Kita kadang bertanya-tanya, mengapa ada orang dengan usia yang sama, namun kematangan diri yang ditunjukkan bisa sangat berbeda. Kita kadang menganalisa bahwa orang yang hidupnya “tidak pernah susah” membuat ia tidak punya modal untuk bijaksana. Ada orang yang galau berkepanjangan karena kritik yang diterima atau kegagalan yang dihadapi, sementara orang lain tidak bisa membayangkan mengapa kita sangat mengkawatirkan situasi tersebut. Rasa galau dan kecewa menghadapi berbagai kejadian sangat tergantung pada bagaimana kita memandang situasinya. Dari sini kita bisa lihat bahwa kematangan diri dapat diteropong melalui respons individu dalam menghadapi kesulitan. Orang sering menyebutnya streetsmartness, suatu aspek kecerdasan yang didapat sebagai hasil pemikiran mengenai kehidupan praktis yang dialami individu sendiri.
Dalam situasi sehari-hari kita bisa mengukur kematangan kita. Apakah kita menggunakan fasilitas kantor berlebihan tanpa rasa bersalah? Apakah kita melakukan atau menyaksikan penyimpangan tanpa tanpa berusaha menohok diri sendiri dan memperingatkan diri keras-keras untuk tidak melakukannya? Apakah kegagalan komunikasi dengan atasan kita sikapi dengan menyalahkan atasan tanpa upaya untuk mengkritik diri sendiri, mempertanyakan, mengevaluasi dan mengarahkan diri? Kematangan ini bisa disuburkan dengan proses pengolahan batin yang terjadi pada diri kita. Bila kita khawatir dengan kemerosotan moral yang banyak dibicarakan belakangan ini, setidaknya kita masing-masing perlu mengecek sendiri proses pengolahan batin kita.
Introspeksi dan Pengolahan Pribadi
Penelitian terhadap sopir taksi di kota London, di mana dipisahkan antara sopir taksi, dengan pengalaman yang sama, tetapi ‘bijaksana’ dan yang terkesan ‘tidak matang’, menunjukkan bahwa bagian otak depan yaitu prefrontal cortex pada yang bijaksana, ternyata lebih besar, dan lebih subur berkembang. Jadi, ternyata kegiatan berpikir saja tidak cukup. “Exercise” otak mengenai cara berpikirnya sendiri, adalah kunci ‘kesadaran’ seseorang dan akan mempengaruhi di dalam setiap aspek kehidupannya. Inilah penjelasan mengapa dua individu yang sama-sama pintar, bisa berbeda sikap, perilaku dan tingkat kedewasaannya. Pemahaman mengenai aspek manusia dalam diri kita sendiri perlu kita kembangkan dan latihkan, antara lain melalui “self talk’ atau bicara dengan diri sendiri. Kita bisa membohongi diri sendiri terus menerus, namun kita juga bisa menantang diri untuk bersikap ‘fair’, misalnya kalau salah ya terima dimarahi.
Dr. Stephen dari University College London membuktikan adanya korelasi positif antara ketepatan pengambilan keputusan dengan kemampuan introspeksi individu. Introspeksi yang merupakan proses observasi dan refleksi diri, memang tidak diajarkan di sekolah. Jadi, bisa saja individu tumbuh tanpa kegiatan introspeksi, apalagi self talk. Bisa saja sepanjang hidupnya tidak ada kegiatan menyalahkan diri, mendera dan menguatkan diri sendiri yang tuntas. Yang terjadi pada diri individu hanyalah kegiatan melihat keluar dan menyerap nilai-nilai yang ada di luar dirinya, dan dijadikan patokan hidupnya. Filsuf Yunani paling kuno, Socrates, sudah mengatakan : "the unexamined life is not worth living." Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks ini, pendalaman kepribadian akan menyelamatkan individu dari kekosongan mental
Menyadari ‘pikir’ dan ‘rasa’
Membaca novel, menyaksikan atau mengalami sendiri kejadian kejadian romantis, menegangkan atau menyedihkan, merupakan kegiatan yang kita alami sehari-hari. Interpretasi mengenai kejadian kejadian ini dan bagaimana dialog “follow-up”-nyalah yang akan berdampak pada perkembangan pribadi kita. Membaca novel, sering membuat kita teringat pada pengalaman kita sendiri. Hal yang paling penting adalah kemampuan kita melihat diri secara obyektif, bukan subyektif dan menterjemahkan situasi tersebut ke dalam situasi perbaikan. Pertama tama, kita perlu mengupayakan untuk “stick to the facts”. “Saya mencoba celana saya dan ternyata sempit” atau “ Jeans saya sudah tidak pantas lagi, karena terlalu ketat”. Perasaan yang timbul akibat celana kesempitan inilah yang mempengaruhi keyakinan kita. Kita bisa mengatakan pada diri sendiri “Kamu jelek” atau kita juga bisa mengatakan “Kamu makan terlalu banyak”. Kualitas jelek sulit di follow up dan diperbaiki, namun pernyataan ‘makan terlalu banyak’ bisa kita ikuti dengan janji pada diri sendiri untuk tidak menambah porsi makan esok hari. Bila ‘self talk’ ini secara terus menerus kita sadari dan kita arahkan pada tindakan perbaikan, kita akan terbiasa untuk “memeriksa diri” dan menasehati diri menuju ke arah perbaikan. Kita akan menjadi orang yang ‘dalam’ dan lebih ‘positif’. Bila kita mengubah cara berpikir kita, kita bisa mengubah cara kita merasa.
(Dimuat di Kompas, 7 Juli 2012)