Beberapa teman, bila sedang berdiskusi seputar masalah kualitas kehidupan, kadang berkomentar: “Kalau sudah sibuk ‘cari makan’ mana sempat memikirkan kualitas hidup lagi.”. Ya, kita semua bisa merasakan betapa kehidupan makin kompleks, krisis datang silih berganti, tantangan untuk mencapai target kerja terus ada di depan mata, sehingga seolah kita tidak punya waktu atau punya energi untuk melakukan hal-hal lain yang ingin kita lakukan. Namun, apakah semua situasi itu akan menghalangi kita bersikeras untuk menjadi “A better person”? Mungkinkah kita membiarkan diri kita melepas standar kualitas hidup dan menjalani kehidupan kita dengan “pasrah” atau biasa-biasa saja? Pada akhirnya, kita akan bertanya pada diri sendiri: “Apakah sebagai manusia kita sudah berbuat optimal, mendalam, otentik dan berenerji? Apakah kita punya kemauan kuat untuk “jadi yang terbaik” dalam kehidupan kita yang hanya satu-satunya ini? Melihat gaya hidup teman atau kerabat yang tutup usia secara tiba-tiba, kita bisa belajar bahwa hidup memang perlu di desain. Hidup seperti apa yang ingin kita jalani? Bagaimana kita ingin dikenang oleh orang saat kita tiada? “Warisan” apa yang ingin kita tinggalkan? Legenda macam apa yang akan tinggalkan?
Olah pribadi
Kita sering melihat banyak orang mengambil posisi “tengah” alias posis “aman”. Mereka tidak berusaha memperjuangkan ide dan pendapatnya kuat-kuat, namun lebih memilih untuk menyenangkan semua pihak. Dalam berprestasi, ada orang yang puas dengan menjadi “rata-rata”, berorientasi pada penilaian pihak eksternal, sehingga tidak menuntut dirinya untuk selalu mencapai titik terbaik. Padahal, seorang ahli mengatakan: “Mediocrity isn't a quest to be pursued “. Kita tidak akan ‘jadi apa apa’ atau menciptakan apa-apa, bila selalu berada di posisi “so-so” ata merasa diri “sekedar” pegawai, “sekedar” manager, atau “sekedar” orang kecil. Kita tentu kagum bila mendengar ada petani di kampung yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga betul-betul sukses. Orang seperti ini, tidak melihat dirinya “sekedar” petani, namun ia bisa melihat masa depan sampai ke titik yang paling optimal. Apapun posisi kita dalam organisasi, kita sesungguhnya punya peran penting dan perlu bangga dengan peran yang kita jalankan. Seorang arsitek, planner, desainer, sekretaris, trainer punya peran untuk menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih efisien, baik itu ide, buku atau sistem yang bisa mempermudah hidup dan pekerjaannya. Menjalankan peran dengan bangga dan “all out”-lah yang akan menciptakan happiness dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup kita.
Ada individu yang kerap merasa bahwa ia “sudah” mengembangkan diri dan tinggal menjalankan hidup saja. Padahal, pribadi itu ibarat pensil. Pensil yang baik akan bisa digunakan untuk menulis, namun sebentar-sebentar perlu diasah. Pensil yang tumpul, tidak bisa menulis dengan baik dan menjadi usang dan ditinggalkan bila tidak dipertajam. Kita pun, ibarat pensil, senantiasa perlu belajar mengasah ketrampilan dalam hubungan sosial, menebalkan keyakinan, dan tidak boleh puas dengan keadaan yang sudah dicapai. Individu yang mudah merasa puas, akan cepat menunjukkan sikap dirinya selalu benar, “sok tahu” tanpa rasa ingin memperbaiki diri. Sebaliknya, orang yang berorientasi pada kualitas hidup yang lebih baik, akan berusaha memperbaiki tutur katanya, senantiasa mawas diri untuk memperbaiki hubungan baik, dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dengan rendah hati tetapi progresif. Kualitas hidup tidak bisa berhenti pada satu tingkat tertentu, namun perlu terus diupayakan dari waktu ke waktu, sampai akhir hayat kita.
Good Living = Good Work
Kita tidak akan bisa meningkatkan kualitas hidup tanpa meluangkan waktu untuk melakukan evaluasi. Saringan evaluasi pertama adalah mengecek “Apakah hal yang kita kerjakan ini bisa meninggalkan “value” di masa depan? Saringan kedua adalah menguji: “Apakah apa yang kita lakukan saat ini sudah optimal kualitasnya dan bisa di tes ‘excellence’-nya?” Saringan ketiga adalah memahami “Apakah hal yang kita jalani ini memang berasal dari diri kita dan mengangkat harkat kita sebagai manusia?” Bila kita menyaring tindakan kita dengan ketiga saringan tadi, maka dengan sendirinya integritas yang sekarang didengung-dengungkan orang pun akan terjaga.
Sebagai manusia yang diberkahi akal budi, sangat terbuka kesempatan bagi kita untuk mengoptimalkan kualitas diri sebagai mahluk hidup. Kita tidak perlu mengakhiri hidup ini dengan penyesalan, kalau saja kita tidak henti-hentinya mendera diri kita untuk selalu lebih baik, lebih cepat, lebih hemat, lebih berintegritas dan lebih bermartabat. Kitalah yang memilih untuk melakukan hal yang benar-benar kita minati. Kita bisa memilih hobi dan passion kita, sekaligus membuat prioritas. Kitalah yang menentukannya, bukan orang lain. Seperti yang dikatakan penyair Antonio Machado : "walker, there is no path; the path is made by walking." Dengan menjalankan “good living” kita pasti akan melakukan “good work” juga.
(Dimuat di Kompas, 12 Mei 2012)