Banyak kita mendengar pejabat atau pimpinan yang sudah terlalu sibuk sehingga pengembangan anak buah dan sumber daya manusia di sekitarnya seolah bukan urusannya. “Terlalu banyak substansi lain yang harus diurus. Biarlah pengembangan bawahan diurus oleh ‘ahlinya’”. Ya, tidak sedikit orang lepas tangan dan menganggap ini adalah tugas dan tanggung jawab divisi sumber daya manusia, tidak termasuk dalam ‘job description’ sebagai pimpinan. Bukankah jarang kita mendengar pejabat tinggi melakukan ‘mentoring’ atau ‘coaching’, serta secara langsung memperbaiki kesalahan dan mengarahkan bawahan yang dilakukan dengan fokus untuk pengembangan bawahan? Apakah substansi bisnis, politik, proyek yang demikian kompleksnya, menyebabkan minat terhadap perkembangan anak buah sebagai aset terpenting ini tersisihkan? Memang kita bisa melihat satu-dua leader akan tumbuh sendiri dengan cara yang tidak disadari organisasi, namun bukan produk organisasi yang memang berniat menciptakan ‘leaders’ secara massal. Tidakkah kurang tumbuhnya penerus yang “kuat” di masa depan tidak dilihat sebagai ancaman yang serius?
Bermain Manusia
Sumber kesalahan kita, bila kita mengeluh tentang langkanya kepemimpinan, adalah karena kita sendiri kurang banyak berminat pada manusia. Meski dalam keseharian kita berkomunikasi, bergaul, berempati, namun seberapa jauh kita siap untuk ‘menggarap’ perkembangan orang lain? Apakah kita betul-betul berminat dan antusias untuk mengkotak-katik ‘mindset’-nya, ‘habit’-nya, ke’bisa’annya, sikapnya, mimpinya, sampai anak buah betul-betul mempunyai peluang untuk maju? Kita melihat saat ini banyak perusahaan mengembangkan penilaian kinerja “online”, di mana semua analisa, penghargaan, pujian ataupun teguran dilakukan oleh pimpinan pada anak buahnya secara tertulis. Hal ini memang efisien, tetapi pertanyaannya, apakah kita cukup mempunyai ‘feel’ terhadap anak buah, mendeteksi potensi dan kompetensinya, mencatat perkembangan dan aspirasinya, bila tidak bicara dari hati ke hati? Padahal kita semua mengerti bahwa bila ada kesenjangan hubungan ‘hati’ antara atasan dan bawahan, mustahil kita bisa melahirkan bibit-bibit leader yang baru secara produktif.
Membina bawahan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan membina pemain sepakbola. Pertama-tama, kita perlu memandangnya sebagai suatu fenomena yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Ada praktek, ada standar, harapan dan agenda yang berbeda-beda di setiap individu. Permainan ini pasti melibatkan friksi, miskomunikasi dan pembinaan rasa percaya. Ini memang permainannya, tidak mungkin dihindari. Hanya dengan penguasaan ini, anggota tim akan merasakan ‘passion’ dan terlepas dari ‘sense of duty’ yang berat. Kita sering mendengar alasan seseorang keluar dari tempat kerjanya karena situasi tidak ‘fun’ lagi. “Fun” seperti inilah yang perlu diciptakan seorang bermental ‘coach’ dilingkungan kerjanya. Individu dalam kelompok perlu merasakan bahwa ia dituntut untuk menjadi ‘a better player’ yang membutuhkan kemampuan problem solving, bersaing, dan menciptakan hasil yang memuaskan. Baru dalam situasi inilah, seorang anggota tim akan merelakan waktu luangnya untuk mengerjakan pe-ernya demi penguatan sikap kerja dan kualitas kerja yang lebih baik.
Think: Journey
Kekuatan mental seorang yang punya keahlian ‘coaching’ adalah kemampuannya melatih bawahan atau anggota timnya untuk menghindari distraksi, penolakan, kelelahan dan berkonsentrasi untuk memperpanjang nafas dalam melakukan tugas. Disinilah jam terbang seorang pemimpin berperan karena akan lebih mudah baginya untuk membuktikan pada bawahan bahwa ketangguhan akan menjadi jawaban atas kesuksesan bawahan. Seorang bermental ‘coach’ tahu cara mendampingi individu ketika bertransisi dari satu situasi lama ke baru. Ia perlu mendampingi anak buahnya ketika meng-”oper gigi” dalam berkinerja. Ia pun perlu mengajari ‘time awareness’ pada anak buahnya, baik awareness yang diukur dengan ‘stopwatch’, maupun kalender. Hal yang juga sangat penting dalam ‘coaching’ adalah kekuatan mengajarkan pada anak buah bagaimana menyikapi kesuksesan dan kegagalan. Bawahan harus tahu bahwa karirnya adalah perjuangan karena itu ketangguhan untuk menghadapi pasang-surutlah yang harus dipompakan kepadanya. Sebetulnya prinsip dalam membimbing anak buah simple saja: “They good, you care. They bad, you care. They fall, you‘re there.”
Orang yang punya passion pada manusia dan rajin dalam membimbing orang lain untuk maju, jarang sekali kita lihat meninggalkan tim atau menikmati hari tua dengan bersedih. Ia pasti terpuaskan melihat hasil bimbingannya, apalagi kalau berhasil menurunkan ketrampilan, pengetahuannya dan melihat anak buah menjadi lebih canggih dalam ‘bermain’ dan ber’taktik’. Bukankah kehidupan ini memang mempunyai sifat suksesif? Tidakkah kita ingin meninggalkan hidup dan dikenang sebagai legenda karena keberhasilan mensukseskan orang lain?
(Dimuat di Kompas, 6 Oktober 2012)