Bicara soal budaya, mari kita tengok pulau Bali. Siapa yang tidak terpukau, bahkan terus ingin bolak-balik datang ke sana? Apa yang membedakan pulau ini dari pulau-pulau lainnya? Kita bisa melihat betapa warganya ramah dan pandai menyapa. Ada bunyi-bunyian gamelan di sore hari yang berasal dari banjar tempat latihan tari. Sesajen ditemukan di seluruh penjuru pulau, di gerbang rumah, toko, sawah, bahkan di dalam mobil karena menjaga kepercayaan yang mereka miliki. Tidak hanya ritual, seni, pakaian dan bahasa, namun sikap terhadap turis, cara-cara berjualan dan banyak lagi perilaku yang menyebabkan Bali kita ‘cium’ berbudaya kuat. Kuat dalam arti, waktu sembahyang tidak ditawar-tawar lagi, keramahan pada turis tidak basa-basi, keyakinan dan cara pikir yang memang ‘beda’. Saat merasa budaya mereka terancam oleh intervensi orang luar, para pecalang alias ‘polisi adat’ akan berperan meluruskan kebiasaan, membela kepentingan adat, bahkan meyakinkan agar ‘anak muda’ tidak terpengaruh oleh budaya lain, sehingga budaya yang ada tidak luntur. Bisakah kita membayangkan, apa yang jadinya bila Bali kehilangan kekuatan budayanya? Bisa jadi yang tertinggal adalah pulau dengan kekayaan dan keindahan alam yang tidak berbeda banyak dengan pulau-pulau lainnya. Di sini kita melihat betapa Bali sudah membuktikan kekuatan “culture capital”-nya.
Kata kapital atau modal memang sangat dekat dengan uang, sehingga terkadang kita lupa bahwa ada banyak hal yang bisa dijadikan modal untuk mendorong kemajuan dan pertumbuhan, selain uang. Dari contoh di atas, kita bisa melihat budaya jelas-jelas merupakan kapital atau modal yang ampuh menciptakan keunggulan, namun sekaligus perlu dikelola dan tidak bisa diperlakukan “taken for granted”. Kenyataannya, lebih banyak organisasi rela berinvestasi memperkuat peralatan dan sistem, namun setengah hati menggarap penguatan budaya. Coba kita hitung, betapa besarnya kerugian yang timbul bila kita tidak serius memperkuat budaya. Bayangkan betapa kultur disiplin yang diwariskan penjajah Belanda bisa luntur. Bayangkan bila kita membiarkan budaya korupsi, tidak tertib berlalu lintas, menyogok, bahkan kita sendiri berkomentar, “Ini budaya kita sekarang.”. Sadarkah bila kita biarkan hal ini terus berkembang, negara kita bisa kehilangan respek, bahkan tidak punya apa-apa lagi yang bisa “dijual”?
Mulai dari “State of Mind”
Di sebuah hotel, selain keramahan yang ditunjukan para frontliner, perusahaan menerapkan budaya ‘dress for success’. Ini memang hanya aspek kecil di antara semua aspek yang berperan dalam budaya perusahaan, namun sebuah penelitian membuktikan bahwa pelanggan tidak berkeberatan mengeluarkan biaya untuk servis yang lebih besar untuk perusahaan dengan karyawannya yang keren-keren ini. Bila kultur nyata-nyata bisa menaikkan harga dan bisa menjual, betapa ruginya bila kita masih melihat kultur sebagai sesuatu di luar diri kita, sesuatu yang bisa kita tinggalkan dan tidak dijadikan prioritas.
Kita masih sering mengaitkan budaya dengan bahasa dan simbol-simbol, namun hubungan antar manusia, keyakinan dan persepsi sebagai aspek budaya, kerap belum diangkat ke permukaan. Seorang ahli, Bourdieu, mengemukakan pentingnya “state of mind” dalam budaya, barulah kemudian terjemahannya dalam produk-produk seperti bahasa, artifak, buku, dan lainnya. Jadi, budaya Indonesia, bukan sekedar produk seperti batik, krupuk, songket, dan lain lain. Namun, sikap dan perilakulah yang bisa kita jual. Budaya perusahaan bukan sekedar tergambar dari logo, interior, slogan, ritual briefing, namun berasal dari keyakinan akan makna dan pentingnya nilai di balik sikap dan perilaku manusianya. Hal yang perlu diperkuat adalah bagaimana respon kita menghadapi suatu situasi, bagaimana kita mempersepsi suatu kejadian, bagaimana kita berkomunikasi dalam setiap situasi, senyum yang kita pasang karena kekuatan dan jiwa besar kita. Kebiasaan positif inilah yang membentuk kekuatan budaya dan harus ditularkan kepada lingkungan kita.
Tanggung Jawab Menyebarkan
Banyak orang yang menuding media massa sebagai sumber penyebar budaya negatif, yang dengan mudahnya segera ditiru banyak orang. Namun, mari kita tengok sebuah perusahaan kecil dengan karyawan tidak sampai 100 orang, di mana aturan perilaku dan “budaya”-nya begitu jelas. Semua orang mengatakan, “Kami membuang sampah sendiri”, “Kami menghidangkan teh sendiri untuk tamu perusahaan”, dan “Kami menunggu teman yang sedang menyelesaikan pekerjaannya, agar dia tidak sendirian tinggal di kantor”. Dalam bekerja, mereka berkata, “Kami akan berjuang mati-matian sampai pelanggan puas.”, dan “Kami berusaha bekerja lebih cepat dari deadline”. Meski setiap karyawan perusahaan punya akses ke media massa, cara kerja mereka tidak terpengaruh oleh media massa. Sikap dan kebiasaan terbentuk dari pembiasaan oleh atasan, hasil meniru, kebiasaan rekan satu tim, sehingga secara keseluruhan terlihat kultur positif di perusahaan tersebut. Meski pemimpin memang punya peran penting dalam menciptakan budaya organisasi, namun tidak hanya pemimpin yang berperan menyebarkan budaya perusahaan. Semua orang dengan peran dan kemampuannya perlu melakukan itu. Disinilah letak ‘beauty’-nya.
Menyaksikan para budayawan muda pembuat film seperti “negeri 5 menara” atau “laskar pelangi” kita sadar betapa sesungguhnya kita masih memiliki nilai luhur, kebijaksanaan, kepekaan terhadap keindahan, perilaku, kebiasaan dan tatakrama serta produk tatanan sosial lainnya, yang begitu positif dan bisa menjadi nilai jual. Budaya yang melekat pada diri kita, tak bisa dipindahkan dan tak bisa dibeli. Jadi, marilah kita mengasah inteligensi kultural yang bisa mendorong kemajuan dan membuat pelanggan, klien,investor, turis selalu ingin datang kembali.
(Dimuat di Kompas, 10 Maret 2012)