Kita tentu sekarang bertanya-tanya, buruk atau baikkah keadaan ini? Atasan, bahkan juga klien, akan marah besar bila kita ‘tidak bisa dihubungi’ di luar jam kantor. Di lain pihak, kita banyak mencuri dengar para orangtua berdialog dengan putra-putri mereka menggunakan telpon kantor. Di samping kehidupan ‘after office’ yang sudah dipenuhi dengan pertemuan dengan pelanggan, komputer kita juga sudah berisi hal-hal yang sangat personal. Betapa ruginya bila perusahaan melarang karyawan mengakses internet, padahal melalui internet tak terkira banyaknya pengetahuan, benchmark serta best practices yang bisa kita dapatkan untuk menjawab berbagai permasalahan pekerjaan. Bagaimana kita akan melarang akses ke jejaring sosial, sementara jejaring sosial ini marak dimanfaatkan untuk mensosialisasikan kegiatan positif di perusahaan, memasarkan produk, juga membangun image positif perusahaan.
Ada orang yang bahkan mengatakan “Work–life balance is so last year”, Mengingat kita tak mungkin lagi mengalokasikan waktu eksklusif untuk bekerja saja dan setelahnya baru berkonsentrasi pada kegiatan kegiatan domestik di luar jam kerja. Kita sudah tidak bisa membatasi jejaring sosial kita, antara pertemanan pribadi dan pertemanan bisnis mengingat temannya teman, bisa menjadi teman bisnis. Semua sudah merekah dan sekaligus menyatu. 'Work takes place in more places now'. Kelompok baby boomers, yang masih berpegang pada prinsip “Jangan membawa urusan kerja ke rumah dan jangan membawa urusan rumah ke kantor” jadi perlu meninjau kembali cara pikirnya, mengingat hal ini sudah menjadi tidak ‘workable’ lagi.
Making the Most of Every Moment
Di kota besar seperti Jakarta, banyak karyawan yang butuh waktu 4 jam bolak-balik rumah-kantor. Belum lagi antrian di bank dan supermarket yang menyebabkan hidup ini sudah tidak kelihatan longgar lagi. Hanya penggunaaan teknologi secara tepatlah yang bisa membuat kita bisa lebih menikmati semua dimensi kehidupan kita. Para Gen Y mengadaptasi cara hidup di mana hubungan dengan teman dan keluarga, maupun kontrol pekerjaan dilakukan dengan mengoptimalkan foto maupun kamera, di mana semuanya sudah dilakukan secara ‘realtime’ alias instan. Istilah “big win for everyone” perlu kita perhatikan, di mana pekerjaan bisa menyelimuti kehidupan pribadi dan sebaliknya, bisa menyebabkan kita merasa bebas, lebih puas, lebih banyak istirahat, terhibur tetapi tetap ‘engaged’. Istilah yang sedang hits untuk situasi ini adalah “having it all” atau “Blurring work and personal life”.
Kita perlu merasa beruntung bahwa ada perusahaan yang tidak lagi membuat kita terikat selama 8 jam di dalam kubikel dan harus buru-buru pulang ke rumah karena masih banyak pe-er domestik yang harus dikejar. Kita perlu membenchmark Gen Y yang sekarang mempunyai tuntutan peran sebagai orang tua yang lebih tinggi, tetapi sekaligus ingin ‘bekerja dengan hati”. Generasi milenial, ingin berada bersama sama putra putri mereka, tetapi juga tidak mau menelantarkan pekerjaannya demi anak anak. Mereka tidak membuat hidup personal dan kehidupan kerja bersaing. Kerja dan kehidupan pribadi dibuat saling komplementer, bahkan berbaur. Setiap saat dianggap sebagai kesiapan untuk men–“shift & synthesa”-kan kegiatannya. Suami isteri bekerja sama untuk mengurus anak, mengantar ke dokter, tetapi juga siap berbagi peran bila kemudian salah satunya menghadapi deadline atau harus melakukan pertemuan di ‘cafe’.
Disiplin yang Lebih Ketat
Terlepas dari perubahan gaya kerja yang terkesan semakin bebas, kita tidak pernah boleh lupa bahwa waktu tetap 24 jam. Seorang ahli mengatakan bahwa dengan semakin mudahnya transfer informasi, data dan segala jenis komunikasi, disiplin waktu justru perlu kita perhatikan secara lebih ketat lagi. Bahkan, deadline dan appoinments perlu selalu kita anggap sepenting makan malam dengan presiden. Kita perlu mempunyai paradigma sebagai ‘time optimist’, di mana kita memilih kapan kita benar-benar perlu berpindah tempat, bertatap muka, mengatur perjalanan dan menghemat waktu dengan komunikasi elektronik. Jadwal libur anak, imunisasi, pertemuan orang tua murid perlu kita kelola sehingga ‘blend’ dalam satu agenda dengan kegiatan raker, penyusunan laporan maupun pelaporan tugas. Tantangan kita adalah menjaga fleksibilitas dan membuat agenda tersebut bisa digeser-geser sesuai situasi. Kita tahu perusahaan semakin tidak bisa melakukan pembatasan pembatasan ketat terhadap fasilitas elektronik. Bahkan, kalau perlu malah mengganti peraturan dengan “Bring Your Own Device (BYOD)” sehingga dapat memberi kebebasan bagi karyawan untuk menggunakan alat elektronik pribadinya. Dengan cara ini, perusahaan bahkan tinggal memberi tunjangan saja, sehingga malah akan lebih efektif. Yang penting semua ‘happy’!
(Dimuat di Kompas, 11 Agustus 2012)