Dari tahun ke tahun, banyak survey dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader”. Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai dengan tuntutan jaman. Hasil survey media sosial terkemuka, LinkedIn, mendapatkan hasil bahwa peringkat tertinggi karakteristik terpenting leader adalah: visi yang berimpact. Peringkat selanjutnya adalah kekuatan memotivasi dan inspiring, kemampuan mendengar, mengenal anak buah secara individual, dan kekuatan membela timnya. Kompetensi ini lalu disusul dengan kekuatan pengetahuan teknis dan kemampuan menjaga keseimbangan ‘life skills’. Bila persentase tindakan yang mengacu pada perhatian pada tim dan anak buah atau ‘coaching’ dijumlah, maka aspek-aspek tersebut bernilai sekitar 60 % dari kekuatan leadership. Ini berarti bahwa coaching adalah jantungnya leadership. Atau, dengan perkataan lain, visi yang bagus, jelas dan mengacu pada masa depan hanya bisa dicapai melalui ‘coaching’ intensif.
Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image perusahaan memang hal yang ‘intangible’. Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur ‘suasana kerja yang menyenangkan’. Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba perusahaan?”, “Benarkah sikap kerja produktif betul-betul bisa melipatgandakan produktivitas?”. Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Perusahaan itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.”. Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada. Itu sebabnya pemimpin ataupun organisasi yang berani memutuskan budget signifikan untuk menumbuhkan kepemimpinan, memperkuat leadership, maupun menyuburkan budaya positif di organisasinya bisa kita sebut punya visi masa depan yang jelas dan kuat.
Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang ‘hidup’, di mana pikiran, talenta dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespon terhadap perubahan yang tak terduga, dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengkontrol kekuatan pengambilan keputusan dari ‘kursi’ kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan dan kemampuan belajar yang tinggi, sehingga apapun perubahan, perusahaan bisa dengan fleksibel menanggulanginya. Jadi, peran leader sebagai coach memang bukan lagi bersifat pilihan, tapi sudah bergeser menjadi keharusan. To be an effective leader, you must be an effective coach.”
Menggeser Fokus
Kita bisa melihat guru yang baik menjadi kepala sekolah, salesman top menjadi manajer, komputer programmer yang piawai kemudian menjadi team leader. Padahal tidak ada jaminan bahwa para profesional ini bisa mengakselerasi kinerja. Mereka bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi bisakah menggerakkan orang lain dan timnya? Kompetensi teknis memang senantiasa menjadi jalan bagi individu untuk menapaki karier ke posisi leader. Namun, saat kita di posisi yang menuntut pengelolaan anak buah, kita perlu segera mengembangkan kemampuan interpersonal kita, seperti berkomunikasi, memberi masukan, mengajak, bersabar, mendengar, berkonfrontasi dan menanggulangi konflik. Kita juga belajar menyeimbangkan kekuatan kita dengan faktor-faktor eksternal seperti strategi, prioritas, dan hasil disamping ‘values’, sasaran, dan ‘self awareness. Pada saat inilah seseorang perlu melangkah lebih jauh dan mulai mempersiapkan kompetensi ‘coaching’ nya.
Pemimpin perlu sadar bahwa ia tidak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan kekuatan organsisasi. Tentu bukan hal yang salah untuk berfokus pada laba perusahaan dan harga saham, namun pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan dan prestasi setiap individu dibawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya. Bila seorang pemimpin sudah me’lepas’kan ke ‘aku’annya, barulah ia siap untuk meng-engage pikiran dan hati anak buah. Pada saat itulah dia perlu mempraktekkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi, jago mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas-tugas progresif timnya, agar biasa menjadi pemenang.
Memimpin Pemimpin
Seorang pemimpin yang kuat melakukan ‘coaching’ menyadari bahwa ia bukan melakukan hal itu sekedar karena hobi atau ‘passion’-nya. Kesadaran bahwa ia sedang mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpinlah yang bisa memperkuat ‘power’-nya untuk melakukan ‘coaching”. Ia harus sadar bahwa individu yang tengah ia bimbing adalah pemain-pemain tangguh yang dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi, penuh turbulensi, chaos, bukan sekedar perubahan normal. Respons-respons yang dilatih bukan sekedar melihat kebelakang, mengencangkan ikat pinggang saja, tetapi justru kekuatan menghadapi hal-hal eksternal seperti perubahan peraturan, kekuatan pelanggan dan perkembangan teknologi. Latihan ketahanan , keberanian untuk menghadapi yang tidak terduga, keberanian untuk “ tampil” perlu dibuatkan lahan latihan. Seorang coach adalah “culture creator”, bukan “answer provider”. Hanya dengan adanya manusia berkualitas perusahaan bisa mempunyai nilai ‘sustainability’ tinggi. Dan, membangun manusia hanya bisa dilakukan melalui ‘coaching’ yang intensif.
(Dimuat di Kompas, 20 Oktober 2012