suatu krisis, ia merasa ‘kecolongan’ karena tidak ‘melihat’ atau mengantisipasi gejala tersebut sebelumnya. Seorang sales manager, bisa tidak mengantisipasi keterlambatan barang yang akan di ‘deliver’, padahal ia tahu bahwa ada pemogokan di negara asal produsen barang. Mengapa ia tidak menyadarinya? Karena ia tidak mempunyai gambaran keseluruhan atau “big picture” dari ‘business game’-nya.
Oleh karena itu, pertama-tama, kita perlu membiasakan untuk menggelar isu-isu terpenting di atas meja, sehingga proses yang terlibat dan gambaran ‘masalah’-nya bisa terlihat jelas. Selain itu, kita tidak bisa menunggu disuguhi hal-hal untuk diputuskan, tapi kitalah yang menentukan agenda pemikiran kita. Bila pelanggan bertambah, tapi profit tidak bertambah, kita tentu harus bisa memetakan keseluruhan prosesnya. Bila berbagai program untuk karyawan digulirkan, namun karyawan malah tidak happy, kita tentu tidak bisa sekedar berasumsi, namun perlu paham keseluruhan apa yang terjadi. Hal-hal yang bukan menjadi tanggungjawab kita pun, bila memang merupakan rangkaian dari proses bisnis dan servis, perlu ada, dan termasuk dalam pemikiran kita. Sesudah itu, tugas pengambil keputusan adalah menciptakan ruang dan peluang yang memungkinkan pengambilan keputusan. Kita sering berseru :”no way out”. Pada saat seperti itu, orang memang tidak usah lagi mengambil keputusan, tapi justru perlu mencari hal-hal tidak permanen yang bisa diubah. Kita perlu menyadari bahwa situasi politik, bisnis, bahkan rumah tangga adalah layaknya sebuah maraton yang berlangsung terus, dan kitalah yang perlu membaca situasi dan ‘timing’ serta membuka peluang untuk menentukan kapan saat yang pas untuk mengambil keputusan.
“Situation Awareness”
Orang nomor dua terkaya di Amerika, Warren Buffett, mengatakan: “Risk comes from not knowing what you're doing”. Ini berarti, bila kita memahami benar apa yang kita lakukan dan kita hadapi, jelas kita bisa mengelola risikonya dengan lebih baik. Dalam ilmu psikologi, hal ini disebut sebagai “situation awareness”, kesadaran atas situasi yang kita hadapi. Situation awareness terdiri dari 3 tahap. Pertama adalah persepsi terhadap lingkungan untuk dicerna dan disimpan dalam ingatan. Kedua, menterjemahkan situasi dengan memberi ‘arti’ dan ‘sense” pada hal-hal yang terlihat tersebut dengan kemampuan analisa yang tajam. Ketiga, melakukan proyeksi pada hal-hal yang terjadi di masa mendatang, sehingga kita bisa me’radar’ masa depan dengan penglihatan yang jelas. Kebijakan pemerintah terhadap tenaga outsource, misalnya, tidak hanya perlu diketahui, tapi kemudian perlu diterjemahkan dalam situasi organisasi kita. Selanjutnya, kesadaran ini kita pakai sebagai radar terhadap situasi sekarang untuk menentukan apa dan kapan harus mengambil keputusan. Seorang tokoh asal Inggris, John Lubbock, mengatakan: “What we see depends mainly on what we look for”. Ini berarti, kitalah yang perlu pintar-pintar mengatur kesadaran situasi kita sehingga kita benar-benar selalu awas terhadap gejala gejala yang memang perlu kita waspadai.
(Dimuat di Kompas, 8 Juni 2013)