Bila kita menelaah lebih dalam, banyak hal yang bisa kita pelajari dari dua dunia yang seolah berbeda ini: bisnis dan seni. Seorang artis bisa saja memiliki tampilan yang nyentrik, mengecat rambut dan membiarkan rambutnya gondrong. Namun, yang juga perlu kita pahami adalah bahwa artis juga mempunyai target kualitas tertentu dan tidak mencapai keberhasilannya dengan santai. Para manager korporasi memang tampil lebih serius, karena dituntut oleh hasil yang kebanyakan jangka pendek. Namun, kita juga tahu bahwa untuk sukses di dunia bisnis tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan kepintaran dan ketrampilan teknik atau hardskills semata, tetapi sangat dipengaruhi kompetensi “softskills” yang lebih mengandalkan “seni”, seperti seni membangun relasi, mengelola manusia. Banyak orang sukses sebagai pebisnis, ahli keuangan, ahli negosiasi, tanpa menyandang kualitas sebagai pemimpin yang sukses. Mengapa demikian? Karena kepemimpinan adalah seni.
Kharisma Artistik seorang Pemimpin
Pernahkah kita menyimak kesamaan seniman besar seperti Iwan Fals dengan pemimpin besar semacam Bung Karno? Bukankan keduanya kita kenal bisa memiliki kharisma yang memukau komunitas sampai-sampai mereka bisa jadi sedemikian fanatik dengan dirinya? Response khalayak terhadap karya seorang artis sama dengan respons terhadap pemimpin yang dikaguminya. Baju , benda benda yang dimilikinya, seolah olah keramat, dan dianggap mengandung kekuatan. Kualitas istimewa apa yang menempel pada pemimpin berkarisma seperti ini? Kekaguman masyarakat pada kedua tokoh ini demikian kuat, karena alasannya jelas, yaitu kompetensi. Keduanya mempunyai kemampuan mengorkestra berbagai kekuatan dan menciptakan hubungan yang saling respek antara si pemimpin dan panutan, yang juga tidak terlepas dari kekaguman akan ketrampilan pemimpinnya. Situasi ini pasti ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang ‘genuine’ yang ada pada diri pemimpin. Kedua tokoh ini sangat berorientasi sosial, mereka mengumandangkan tantangan, memukau, menenangkan dan memotivasi. Visinya jauh ke depan, besar , kuat, dan menyangkut dunia, diri kita sendiri dan pilihan kita.
Kualitas lain yang juga super penting dari seorang pemimpin adalah konsistensi terhadap keyakinannya. Konsistensi kehendak seorang pemimpin terlihat oleh panutannya sebagai fokus dan bisa terbaca dengan mudah oleh semua penganutnya. Semua strategi, ‘policy’ dan struktur perlu di kelola dan dikomunikasikan secara utuh dan menyeluruh. Meski harus menangani kompleksitas tingkat tinggi, ia pun penuh imajinasi dan “sense of humor”. Ia pun haruslah bebas dari kehendak untuk ‘ja-im’, memikirkan atau khawatir tentang diri sendiri, atau bahkan kantong sendiri, sehingga seolah “selfless”. Bila dalam ilmu kelola panggung seorang artis sering dianalisa dari komunikasinya dengan penonton, maka hal inipun perlu diterapkan terhadap seorang pemimpin. Pemimpin harus mengecek apakah komunikasinya mata ke mata, hati ke hati bahkan dua arah? Apakah hubungannya seolah dekat dan tidak terpisahkan? Bila dalam manajemen panggung seorang artis diingatkan untuk manggung seolah ini adalah kesempatan pertama dan terakhir, seolah tidak akan ada kesempatan untuk mengulang pertunjukan lagi. Seorang pemimpin pun sebenarnya perlu diingatkan juga untuk memanfaatkan setiap momentum untuk berinteraksi dengan serius dan hati-hati serta all out. Sebagai pemimpin, sudahkah kita berusaha merangkul komunitas dan melihat dalam-dalam apa yang mereka butuhkan?
Prinsip Pemimpin Kreatif
Seorang pemimpin yang sukses, pasti tahu cara memindahkan ‘passion’-nya terhadap karya, konsep dan visinya, ke dalam manajemen dan keteraturan administratifnya. Keseimbangan antara masa depan dan masa sekarang, kerja kreatif dan administratif, sudah dikuasainya betul, bahkan tidak berbatas. Respons pemimpin yang kreatif lebih lincah dan bersifat ‘real time’, fleksibel terhadap perubahan-perubahan ‘last minute’. Pemimpin juga perlu mem-’benchmark’ artis dalam membuat koreksi dan melihat kesalahan sebagai pemicu perbaikan. Cara seorang artis melihat kegagalan biasanya lebih ‘tough’ daripada seorang pemimpin, Karena artis segera akan menuduh dirinya kurang latihan dan mendera dirinya untuk lebih baik lagi, bila gagal.
Kita bisa mencontoh juga kelenturan para artis untuk berkolaborasi. Artis terbiasa untuk mengadakan ‘group show’ dengan kelompok-kelompok lain, meskipun berbeda genre. Bahkan dengan para kompetitornya sekalipun kolaborasi lebih mudah dilakukan. Alangkah baiknya, dijaman co-opetition seperti ini, kita berkompetisi tetapi berkolabrorasi juga. Sudah tidak jamannya juga seorang pemimpin tidak bisa berbicara. Saat sekarang, tidak ada artis panggung yang tersipu-sipu malu bila disuruh berbicara di depan umum. Ia harus menangkap kesempatan ini sebagai kesempatan emas, untuk menarik simpati lebih banyak lagi. Hal yang juga terpenting adalah bahwa artis lebih mudah belajar dari orang lain. Setiap kali ada yang memainkan alat musik, yang tidak lazim, biasanya artis lain langsung saja mengajukan sederet pertanyaan yang ‘curious”. Sebagai pemimpin apakah kita masih gila hormat dan gila pangkat? Sudahkah kita mengecek apakah kita mempunyai kualitas kepemimpin yang artistik ini?
(Dimuat di Kompas, 1 September 2012)