Ketika Jim Collins dan Jerry Porras menerbitkan buku Built to Last, pada tahun 1994, semua perusahaan secara mewabah menegakkan prinsip dan nilai sebagai pedoman bertingkah laku dan meyakini bahwa menggariskan prinsip dan dasar bertingkah laku adalah hal yang super penting dalam menjalankan perusahaan. Namun, sering kita menyaksikan praktik di perusahaan yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang digaungkan. Di tembok-tembok ruang rapat Enron, terpampang jelas nilai-nilai perusahaan: Communication, Respect, Integrity, Excellence. Namun, perusahaan ini malah menjadi demikian terkenal karena kecurangannya. Lalu, ke mana nilai integrity yang digaung-gaungkan? Mengapa tulisan integrity di dinding itu serasa tak bertenaga, tak bergigi dan tidak berarti? Apakah values-nya salah diterjemahkan? Apakah memang values dan praktik di perusahaan tersebut sekedar tidak ada hubungannya? Bila nilai dan praktik di lapangan tidak nyambung, bayangkan betapa sulitnya manajemen puncak dan para pimpinan ‘mengatur’ dan mengarahkan anggota tim. Bila nilai sekedar menjadi slogan kosong, bagaimana anggota tim bisa betul-betul happy dan merasa melakukan pekerjaan yang berarti?
Mengejar ‘nilai tambah’ dari nilai
Hampir semua perusahaan meletakkan “customer focus” sebagai salah satu nilainya, namun kita bisa lihat penerapan dan dampaknya bisa begitu berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan yang sudah mencantumkan “customer service” sebagai salah satu nilainya, bahkan sangat sempit menterjemahkan istilah “customer service”. Bagi mayoritas karyawan, bahkan pucuk pimpinannya, “service” lebih diartikan pada memperbaiki produk yang rusak, namun tidak ada hubungannya dengan memperhatikan kebutuhan pelanggan akan proses yang cepat dan handal. Penerjemahan yang keliru dan tidak diturunkannya nilai “customer focus” dalam berbagai prosedur kerja dan panduan pengambilan keputusan, berakibat sulitnya individu untuk “walk the talk”. Ujungnya, nilai yang dimiliki jadi tidak terasa, “tidak bunyi”. Padahal, nilai-nilai dalam sebuah institusi tidak hanya berfungsi untuk mengarahkan tingkah laku, namun juga sebagai perekat individu satu sama lain. Bukankah kita langsung merasa “dekat” dengan orang yang seiman, sepikiran dan sependapat?
Ada pula kejadian di mana sebuah perusahaan membatalkan pesanan pelanggan, karena salah hitung di tim internal. Padahal, pelanggan sudah memperhitungkan waktu kedatangan barang tersebut untuk menjalankan bisnisnya. Hal ini tentu tidak hanya membuat frustasi karyawan dan pelanggan, namun menyebabkan moral karyawan sulit diangkat lagi. Dengan demikian, tantangan kita adalah membayangkan apa nilai tambah yang bisa diberikan dari nilai-nilai yang kita anut. Singkatnya, prinsip dasar atau “value’ perusahaan, lembaga atau negara, tidak perlu digembar gemborkan bila tidak memberi nilai tambah. Bila karena prinsip dasar, pelanggan dan karyawan malah dibuat ribet, apa fungsi dan maknanya prinsip tersebut? Namun, bila prinsip dasar ini, dikaji, dijadikan kamus, dijadikan patokan penyelesaian masalah dan pada akhirnya membuat individu di dalam kelompok, lebih bisa mandiri dalam menjalankan tugas maka nilai tambah pasti akan didapatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih bagus lagi bila panduan perilaku ini bisa dibukukan dan dijadikan patokan bagi karyawan yang baru direkrut, yaitu terkait cara-cara mengambil keputusan saat mengalami kesulitan, bahkan dalam menghitung untung rugi dan resiko perusahaan.
Sosialisasi Nilai bukan ‘Marketing Launch”
Banyak perusahaan atau lembaga yang terjebak pada aspek aspek simbolis dari nilai nilainya. Ketika selesai menggariskan nilai perusahaan, banyak kita lihat dilakukan launching besar-besaran dan ‘celebration’ untuk, istilahnya, “menanamkan” ‘values’ tersebut. Pada kenyataannya, kita tidak bisa menanamkan nilai, mengalirkan nilai dalam darah, dan membumbui nilai dalam ‘mindset’ karyawan hanya melalui launching. Kita perlu banyak memfasilitasi internalisasi nilai dengan diskusi, tanya jawab dan meyakinkan semua karyawan bahwa nilai inilah dasarnya dalam berperilaku. Kita bisa mencontoh perusahaan yang serius, mengadakan “values communication plan” untuk melatihkan dan membahas kasus-kasus pelik yang perlu ditanggapi sesuai values yang benar , bahkan menggunakan “key values indicators’ untuk mengukur perilaku dan prestasi. Dalam susah dan senang, values harus menjadi mercu suar.
Mari kita lihat juga Pancasila, dasar negara kita, yang dihafal, dikenal, disukai dan tidak pernah dipertanyakan rakyat. Namun, pernahkah kita merasa ‘sangat dekat’, meletakkan nilai luhur itu dalam hati kita dan mengalirkan di dalam darah kita, sampai kita betul-betul bisa mengatakan “Sedia berkorban untukmu”, sebagaimana lirik lagu Garuda Pancasila? Bagaimana seharusnya kita menghembuskan values yang sudah digariskan ini dan mengambil manfaat dari filosofi perusahaan, lembaga atau negara? Pertama-tama, kita memang mesti bertanya kepada pimpinan atau pengelola lembaga, apakah ia betul-betul menganut nilai ini atau ia sendiri memang berjarak dan tidak terlalu mengindahkannya. Hal yang juga penting adalah para tokoh dan pimpinan ini bisa menggambarkan nilai-nilai tersebut dalam perilaku atau paling tidak dalam dialog, pidato, problem solving dan penentuan prioritasnya. Negara, kelompok, institusi yang warganya “Live their values” sudah pasti akan terlihat menarik, unik, dan dengan sendirinya menikmati ‘nilai tambah’-nya.
(Dimuat di Kompas, 24 Maret 2012)