Seorang teman yang menyatakan keheranannya karena ada individu yang bisa-bisanya tidak ‘ngeh’ dengan gambaran dirinya yang sebenarnya. Seolah ada “blindspot” atau “sisi gelap” bagi si empunya karakter. Ada orang yang sering mengeluarkan kata-kata sarkatis dan menyerang orang lain, namun ia menganggap itu hal yang sah-sah saja. Padahal, bagi orang disekitarnya sikapnya itu sangat mengganggu. Ada orang yang mengatakan ia ramah dan ‘sering tersenyum’, sementara orang lain sama sekali tidak menganggap demikian. Dalam ajang pencarian bakat, kita melihat ada individu merasa sangat berbakat menyanyi, padahal suaranya sama sekali tidak merdu didengar. Seringkali terjadi, individu ‘shock’ ketika mengetahui pandangan orang mengenai dirinya. Ada yang kemudian mengatakan pemberi masukan sekedar “dislike” atau tidak menyukai dirinya. Ada orang yang bahkan sampai-sampai berkeras mengatakan “I am who I am” dan kemudian tidak melakukan apa-apa untuk meluruskan diskrepansi yang ada. Bukankah ini sangat merugikan dan menghambat pengembangan diri kita?
Sebuah hasil penelitian mengatakan bahwa penilaian kita terhadap kekuatan, kelemahan dan penyebab kegagalan kita, ternyata berkorelasi rendah dengan penilaian orang lain terhadap diri kita yaitu sekitar .40. Artinya, kita tidak ‘tahu’ tentang diri kita, seperti yang kita sangka. Di sisi lain, kita semua pasti setuju, bahwa kalau kita ingin lebih sukses lagi, kita perlu mengenal kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri. Jadi, radar untuk mencari dan mendapatkan penilaian yang tepat mengenai diri kita perlu kita aktifkan.
Kesalahan terletak di otak kita
Seorang penulis, Sidney J. Harris pernah mengatakan: “Ninety per cent of the world’s woe comes from people not knowing themselves, their abilities, their frailties, and even their real virtues. Most of us go almost all the way through life as complete strangers to ourselves.”. Gejala “stranger to ourselves” ini sebetulnya pasti tidak dikehendaki oleh orang yang bersangkutan. Kesalahan sebetulnya terletak di otak masing masing individu. Kita tidak selalu tahu apa yang terjadi dalam pengolahan otak, karena ini terjadi di luar kesadaran kita. Otak kita, seperti halnya sebuah komputer yang menganut hukum efisiensi, akan melakukan processing seefisien mungkin dan mengikuti hukum prioritas yang ada. Hal-hal yang bisa diolah segera dan dianggapnya penting, akan diproses, sementara yang memerlukan processing lebih dalam dan panjang akan masuk dalam “antrean pengerjaan”. Umpan balik, akan masuk dalam antrian pengerjaan, seperti halnya ‘post it’ yang ditempel di agenda kita. Ada masanya otak kita kemudian menyembunyikan “post-it” tersebut ke “kolong meja”, yaitu ke area bawah sadar. Dengan begitu, “kesadaran ‘ otak kita jadi jernih kembali untuk bisa mengolah tugas-tugas ‘here and now’. Namun, tanpa disadari kita menyembunyikan fakta penting yang sebetulnya bisa menjawab alasan-alasan mengapa kita sukses dan mengapa kita gagal.
Ketidak sadaran terhadap diri kita sendiri berkembang secara bertahap dan seorang ahli psikologi menyebutnya sebagai : adaptive unconsciousness yang berkembang dari setiap momen sehari-hari, di samping refleksi diri dalam kesadaran berpikir kita. Di dalam kehidupan sehari hari kita tampil sebagai orang yang realistis dan praktis, namun di saat bersamaan sulit menerima masukan karena tidak adanya ruang yang cukup dalam otak kita untuk mengolah input. Bila terjadi kegagalan, maka penyebab kegagalan yang dicari hanya yang terlihat dan teraga saja, seperti kurangnya persiapan, waktu yang terlalu pendek ataupun kesalahan orang lain yang terlibat dalam situasi tersebut. Padahal untuk bisa sukses, kita perlu betul betul mencari inti permasalahan yang sebenarnya.
Kita butuh cermin yang jujur
Hal yang paling menguntungkan bagi individu adalah bila dalam perjalanan karirnya ia menemukan “coach’ atau ‘peer’ yang tepat, karena penilaian mereka adalah jalan satu satunya individu bisa mengenal diri secara lebih mendalam. Rekan kerja yang baik tidak akan berorientasi memberi pujian semata, namun akan berkonsentrasi untuk mengoreksi kesalahan. Jadi, kita memang perlu membudayakan “cinta feedback”, agar atasan, para senior, rekan maupun bawahan tidak ‘sungkan’ untuk mengeluarkan penilaian terhadap kita. Kita pun perlu menyadari bahwa mengandalkan penilaian berdasarkan keyakinan diri sendiri adalah bagian dari kekeraskepalaan yang berbahaya. Manusia mempunyai “social brain” di mana dia bisa meraba emosi dan system empati orang lain, namun ini tidak bisa dilakukan untuk diri sendiri. Inilah sebabnya, banyak perusahaan bahkan mengupayakan ajang feedback 360 derajat ini secara kontinyu. Sementara kita belajar untuk lebih banyak mengundang feedback, kitapun perlu mengembangkan sikap yang bisa membendung keterasingan kita terhadap diri kita sendiri. Kita perlu meningkatkan akuntabilitas dengan cara melihat masalah yang ada sebagai masalah kita, tanpa selalu mencari kambing hitam atau menyalahkan orang sekitar. Kita pun perlu mengembangkan karakter yang ‘respectful’ di mana kita bisa lebih fokus, lebih mendengar dan memperhatikan lawan bicara kita. Bila kita senantiasa mengedepankan sikap objektif, terbuka memberi penilaian dan berani menyemangati teman untuk ‘maju’, maka paling tidak kita sudah berbuat amal kepada teman sendiri.
(Dimuat di Kompas, 25 Agustus 2012)