Apa biasanya komentar kita, saat menghadapi deadlock dalam meeting, di mana beda pendapat tidak menemukan jalan tengah? Apa respon kita saat pertumbuhan bisnis tidak menggembirakan, sehingga perusahaan harus melakukan efisiensi biaya di sana-sini, termasuk memotong bonus atau fasilitas untuk karyawan? Apa yang kita pikirkan saat klien yang dulunya sangat loyal, kemudian berpaling menggunakan jasa kompetitor? Hal seperti ini Kesemuanya ini sering membuat ‘mood’ kita seolah diselimuti awan kelabu. Sering dengan mudah kita langsung merasa terpuruk, berkeluh kesah, mencari-cari kesalahan. Situasi ini juga kerap membuat kita merasa ‘mentok’ atau ‘no way out’, bukan? Kadang, kita tidak bisa menyalahkan individu, bila memang menyaksikan situasi yang buruk. Tetapi, kita memang perlu mawas diri dan bertanya, apakah sikap pesimis, bahkan sinis, ini akan berguna? Bukankah pemikiran adalah awal dari tindakan kita. Begitu kita memulai sesuatu dengan sikap negatif maka kita tidak mempunyai kesempatan untuk memulai sesuatu yang baik.
Dalam bisnis, kejutan seperti mitra bisnis yang tiba-tiba berpaling dan ingkar janji, ketidakberuntungan ataupun keputusan yang salah dan menyebabkan kerugian, bisa terjadi, atau malah kadang datang bertubi-tubi. Bayangkan, apa jadinya bila kita sudah kehilangan optimisme. Tidak adanya optimisme, tanpa disadari bisa menyebabkan ekonomi tergerogoti karena tidak tumbuhnya bisnis baru secara proporsional. Sikap pesimis juga menyebabkan kita tidak lagi antusias berinvestasi, bahkan mematikan niat untuk berburu orang-orang berbakat. Dan lucunya, dalam situasi seperti itu, banyak ide baru yang direspons secara getir, penuh kesinisan. Bukan saja orang menekankan sikap konservatif, atau “buy in” ide baru lemah, tetapi penolakan tersebut diwarnai agresi. Misalnya saja, komentar: “Ah, basi!”, jadi lebih sering kita dengar, misalnya saat ada rekan kerja mengeluarkan ide yang terkesan ‘biasa-biasa’ saja. Jadi, bisa dikatakan bahwa musuh optimisme bukanlah sekedar pesimisme, tetapi juga kesinisan. Jadi dalam setiap ide atau situasi, yang muncul secara ‘default’ di dalam persepsi kita adalah pandangan negatif, yang bahkan dibumbui dengan memori-memori lama tentang keburukan situasi. Bukankah ini bisa sangat menghambat kemajuan kita?
Seorang tokoh periklanan, Jay Chiat, sering mengatakan bahwa ketrampilan hidup yang perlu senantiasa dikembangkan adalah untuk menghadapi ancaman kekalahan. Beliau mengatakan bahwa optimisme adalah satu-satunya senjata menghadapi kesulitan. Itu sebabnya, kita perlu berlatih mental secara rutin untuk melakukan berbagai hal sebaik-baiknya, walau dengan sumberdaya terbatas. Kita bisa melihat para entrepreneur sukses jarang terdengar mengkomplen hal-hal yang mereka tidak punya, tetapi justru menghargai apa yang mereka miliki dan apa hasil pemanfaatannya. Dengan begitu kita terbiasa berada di situasi bawah tekanan, bukan mengeluh, merengek, tetapi siap untuk memunculkan “call for action”.
Disiplin Berpikir sebagai Dasar Optimisme
Optimisme adalah keyakinan bahwa hampir semua masalah dapat diselesaikan dengan kerja keras dan ‘mindset’ yang tepat. Meski terdengar sederhana, tapi kita tahu betul ini betapa ini tidak mudah, apalagi karena memang berita-berita buruk datang silih berganti dan lingkungan sekitar kita pun seringkali menyuburkan sikap pesimisme. Itu sebabnya, kita kerap kagum pada orang yang selalu bisa berpikir optimis, padahal kita tahu sendiri bahwa nasibnya tidak seberuntung orang lain. Sebetulnya, tidak sedikit riset yang menunjukkan bahwa orang yang berpikir positif mempunyai derajat kesuksesan yang lebih tinggi di pekerjaan, sekolah bahkan dalam hidupnya. Hasil penelitian pun mengatakan bahwa optimisme ini ditularkan. Orang tua yang optimis, biasanya membesarkan putra-putri yang optimis pula. Jadi, apa yang perlu dilakukan agar kita bisa senantiasa bersikap optimis?
Pertama-tama, kita perlu memperhatikan apakah perbendaharaan kata-kata kita lebih berisi kata-kata ‘magic’ yang mempengaruhi positifnya pikiraan kita, atau sebaliknya, perbendaharaan kata kita justru didominasi kata-kata yang “menjatuhkan”, seperti,”mana mungkin?”, ‘apa iya?”, atau “ salah siapa?”. Kita bisa segera melihat bahwa kata-kata negatif yang ada di pikiran atau kita ucapkan, akan membawa pikiran kita ke dalam pembicaraan defensif atau tidak produktif. Andaikan saja kumpulan kata-kata kita selalu menantang kita untuk melanjutkan pemikiran kita, seperti mempertanyakan detil, memikirkan kemungkinan pelaksanaan tindakan, membayangkan berbagai kemungkinan untuk berpikir kreatif dan menyelesaikan masalah, maka tanpa disadari “mood” kita akan terangkat dan kita pun akan terpengaruh dengan pikiran kita sendiri, terbawa kepada suasana pencarian solusi. Optimisme sebetulnya juga perlu dibarengi dengan kegiatan berfikir eksploratif yang akhirnya memungkinkan kita untuk menembak jalan keluar yang lebih jitu.
Aturan 24x3
Kita tentu pernah melihat orang yang memotong pendapat orang lain dan seketika menilai ide orang buruk, padahal orang tersebut belum selesai menyampaikan pendapatnya. Tidakkah kita kadang berpikir bahwa komentar negative itu terlalu dini? Pernahkah kita buang muka saat menemui seseorang yang tidak kita sukai, pada detik detik pertama? Bukankah bila kita pikirkan lebih lanjut, kita sudah menyia-nyiakan kesempatan positif untuk membina hubungan atau paling tidak menerima informasi? Berarti, hal yang perlu kita latih juga adalah menahan respon, untuk tidak segera mengomentari, menilai, memutuskan. Sebaliknya, kita perlu mengendapkan lebih dulu informasi yang kita terima untuk memberi waktu kita melihat sisi positif dari setiap situasi.
Seorang pakar mengemukakan kita “rule 3x24”, untuk melatih kita berpikir dan bersikap optimis. Sebelum kita mengomentari situasi yang kita rasa buruk, maka kita perlu menunggu 24 detik sebelum memberi respon. Mengapa? Karena, bila tidak menunggu 24 detik, kita tidak sempat mencerna apa yang kita tangkap. Ini sebetulnya bukan hal istimewa, namun dasar dari ketrampilan mendengar. Selanjutnya, kita perlu menggunakan 24 menit untuk memikirkan situasi atau ide tersebut, mengelaborasi dan meng’exercise’nya. Setelah kita olah, bila kita ingin menyampaikan kritik ataupun ketidaksetujuan, alangkah baiknya kita ‘inap’-kan dulu sanggahan kita semalaman, sehingga kita bisa mematangkan ketidaksetujuan kita dalam 24 jam. Rumus 3 x 24 yang sederhana ini, sebetulnya adalah salah satu cara untuk mengatur pikiran, agar tetap jernih dan obyektif. Kita perlu berlatih dan mendisiplinkan diri untuk bersikap seperti ini, apalagi dijaman komunikasi instan, melalui sosial media, yang sangat-sangat ‘real time’ ini. Ini mungkin menyebabkan kita seolah-olah lamban, tetapi bukan konvensional dan sinis, tetapi justru obyektif.
(Dimuat di Kompas, 1 Juni 2013)