Kadang kita memang bisa punya berbagai alasan untuk memelihara sikap tertutup. Teman saya mengatakan kapok untuk banyak menceriterakan tentang rencana, bisnis, dan keadaan perusahaan kepada mitra kerjanya, karena ternyata mitra kerjanya membocorkan rencananya tersebut ke kompetitor. Ya, kita tentu bisa memahami kecutnya perasaan teman kita ini, karena merasa dipecundangi. Kita memang harus pintar memilah dan memilih informasi yang perlu dibagi dan bisa bermanfaat. Namun, apa jadinya bila kita sibuk menutup diri atau menahan informasi, padahal ‘facebook’, twitter’ dan beberapa media sosial lain yang semakin marak, sudah merupakan ‘open source’. Informasi yang kita coba sembunyikan dan tahan-tahan, terkadang tetap bisa diakses oleh orang lain. Jadi, di era informasi seperti sekarang apakah kita masih punya pilihan untuk bersikap misterius dan tidak membuka akses bagi orang lain untuk mengetahui tentang ‘siapa kita’? Bayangkan kesenjangan kita dengan anak buah atau penerus kita, bila kita tidak transparan. Bisakah kita ‘berbeda dunia’ dengan mereka dan membiarkan mereka meraba-raba bila mereka menggantikan kita? Bersikap misterius memberi peluang orang menduga-duga, bahkan bisa salah mempersepsi sikap, pikiran dan pandangan kita. Sebaliknya, dengan sikap terbuka kita malah bisa sekaligus melakukan “marketing me”. Tidak heran kalau kita melihat para calon gubernur Jakarta tiba-tiba membuka jalur facebook dan twitter.
Membuka diri adalah membiarkan orang lain tahu tentang apa yang kita yakini dari dalam, bukan hanya dipermukaan. Otomatis, kegiatan pribadi, apa yang kita katakan, dan kebiasaan kita pun tersorot oleh orang di luar keluarga sendiri. Keterbukaan diri ini tidak bisa kita lakukan secara instan, tidak bisa dipaksakan. Ini sebabnya kita perlu juga berlatih untuk membuka diri dan membuat diri kita transparan dengan elegan.
Membangun Ikatan dan Komunitas
Saat kita bersikap terbuka, otomatis kita “mengundang” orang lain dengan ide dan pikiran yang sama untuk bergabung, bahkan sampai bisa membentuk komunitas. Lihatlah bagaimana Obama atau calon Gubernur menyuarakan konsep dan pemikirannya, sehingga membentuk pengikut dan membangun komunitas “pendukung” yang kuat. Seorang manajer ataupun owner perusahaan kecil pun sebetulnya harus mulai berpikir bahwa setiap institusi adalah sebuah komunitas yang sarat nilai. Itu sebabnya, sebagai pemimpin, ia perlu menyuarakan pendapatnya, agar komunitas bisa bergerak dan tumbuh. Kita bisa menyaksikan betapa Gerakan Indonesia Mengajar tidak susah mendapatkan “creme de la creme” intelektual yang rela mengorbankan dirinya, meninggalkan pekerjaan dan mengikuti kata hatinya untuk bergabung dalam berbagai gerakan memajukan pendidikan Indonesia. Semua karena nilai yang dikomunikasikan dengan terbuka, jelas dan jernih.
Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa fenomena ini adalah "The New Normal", di mana rekayasa kemasan tidak mempan lagi. Keterbukaan dan kontrol yang jelaslah yang membuat orang di dalam suatu organisasi termotivasi. Disiplin pun dijalankan bukan berdasar “how”, tetapi lebih karena “why”-nya jelas. Ahli manajemen Kanter dan Fine mengumpamakan keterbukaan masa kini seperti mahluk di dasar laut yang berbentuk busa. Meskipun banyak material melewati badannya, ia tetap bisa bertahan dan tetap transparan, karena memiliki ikatan yang kuat dengan dasarnya. Pada era di mana ‘brain’ lebih kuat daripada fungsi manusiawi lainnya, kemampuan untuk menterjemahkan apa yang kita rasakan, yakini dan kehendaki dalam presentasi yang terang adalah jalan agar kita senantiasa mampu membangun ikatan yang kuat dengan nilai-nilai dalam organisasi.
“Mendengar” sebelum “Bicara”
Apa yang kita yakini, kita tahu dan kita kehendaki, tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan orang luar terhadap kita. Inilah sebabnya, membuka diri selalu tidak dimulai dengan “berbicara”, tetapi justru dengan “mendengar”. Perusahaan seperti Zappos yang terkenal bersuara keras dalam mengumandangkan gaya dan kultur organisasinya, sangat mengenal pelanggannya dan betul-betul paham apa yang dibutuhkan pelanggannya. Ini contoh bahwa bersikap transparan bukan sekedar membuka diri, tetapi didahului oleh sikap dan upaya proaktif mengenal siapa yang kita ajak bicara.
Terbuka tidak sama dengan “asbun” (asal bunyi), apalagi “omdo” (omong doang). Orang lain pasti bisa segera bisa merasakan bila keterbukaan dipaksakan. Niat untuk membuka diri dan transparan perlu didasari niat tulus untuk mendekatkan diri, pada anak buah, pelanggan atau masyarakat. Sebelum kita memperkenalkan siapa kita dan menceritakan prinsip kita, tentu kita harus tahu dengan siapa kita bicara, tahu keadaan dan kondisi sebenarnya, paham kebutuhan dari target “audiens” kita. Terbuka juga otomatis akan menuntut kita untuk merespons, menjawab, menanggapi orang lain, jadi sama sekali bukan bersikap “jumawa” atau mengambil sikap satu arah. Kita harus sadar bahwa satu-satunya jalan untuk bertahan di era faceless dan non-personal ini adalah menguakkan lebih banyak apa yang kita pikirkan, apa yang kita sasar dan impikan kepada orang-orang di sekitar kita.
(Dimuat di Kompas, 21 April 2012