Ada perusahaan yang dalam memberi servis melibatkan emosinya dan berempati, seperti si Epeng tadi. Dengan fokus pada kepuasan dan kesuksesan pelanggannya, mereka membuka ruang untuk fleksibel. Pelanggan belum membayar lunas, namun barang sudah dipasang. Barang pecah, tetap diganti. Komplain tetap diterima dan ditindaklanjuti, meskipun bukan kesalahan pihak pemberi jasa. Padahal, bisa saja pelanggan nakal dan mengambil keuntungan dari fleksibilitas yang diberikan ini. Apa alasan pemberi servis, melakukan hal ini, padahal sudah beberapa kali menelan pil pahit? Inilah sesungguhnya contoh adanya faith yang kuat bahwa dengan mengambil risiko sedikit merugi, perusahaan akan tumbuh. Sikap bisnis inilah yang sebetulnya perlu dipupuk oleh kita semua.
Badan usaha milik Negara, misalnya yang mengelola listrik atau bandara, di mana bisnisnya “tidak bisa dipilih” oleh pelanggan, juga tampak sedang berusaha kuat meningkatkan profesionalitas dan komitmen pada servisnya. Bisnis seperti ini, harus bertekad untuk bisa aktif didukung oleh pelanggannya, sehingga bisa menaikkan tarif tanpa selalu disertai komplain. Bila kita berobsesi untuk meraih loyalitas dan engagement dari pelanggan, tanggung jawab bisnis dan sikap pasang badan tentu tidak boleh sekedar “omdo” alias “omong doang”, apalagi sampai mengambil jalan pintas dan tidak menjalani corporate governance. Program untuk meraih simpati dan respek pelanggan perlu selalu jadi prioritas. Kita juga perlu ingat bahwa meski pelanggan nomor satu, namun mitra kerja pun perlu juga menikmati komitmen servis kita.
Komitmen Entrepreneur
Ayah saya sering menanamkan bahwa komitmen pedagang perlu ditiru dalam bekerja sebagai profesional. Misalnya saja, di satu waktu, beliau mengatakan: “Pedagang buah yang disukai pelanggannya adalah yang secara jujur mengatakan bahwa jeruk hasil panen kali ini tidak semanis yang dulu. Kepercayaan pelanggan itu penting.”. Tindakan pedagang ini jelas berisiko membuat ia rugi, namun inilah bentuk nyata dari upaya menjaga reputasi dan kepercayaan pelanggan. Komitmen pada kepuasan pelanggan tidak bisa hanya sekedar slogan, namun perlu dibuktikan dalam tindakan. Saat barang yang kita janjikan pada pelanggan terlambat karena bagian import terlambat melakukan pengapalan, kita tentu tidak bisa sembunyi dan lari pelanggan. Di sinilah jiwa entrepreneur kita diuji. Tanpa tindakan yang jelas untuk menunjukkan komitmen, sudah pasti reputasi bisnis perusahaan kita akan tergerogoti sedikit demi sedikit.
Mengingat bisnis tidak sekadar tergantung pada pelanggan, namun juga seluruh mitra bisnis, termasuk karyawan, kita perlu mengkomunikasikan dan menanamkan etika bisnis kepada para manajer dan karyawan kita. Hal-hal berbau etika perlu diketahui jelas, misalnya: “Bayar pekerja, sebelum keringatnya kering”, “Lunasi hutang sebelum ditagih”, “Kerugian yang tidak bisa dihindari, perlu ditanggung dan dihadapi konsekuensinya.” Kita tidak boleh bosan menanamkan betapa modal utama dari langgengnya sebuah bisnis adalah kepercayaan. Kita harus memperjuangkan komitmen pada pelanggan eksternal, ke seluruh jajaran internal. Dengan kesadaran dan keyakinan ini, setiap orang dalam perusahaan disuntikkan keberanian untuk mengambil tindakan membela pelanggan. Kita perlu sadar bahwa keputusan-keputusan beresiko tidak bisa dihindari, bahkan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sasaran jangka panjang, hubungan di masa depan dan esprit the corps. Inilah yang harus ditekankan pada para manajer, yang suatu saat akan menjadi pemimpin juga.
Konsistensi Mengelola Bisnis
Pada masa lalu kita banyak sekali mengkaitkan bisnis dengan modal finansial, namun saat sekarang, modal semakin mudah didapat, asalkan ada keyakinan. Jadi, fokus kita memang tidak lagi semata berkutat di hal-hal finansial, serta menghitung risiko untung-rugi jangka pendek, namun juga mengembangkan faith atau keyakinan bahwa dengan mengambil tanggung jawab dan membangun reputasi, sebuah transaksi akan menguntungkan, baik secara jangka pendek maupun panjang. Kita tidak pernah akan menyangka bahwa reputasi akan konsistensi yang kita tunjukkan dalam menyelesaikan proyek dan menangani keluhan pelanggan akan menjadi modal ‘keberhasilan’ kita. Inilah modal untuk maju di masa depan.
(Dimuat di Kompas, 30 Juni 2012)