Kita tentu pernah mendengar orang tua kita menasihati, bahwa ketekunan akan membuahkan hasil. Artinya, sesuatu yang dikerjakan terus-menerus, konsisten dan tanpa lelah, pasti akan memberi hasil nyata. Ayah saya bahkan pernah berkata, “Jadi tukang las pinggir jalan pun, asal tekun, pasti bisa hidup layak”. Di jaman yang berubah-ubah dan penuh turbulensi seperti sekarang ini, di mana ketidakjelasan waktu, lalu lintas dan cuaca semakin sulit diprediksi, kita cenderung mulai melupakan sikap mental tekun dan konsisten ini. Kita mudah membatalkan janji. Kita mudah beralasan untuk tidak berolahraga 4 kali seminggu. Kebiasaan untuk membaca buku, yang kita yakini sebagai keharusan, bisa kita tinggalkan karena “tidak sempat”. Menunda sudah menjadi hal yang terlalu biasa.
Dalam setiap forum diskusi, saat seorang olahragawan ditanya mengenai apa yang membuat ia bisa meraih kemenangan dan tidak putus asa saat sedang kalah pertandingan, kita akan mendengar jawabannya adalah ketekunan dalam berlatih. Tidak mungkin ia memenangkan laga bila tidak melakukan latihan secara teratur. Melalui latihan, para olahragawan ini bukan hanya menumbuhkan rasa percaya diri, tapi juga kerendahan hati saat menghadapi lawannya. Disiplin latihan tidak hanya membentuk kekuatan fisik, tapi juga kesiapan mental untuk menghadapi hal-hal yang tidak sesuai harapan, dan bangkit dari kegagalan. Tengok saja betapa pasukan elite tentara berlatih jauh lebih keras dan lebih banyak daripada pasukan biasa. Ternyata, prinsip untuk mengambil ‘action’ yang teratur dan konsisten, tidak lekang jaman, masih dibutuhkan, bahkan tidak bisa ditawar-tawar.
Kita selalu bertanya-tanya, apa rahasia perusahaan yang bisa bertahan menghadapi turbulensi, kekacauan dan krisis. Dalam buku terakhirnya, Great By Choice, Jim Collins dan Morten Hansen, mengungkapkan jawabannya terhadap pertanyaan tersebut, melalui riset yang berlangsung selama 9 tahun. Ternyata, salah satu hal utama yang dilakukan perusahaan ini adalah disiplin yang fanatik dalam menjalankan program, komitmen dan action plan. Mereka sangat setia pada tujuannya, konsisten melakukan apa yang telah disepakati, tanpa peduli perubahan situasi. Seolah-olah situasi “on-off” tidak diperhitungkan. Bahkan, yang sangat mengejutkan juga, hasil penelitian mengatakan bahwa kesuksesan organisasi ini tidak bergantung pada kepemimpinan perusahaannya. Ini yang menjawab pertanyaan, mengapa Southwest Airlines melegenda karena kemampuannya melalui krisis, tetap jaya walaupun pemimpinnya sudah berganti. Di Southwest Airlines, pada saat krisis, pemimpin perusahaan tetap fokus dan semakin menekankan:”Doing the “right thing” for their customers, employees, and stakeholders”, tanpa peduli kesulitan lain. Karena sikap dan ‘willpower’ inilah mereka sukses. Jadi, banyak sekali bukti bahwa bila kita melakukan “fighting well” secara konsisten, kita lebih kuat, lebih bisa mengatur enerji dan lebih sehat mental.
Disiplin : konsistensi tindakan
Dalam buku Great by Choice, Jim Collins juga membandingkan dua kelompok pengembara Arctic. Kelompok pertama berdisiplin berjalan 20 mil perjam, secara teratur, tidak kurang tidak lebih. Sementara kelompok kedua, kecepatan berjalannya tergantung cuaca. Pada cuaca yang baik mereka berjalan lebih banyak, sementara bila cuaca sulit, mereka beristirahat. Hasilnya, kelompok yang disiplin, konsisten dengan komitmennya, bisa bertahan dan lebih cepat mencapai tujuan. Dengan perkataan lain, kita tidak perlu menunggu sampai kondisi memudahkan kita untuk bergerak, tetapi justru kita perlu maju terus ke depan, apapun yang terjadi.
Banyak orang mengkaitkan kedisiplinan dengan kemiliteran dan olah raga. Bahkan banyak yang merasa bahwa kedisiplinan hanya cocok untuk kegiatan-kegiatan yang didominasi kepatuhan. Padahal, sudah banyak bukti bahwa sekelompok orang tidak mungkin bisa menjaga konsistensi kegiatannya, bila kedisiplinan itu tidak ada dalam kesadaran dirinya sendiri. Disiplin adalah sekedar konsistensi tindakan, yang sudah dijanjikan oleh seseorang pada dirinya sendiri. Perlu kita akui bahwa menjaga konsistensi tidaklah mudah. Bisa kita bayangkan beratnya melawan perasaan malas untuk bangun pagi, apalagi di hari libur, cuaca mendung, atau saat kita belum puas tidur. Begitu juga saat kita tengah berpuasa atau berdiet, melihat orang lain makan makanan yang membangkitkan air liur membuat kita kadang “goyah” dengan komitmen dan tujuan kita. Ada rasa tidak nyaman dalam berdisiplin, yang selalu harus kita kalahkan, di mana kita harus ‘melakukan” sesuatu padahal kondisi tidak nyaman, dan kita harus ‘menahan’ untuk tidak melakukan sesuatu dalam kondisi yang nyaman. Hal inilah sesungguhnya yang membuat individu kuat.
Budaya disiplin
Budaya disiplin tentunya dijalankan oleh manusianya. Hal yang paling mudah dilakukan adalah mengumpulkan manusia dengan self-discipline yang tinggi. Bila hal ini belum mungkin tercapai, maka perusahaan atau lembaga, perlu melakukan kampanye agar setiap individu mendefinisikan, membuat janji dan mengkontrol dirinya sendiri, sesuai target organisasinya. Karena itu, kita perlu untuk merefleksikan kembali, apa-apa saja tindakan yang harus kita jaga kedisiplinannya. Misalnya, sebuah perusahaan supply barang bisa mendisiplinkan komunikasi yang lancar. Tidak ada rapat yang tidak di follow up, tidak ada email yang tidak dibalas, tidak ada notulen yang tidak terkirim, tidak ada skedul yang tidak terupdate. Bila kedisiplinan ini membudaya, bukankah sebagai pelanggan kita segera merasa ingin selalu berhubungan dengan perusahaan seperti ini?
Bukan hanya tindakan yang didisiplinkan, pemikiran pun harus didisiplinkan. Kita tentu tahu bahwa tumbuhnya sebuah ilmu pun asalnya adalah dari disiplin ilmu tersebut. Artinya, ilmu adalah jawaban terhadap pertanyaan, yang sudah terjawab berulang-ulang, sehingga bisa diramalkan hasil akhirnya. Disiplin pemikiran dalam satu budaya perlu diwarnai cara memandang ‘brutalfacts’ sebagai studi kasus, tantangan, dan bukan ajang membela diri dan menghindar. Dialog, debat, bedah kasus, harus menjadi disiplin cara pikir, sehingga organisasi siap bergerak maju, tanpa harus menunggu ‘timing’ yang tepat. Terakhir, disiplin hanya akan terlihat melalui tindakan yang konsisten yang datang dari kombinasi kebebasan tingkah laku dan tanggung jawab. Bukan keterpaksaan. Tangan harus kotor. Details harus diperhatikan dan ditekuni. Seperti kata para pakar : “Things get uphill pretty quickly. Proper discipline makes the climb slow and steady to make sure things get done.”
(Dimuat di Kompas, 20 April 2013)