Keadaan bisa lebih parah lagi, bila diantara pihak pengambil keputusan, masing-masing bisa mementahkan keputusan yang lain. Salah satu sudah mau maju, yang lain mengatakan: ”tunggu dulu!” Keadaan bagaikan ‘poco-poco’ ini bukan saja menghambat, namun jelas juga merugikan organisasi. Kita juga bisa melihat kejadian, di mana setelah terjadi kesalahan, tim pemutus malah saling tuding, “buang badan” alias cuci tangan, dan masing-masing berteriak: ”bukan saya”. Dalam situasi ini, kita tentu bertanya-tanya, bukankah dalam keadaan genting para pengambil keputusan perlu langsung merapatkan barisan, mengkompakkan diri dan berpikir bersama menemukan jalan keluar, dan bukan malah membuat semua kelemahan terlihat dari luar? Menyadari bahwa pengambilan keputusan merupakan bagian integral dari lembaga tersebut, masihkah kita mengabaikan dan tidak mengaturnya? Bagaimana dengan lembaga-lembaga pemerintah super penting, yang terasa belum siap menanggung risiko dan tanggung jawab atas keputusan beberapa milyar, sementara mereka harus bisa memutuskan dan mempertanggung jawabkan putusan yang nilanya puluhan bahkan ratusan trilyun? Dinamika “corporate governance” ini, bukan menjadi tuntutan di negara kita saja, namun sudah menjadi tren global, yang tidak bisa ditawar tawar lagi, bukan saja oleh lembaga bisnis saja, tetapi juga lembaga pemerintah, swadaya maupun para investornya juga.
Pentingnya Misi dan Patokan
Ada seorang teman yang berkomentar, “Di perusahaan ini, mengambil keputusan pengeluaran uang 5 juta, sama lamanya dengan pengambilan keputusan pengeluaran uang 10 milyar”. Keputusan yang bertele-tele tentu sama merugikannya dengan keputusan yang terburu-buru dan tidak matang. Dalam kondisi yang tidak menentu dan banyaknya kendala yang perlu kita hadapi, yang diperlukan sebetulnya adalah patokan bagaimana pengambilan keputusan ditata.
Seorang ahli manajemen mengemukakan patokan yang mudah diingat, bila kita ingin mengembangkan ‘corporate governance’ yang baik, yaitu: Culture, Leadership, Alignment, System dan Structure, disingkat CLASS. Perusahaan yang menginginkan efisiensi luar dalam, hanya bisa mencapainya dengan menetapkan standar, mulai dari gaya berpakaian, sikap keterbukaan pada pemimpinnya, bahkan sampai cara berkomunikasi setiap individu dengan orang luar. Lembaga yang mewakili rakyat, misalnya DPR, rasanya pun perlu menyebarkan visi dan misinya secara jelas, mengenai tata cara, tata krama, serta gaya hidup yang dituntut terhadap anggota-anggotanya. Pengaturan mengenai mobil apa yang akan digunakan, suguhan makanan yang dipilih, produk dan gaya interior ruang rapat apa yang akan dimanfaatkan, kesemuanya perlu menggambarkan misi lembaga. Kita sudah melihat bahwa tidak pahamnya anggota kelompok, karyawan ataupun anggota tim terhadap kultur lembaganya seringkali mengakibatkan keputusan yang melenceng. Bila tidak diatur dan berpatokan pada misi yang jelas, kejadian kesalahan dalam pemilihan dan pemutusan sudah pasti akan berulang dan terus terjadi.
Menjaga Mutu & Akuntabilitas Keputusan
Pengambilan keputusan terjadi di setiap jajaran dan bukan melulu tugas pemimpin. Namun, pemimpin-lah yang tetap perlu mengingatkan, menggarisbawahi, dan kalau perlu merestruktur sistem pengambilan keputusannya dari waktu ke waktu. Pemimpin yang baik, tidak mungkin sibuk mempromosikan dirinya saja. Pemimpin perlu sensitif terhadap kebutuhan anak buah dan menyelaraskannya dengan kebutuhan organisasi. Hanya dengan pendekatan seperti inilah, hubungan antara atasan dan karyawan yang paling bawah menjadi dekat, transparan, dan “alligned”.
Keteledoran dalam memperhatikan tata cara mengambil keputusan sudah dibuktikan dengan kasus-kasus seperti Enron, BP, krisis finansial global di luar negeri, dan juga kasus Lapindo di dalam negeri. Disaat nilai dan budaya korporasi bisa mengangkat harga diri, ‘competitiveness’ bahkan mengundang investasi, kita pun perlu memfokuskan perhatian pada mutu keputusan dan akuntabilitas dari pemutusnya. Sistem dan struktur pembagian wewenang yang sudah digariskan dan diimplementasikan secara konsisten akan membuat seluruh organisasi seolah mempunyai ‘common language’ dan saling mengerti antara manajemen puncak dan bawahan. Bahkan, orang luar pun tidak bisa melacak, di mana sebetulnya kunci pengambilan keputusan organisasi dan organisasilah yang kemudian akan mendapat manfaat pencitraan dan ‘competitiveness’. Untuk meningkatkan kualitas diri, kita memang perlu belajar mengambil keputusan yang bermutu, seperti kata pepatah Yugoslavia “If you wish to know what a man is, place him in authority”
(Dimuat di Kompas, 28 Januari 2012)