Di beberapa perusahaan, seperti Apple, kreativitas membuat perusahaan menjadi superkaya karena nilai kreasinya. “In 1996 apple was in debt of 650 million usd, and now they have more cash than the US treasury of 76.4 billion usd”. Kita tentu bertanya-tanya, apakah Steve Jobs melakukan penciptaan ide secara “solo” alias sendirian? Hal ini dijawab oleh seorang ahli manajemen, Scott Black. Ia berkomentar:”The key thing is, this guy is a genius not only at design, but also at tapping into an idea before anyone else.” Jadi kehebatan Steve Jobs adalah pada bagaimana ia memetik buah pemikiran orang lain, kemudian mengolah dan meramunya menjadi ide yang brilian. Ini tentu kabar baik untuk kita semua karena ternyata semua inovasi dan hasil pemikirannya yang hebat, berasal dari sekelompok orang di perusahaan. Donald Blohowiak, penulis buku “How To Lead Your Staff To Think Like Einstein, Create Like da Vinci and Invent Like Edison”, mengingatkan kita bahwa aset perusahaan yang paling penting adalah otak atau pemikiran yang ada di kepala setiap individu. Namun, betapa sering kita tidak mempertanyakan apakah setiap otak di perusahaan itu sudah dioptimalkan?
Kita pasti menyadari bahwa usaha untuk menumbuhkan kreativitas di perusahaan memang bukan tanpa hambatan. Ketika ada usulan mengganti praktek lama ke cara baru, pernahkah kita mengatakan: “Kita tidak pernah melakukan cara seperti itu sebelumnya...” Donald Blohowiak menggambarkan keadaan itu sebagai fenomena “Idea Inertia”, di mana pemikiran dalam kondisi mati suri di perusahaan. Pernahkah kita merasa seolah tidak bisa melihat jalan keluar dari permasalahan yang sedang kita hadapi? Bila ini terjadi, kita juga perlu mengevaluasi apakah birokrasi dan sistem di perusahaan menghambat tumbuhnya kreativitas. Bila kita setuju bahwa kreativitas merupakan jawaban “adding value” bagi perusahaan, berbagai hambatan berpikir bebas ini tentu perlu kita benahi.
Berpikir Mendalam
Beberapa waktu lalu, banyak perusahaan mematikan jaringan internet atau menghalangi karyawan untuk browsing. Akses internet dikhawatirkan akan membuat karyawan sibuk dengan kegiatan yang tidak terkait pekerjaan dan kehilangan fokus dalam bekerja. Namun, kecanggihan teknologi memang tidak bisa dihalangi. Melalui gadgetnya, kini individu sudah terbiasa mencari informasi lewat Google, belanja online atau memesan tiket murah lewat internet. Menyadari bahwa internet juga merupakan gudang ilmu dan sekaligus sumber untuk menemukan berbagai solusi, banyak perusahaan sekarang berbalik mendorong karyawan memanfaatkan internet untuk berbagai kebutuhan kerja. Perusahaan sendiri pun kini terus mencari cara untuk mengoptimalkan dan mengefisienkan proses kerja secara online, baik pencatatan progress kerja, penerimaan order, penerimaan surat lamaran, psikotes, juga penilaian karyawan. Jika derasnya informasi dan kecanggihan sistem internet ini tidak bisa kita bendung, maka kita tentu perlu berstrategi dan menyiasati untuk mengoptimalkan keuntungan dari informasi tersebut, memaksimalkan dampak positif yang bisa kita dapatkan.
Kita tahu beberapa perusahaan sudah tidak menggalakkan perpustakaannya lagi, mengingat informasi yang lebih terkini mengenai segala macam pengetahuan yang dibutuhkan ada di internet. Tidak sedikit perusahaan yang mulai mengelola ‘knowledge management’ untuk mengambil manfaat dari informasi dan ilmu yang ada. Kita tak bisa menutup mata bahwa banyaknya informasi yang tersedia dari internet malah terkadang membuat kita tidak lagi berpikir jauh mendalam. Seringkali, informasi yang diunduh masih mentah dan sebatas apa yang diperlukan saja. Jika kita ingin mendapat manfaat dari internet, kita perlu memikirkan juga seberapa seriuskah kita memfasilitasi dan mendorong individu untuk mengolah informasi yang ada menjadi ‘insight’, pemahaman, fokus dan penilaian yang lebih dalam?
Ajak Individu Berpikir
Semua orang tahu bahwa “thinking is the core of most professional work”. Namun, betapa sering kita mengalami kegiatan brainstorming direspon oleh anggota tim secara sopan, tetapi tidak melahirkan terobosan yang berdampak. Kita tahu bahwa setiap individu, selain memiliki pemikiran juga pasti menganut nilai dan keyakinan tertentu. Kebutuhan individu pun berbeda, sehingga pikiran setiap individu berbeda. Bila kita ingin memahami individu, kita juga perlu mendalami persepsi dan cara berpikir setiap orang. Kepandaian Steve Jobs justru pada menemukan esensi dari bagaimana para anggota timnya ‘melihat’ suatu gejala. Justru dari keberbedaan persepsi inilah kita bisa mengintegrasikan beberapa pemikiran baru ke dalam solusi dan terobosan berpikir.
Bila para professional tidak di’tagih’ pemikirannya dan tidak diminta untuk mengendapkan semua pengetahuannya, berpikir, menganalisa dan mengeluarkan beberapa ide, seringkali daya pikir yang ada tidak membuahkan hasil apapun. Betapa ruginya bila pengetahuan dan informasi yang ditemukan para karyawan ini tidak diracik dan ditenun agar menjadi informasi yang relevan buat perusahaan dan bisa digunakan serta diimplementasikan. Tantangan kita adalah membangun kebiasaan yang membawa tim ke dalam rasa ingin tahu terus-menerus dan menjadikan kegiatan berpikir sebagai gaya hidup. Saat ini terjadi seolah akan tercipta dorongan untuk menantang status quo dan mendobrak batasan batasan lama yang sudah basi.
(Dimuat di Kompas, 8 Oktober 2011)