Dalam sebuah perusahaan, gejala tidak menaruh perhatian terlihat dari tidak terbiasanya orang membaca data dan menginterpretasikannya baik-baik, sebelum berkomentar. Sebagai akibat, perusahaan ini kehilangan kultur ‘pendalaman’ dan riset, banyak komunikasi tidak menyentuh pokok persoalan utama, dan seringkali keputusan diambil dengan meraba-raba dan atau bahkan tanpa dasar sama sekali. Banyak alasan kita untuk tidak serius memberi perhatian atau mengupayakan pemahaman terhadap suatu isu, salah satunya adalah tidak adanya cukup waktu untuk membaca, memahami, menganalisa suatu gejala. Padahal, Albert Einstein mengungkapkan: “We cannot work to improve something we do not understand. We first need to understand what makes us tick.”. Bayangkan bila kita menjadikan sikap tidak terbiasa memberi perhatian sebagai suatu kebiasaan, betapa banyak kesempatan pengembangan yang hilang, betapa “kering”-nya emosi kita, dan betapa dangkalnya pemikiran bahkan kehidupan kita. Apa jadinya masyarakat dan kehidupan bila kebiasaan tidak memberi perhatian ini kita suburkan.
Bertanya vs Mempertanyakan.
Banyak orang yang cukup berpendidikan, bahkan menyandang gelar S2 atau S3 yang tampak tidak menggunakan daya pikirnya dengan optimal. Hal ini sering terlihat dari tidak kuatnya mereka dalam menjelaskan gejala, lemahnya individu ini dalam menggunakan latarbelakang pendidikan, pengalaman atau pengetahuannya untuk menjelaskan dan mengkaitkan gejala baru dengan gejala yang baru dilihat dan dibacanya. Dalam debat atau diskusi di media, kita pun kerap melihat jurnalis, panelis atau pakar yang lebih banyak “mempertanyakan” sesuatu, daripada betul-betul “bertanya” untuk menambah pemahamannya. Saat lawan bicara menjelaskan atau mempresentasikan sesuatu, ungkapan mempertanyakan yang biasa kita dengar adalah: “Apakah data ini valid?”. “Bukankah kebiasannya tidak seperti ini?”. Dialog atau konversasi yang sifatnya hanya mengetes, mengevaluasi dan memberi penilaian membuat isi pikiran kita terkuras. Kita bisa kehilangan kesempatan menambah wawasan, bila setiap informasi baru atau berbeda kita mentahkan dengan asumsi, penilaian yang sudah berakar atau usang.
Kita perlu memberi perhatian dan mengecek, apakah pertanyaan yang kita ajukan betul-betul untuk tahu lebih jauh dan berusaha untuk memahami dan menangkap esensi dari informasi yang disampaikan, misalnya: “Apa alasan atau latar belakangnya?, “Mengapa sampai Anda mengambil kesimpulan itu?”. Bila kita tidak membuka pikiran dan bersungguh-sungguh untuk menambah pemahaman, kita ujung-ujungnya hanya menjadi orang yang sok tahu, bahkan keras kepala. Banyak orang juga tidak menyadari bahwa kegiatan mengambil kesimpulan, menentukan mana yang lebih penting dan memperbaiki pemahaman membutuhkan klarifikasi dan konfirmasi dari teman bicaranya, tidak bisa dia lakukan secara sendirian dan egois. Kita harus sadar bahwa walaupun kita sudah dewasa, kita tetap harus memperbaharui dan mengasah pikiran kita. Kita pun perlu membicarakan apa yang kita tangkap dan memperhatikan agar kita sadar bila terjadi beda persepsi. Dengan masuknya pemahaman secara benar, kita bisa mensintesakan pengetahuan baru dengan yang lama.
Penajaman Pemikiran
Banyak orang bertanya apakah IQ seseorang bisa meningkat sejalan dengan pendidikan, latihan atau bertambahnya usia. Hal yang sebenarnya perlu kita sadari adalah bahwa inteligensi kita sering tidak kita asah karena kita tidak menyadari bahwa pikiran kita perlu diisi, ditata, di-refresh dan diolah. Seorang ahli mengemukakan kiat praktis untuk mengasah pikiran, yaitu dengan “4 P”, yaitu Positif, Process, Present dan Progress. Sikap positif menyebabkan kita lebih proaktif dalam melakukan pendekatan dan memperbesar keingintahuan kita, sekaligus menghindari sikap defensif, sudut pandang pesimis dan negatif. Hal yang kedua adalah “Process”, yaitu menyadari bahwa otak bekerja dengan cara memproses data yang masuk sehingga kita lebih sadar bahwa mengenai kebutuhan kontinyu akan data dan fakta. “P” yang ketiga adalah “Present”, yaitu kita perlu memberi atensi atau secara aktif “hadir” dalam situasi pertemuan, pembicaraan, tatap muka yang sedang berlangsung. Bila kita sibuk dengan gadget kita saat berkomunikasi dengan orang lain, sudah pasti kita tidak bisa menyerap pemahaman dan pengetahuan dengan total dan benar. Hal yang terakhir adalah “Progress”, yaitu menyadari apakah cara berpikir kita mengalami kemajuan, penambahan dan pendalaman. Bila tidak, maka kita perlu mawas diri dan menelaah bagaimana kita selama ini memasukkan fakta ke dalam pemikiran kita.
(Dimuat di Kompas, 16 Juni 2012)