Banyak pemimpin yang begitu menjabat kemudian mengabaikan pengembangan karakter dan kepribadiannya, sehingga kekuatan yang dulu kita kagumi tidak lagi menjadi hal yang kinclong lagi, karena tertutup oleh sikap-sikap kekanak-kanakan dan tidak bijaksana. Di perusahaan, kita banyak melihat pemimpin yang sering di-’mengerti’ walaupun sebenarnya merugikan. Sang pemimpin bisa dengan mudah membatalkan meeting tanpa rasa bersalah, padahal sebelumnya memaksa tim untuk mempresentasikan materi yang kompleks, tanpa memikirkan bahwa persiapan presentasi itu membuat ketegangan dan telah menyita waktu panjang. Bila sang pemimpin tidak berkenan, kadang dengan mudahnya ia meninggalkan rapat dan mengatakan,”Kalian pikirkan sendiri lah. Urusan seperti ini saja harus saya yang urus” Belum lagi bisa kita saksikan betapa seorang pemimpin tidak mempunyai rasa bersalah atau terusik nuraninya, pada waktu, ternyata anak buahya berbuat salah, kemudia dia dengan santai mengeluarkan jurus: ‘Ini salahnya, bukan salah saya’. Seringnya hal ini terjadi membuat suara pesimis pun berkembang,“Ah, ketika masih baru ya prestasinya bagus, lihat saja beberapa tahun lagi, baru ketahuan belangnya”.
Banyak pemimpin lupa bahwa reputasinya harus dijaga. Di saat-saat sekarang, di mana bisnis berkembang lebih cepat daripada kesiapan kompetensi individu, apalagi kompetensi memimpinnya, sering terlihat bahwa pemimpin tidak sadar bahwa kualitasnya tidak sebanding dengan tuntutan tanggung jawabnya. Dengan berkembangnya bisnis yang dipimpinnya, pemimpin harus sadar bahwa ia tidak bisa sekedar menuntut anak buah mengembangkan diri, namun ia pun perlu mengembangkan diri. Pemimpin yang ‘kurang matang’ ini sering tidak menyadari kekurangmatangannya. Apalagi kalau mereka sebelumnya berprestasi “superstar”, baik sebagai salesman, engineer, tentara dan menyangka bahwa kesuksesannya yang lalulah adalah penentu kesuksesannya sebagai pemimpin masa depan.
Pemimpin, di mana pun posisinya, sudah pasti akan mendapat sorotan, gerak-geriknya akan diperhatikan dan dibicarakan. Itu sebabnya para pemimpin harus mengecek apakah mereka bersikap “career limiting”? Apakah sekedar menjalankan praktik yang sudah basi, menikmati comfort zone dan sikap penurut dari pengikutnya? Apakah sebagai pemimpin kita sekedar sibuk dengan pekerjaan di depan mata dan tidak memikirkan inovasi dan antisipasi terhadap masa depan? Tidakkah sebagai pemimpin kita ingin bertindak lebih bijaksana? Memang tidak ada individu yang sempurna, namun setiap pemimpin tetap perlu mematangkan dirinya agar tidak acap dicap “childish”, keras kepala dan mau menang sendiri.
Evolusi kepemimpinan
Isu-isu yang kita hadapi sekarang sudah sangat kompleks, sehingga sangat bisa terjadi tidak terpikirkan oleh para pemimpin yang hidup di abad lalu. Evolusi keadaan ini juga perlu diikuti oleh evolusi kapasitas kepemimpinan. Kita sekarang membutuhkan pemimpin yang sanggup menghadapi isu-isu yang jauh lebih kompleks, dan membuat keputusan keputusan yang berani, keras dan ‘future oriented”. Penelitian Kegan and Lahey , Torbert dan Fisher mengatakan bahwa 80 % manajer mendadak membelenggu sendiri pengembangan karirinya atau "developmentally stuck", dan melakukan manuver kepemimpinan yang medatar setelah menduduki jabatannya. Para manager ini biasanya berorientasi “survival” untuk saat ini, ketimbang mengembangkan mentalitas futuristik. Mereka pun tidak lagi setajam dulu, lebih berkompromi dan lebih mengandalkan popularitas. Pada saat kesempatan dan tuntutan karir mengharapkan kita untuk lebih mampu melihat jauh ke depan, kita memang harus selalu waspada agar tidak terjebak untuk berpandangan jarak dekat sehingga tidak mampu menavigasi diri kita sendiri.
Bijaksana sebagai sasaran kualitas
Pakar perkembangan kepribadian Erik H. Erikson mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berhenti mengembangkan dirinya sampai tingkat ‘bijaksana’. Pengetahuan dan kemampuan praktis sangat dibutuhkan untuk melihat pola, kecenderungan, hubungan dan kaitan satu aspek dan lainnya. Sayangnya, banyak pemimpin yang termotivasi untuk mempraktikkan ketrampilan yang dia sudah kuasai dan hanya mendengar dari beberapa pihak. Satu-satunya solusi dari situasi ini adalah membuat sistem komunikasi agar “barisan bawah” bisa didengar. Pemimpin tidak boleh malas berdiskusi, apalagi merasa bahwa semua solusi sudah ia ketahui. Tidak ada kata cukup untuk berinteraksi karena dari sinilah tumbuh dan berkembangnya kebijaksanaan, kematangan emosi, karakter dan nilai pribadi kita.
Seorang pemimpin yang ingin jadi lebih bijaksana, perlu banyak meraba hal-hal yang tidak teraga, baik itu masa depan, nilai-nilai dan visi. Para pemimpin yang sudah mencapai tahap bijaksana terlihat dari sikap mereka yang mampu mengontrol dan menguasai dirinya, sebelum menguasai orang lain. Ia bisa menampilkan rasa respek yang tinggi kepada setiap individu di bagiannya, karena memang sungguh-sungguh menganggap anggota timnya adalah aset paling berharga. Pemimpin yang bijaksana ini sangat tahu bahwa suatu saat jabatannya sudah tidak dipangku lagi dan kehendak satu-satunya adalah bekejra keras, agar ketika ditinggal lembaga ini sudah berjalan lancar. Itulah sebabnya ia pun akan banyak berfokus pada manusia dan menebar bibit serta mengembangkan anak buah dengan serius. Tidakkah kita terinspirasi untuk terus-menerus mengembangkan sikap bijak dan memberantas sikap kekanak-kanankan dalam kepemimpinan kita?
(Dimuat di Kompas, 9 Juni 2012)