Teman saya, seorang yang sukses memimpin berbagai perusahaan dan sangat populer di pergaulan, mempunyai kebiasaan yang sudah sangat dikenali oleh orang-orang yang dekat dengannya. Setiap percakapan melaui email atau teks, selalu diakhirinya dengan kata: “Terimakasih”. Hal yang unik adalah ia ingin agar dialah yang menutup pembicaraan. Bila ucapan “terimakasih”-nya kita jawab, maka ia akan menambahkan komentar lain, supaya ia menjadi orang yang terakhir berucap dalam dialog itu. Pada sebuah kesempatan, saya tanyakan, mengapa ia mempunyai kebiasaan ‘manis’ ini. Jawaban beliau sederhana saja: “Itu cara saya menghargai orang”.
Setiap orang memang bisa punya pandangan berbeda-beda mengenai ungkapan ‘terimakasih’. Seorang manajer pernah mengeluh bahwa ungkapan terimakasih yang ia sampaikan, kerap oleh orang lain dianggap otomatis memang harus demikian. Itu sebabnya, ada pula orang yang merasa bahwa ungkapan tersebut bisa digantikan proses elektrik yang dilakukan oleh komputer. Bagi sebagian orang, ungkapan ‘terimakasih’ dianggap sebagai sesuatu yang “ekstra”, yang hanya diberikan untuk tindakan-tindakan yang melampaui ekpektansi. bukan untuk hasil tindakan sehari-hari. “Mereka dibayar untuk mengerjakan pekerjaan mereka, mengapa kita harus mengucapkan terima kasih?”, ujar seorang ‘owner’ perusahaan. Di sebuah organisasi yang tengah menggalakkan budaya “Smile & Thanks”, seorang karyawan bahkan berkata,”Saat saya menandatangani kontrak kerja dulu, tidak tertulis kewajiban untuk mengatakan ‘terimakasih’. Jadi, mengapa harus repot-repot?”. Alangkah bertentangannya dengan teman saya di atas.
Kata terimakasih, memang terasa begitu sederhana, sehingga tanpa disadari sering terlewat dalam benak kita. Kita bisa jadi terlalu sibuk dengan kegiatan bisnis, berorganisasi, politik untuk bersikap ‘baik’ pada orang lain. Kita mungkin lupa bahwa ungkapan terimakasih bisa mengandung “magic”. Kata ‘terimakasih’ juga jelas mengandung rasa hormat dan menyalurkan rasa ‘care’ yang berbobot emosi. Bila reward dan apresiasi untuk prestasi cemerlang, kerap kita tuangkan dalam program dan strategi untuk memotivasi karyawan, kita sering lupa bahwa situasi yang sehari-hari dan rutinlah yang lebih dominan di dunia kerja. Disinilah kita sering kecolongan dan lupa menghargai seseorang di dalam tim dan hanya tergugah pada “extra miles” saja.
Bobot emosi
Seorang teman terkejut ketika anak buahnya mengirimkan sms “terimakasih”. Ketika ia tanyakan untuk apa, anak buahnya tersebut mengatakan ia berterima kasih karena diberikan tugas yang super sulit di pekerjaan. Setelah itu, mereka langsung bersahabat. Kita lihat, betapa kata terimakasih mempunyai bobot emosional. Dalam situasi sehari-hari, saat seseorang mengungkapkan terima kasih yang tulus, misalnya saat kita menahan pintu lift untuknya, bukankan kita segera bisa merasakan semburan kehangatan di dalam ekspresinya? Kata “terimakasih” bisa sangat ampuh untuk kita gunakan dalam menunjukkan kepedulian, menghargai niat baik dari seseorang terhadap orang lain. Di saat di mana kita semakin banyak menggantikan komunikasi tatap muka dengan kontak secara elektronik dan tertulis, dan mengkhawatirkan tidak adanya ‘jiwa’ dalam komunikasi modern ini, alangkah bodohnya bila kita mengabaikan dua kata tersebut. Bukankah kita tidak punya risiko apapun bila mengungkapkannya? Kita tentu tidak pernah bertemu orang yang marah ataupun sedih bila mendengar kita mengucapkan “terimakasih”, bukan?
The Power “thank you”
Dalam sebuah survei kecil di perusahaanm di mana semua orang mengira bahwa hal yang dianggap paling penting oleh karyawan adalah upah, hasilnya ternyata ‘penghargaan’ menduduki peringkat pertama. Ini bukti betapa kepedulian, ‘care’ dan apresiasi adalah perilaku manajerial yang penting dalam organisasi. Dan, hal ini tidak bisa ditampilkan hanya dalam “upacara” atau ceremonial saja, karena apresiasi ini justru perlu terasa dalam situasi harian. “Deadline”, rutinitas pencapaian target, sudah pasti menimbulkan tekanan yang membawa suasana menjadi bertegangan tinggi. Bila tidak hati-hati, disinilah kita bisa kehilangan kesempatan membina “trust’ dan hubungan baik, yang sesungguhnya adalah unsur utama dari kinerja dan motivasi tim.
Bila kita merasa kerja baik dan kerja keras saja cukup untuk membuat kita berhasil di tempat kerja, ternyata tidak selalu demikian kondisinya. Seorang teman saya, tidak jadi mempromosikan anak buahnya, ketika ia tidak mendapat jawaban atas ucapan terimakasihnya . Ia mengatakan, “Bila ungkapan terimakasih disepelekan, bagaimana ia akan menghandel masalah interpersonal yang lebih penting? Hal yang penting dan ingin saya ketahui sebetulnya adalah apa yang ia pikirkan mengenai ‘hubungan’ atasan-bawahan, hubungan antar manusia, dan terutana hubungannya dengan perusahaan”. Ternyata, bagi sebagian orang, kata terimakasih ia nyatakan dengan cara yang berarti. Dan sebaliknya, ia pun menginginkan sikap yang sama.
Kita sering tidak sadar bahwa membuat kebiasaan kecil, seperti “say thank you” mempunyai dampak demikian besar pada kultur kelompok. Ada perusahaan yang mempunyai prosedur standar, dalam rencana proyeknya, yaitu tahapan “terimakasih”. Meski ada karyawan yang awalnya mengolok-olok, namun mereka meyakini betapa rutinitas menghargai dan mengucapkan terimakasih secara disiplin akan mengembangkan lingkungan kerya yang lebih positif dan apresiatif, yang ujung-ujungnya akan mendorong produktivitas. Bila kebiasaan mengucapkan terimakasih ini kemudian dikembangkan dengan mengucapkan alasan yang dibumbui dengan keterangan betapa ‘action’ orang tersebut sudah membuat diri kita beruntung, bayangkan betapa moral tim dan hubungan individu dalam kelompok bisa diperbaiki tanpa perlu mengeluarkan biaya mahal sama sekali.
(Dimuat di Kompas, 2 Maret 2013)