Situasi yang membingungkan, disadari ataupun tidak, sering dijadikan ‘excuse’ bagi para eksekutif yang gagal. “Bagaimana saya bisa fokus, bila setiap pos berkaitan satu sama lain?”, “Bagaimana saya mempertanggungjawabkan suatu kegagalan, bila kesuksesan saya sangat tergantung pada orang atau bagian lain?”. Ya, situasi yang kompleks memang dihadapi oleh hampir semua orang. Bila kita tidak bisa berpikiran jernih dengan mudah kita melihat permasalahan seperti ‘lingkaran setan’, tidak bisa kita uraikan lagi. Masalah banyak dan ‘challenging’, jawabannya seolah yang tidak ada. Ada orang yang kemudian menjadi dengan enteng mengemukakan: “Masalahnya terletak di…”, tanpa merasa berkewajiban mengemukakan solusinya. Ada pula atasan yang merasa tidak perlu bertanggung jawab apalagi mengundurkan diri, bila bawahannya berbuat kesalahan. Kompleksitas sesungguhnya bukan sekedar merupakan keadaan yang perlu kita hadapi, tetapi kita jugalah yang memegang peranan dalam menciptakan situasinya. Dengan demikian, kita sebetulnya juga punya tanggung jawab untuk mengurai dan menemukan esensi serta solusinya.
Banyaknya keberbedaan di masyarakat, apakah itu pendapat, nilai maupun pandangan, menyebabkan orang yang berusaha mensimplifikasikan masalah kerap sulit mendapatkan solusi, bahkan ujung-ujungnya bisa dianggap tidak responsif. Di sisi lain, kita sadar bahwa respons yang tidak berhati hati, sering mengakibatkan kita tidak mampu memprediksi hasilnya. Standar yang sebenarnya dibuat untuk menyamakan “bahasa”, sekarang malah muncul dalam berbagai versi. Standar profesi, yang dikeluarkan oleh negara di Eropa, belum tentu diakui di Amerika, demikian pula sebaliknya. Jadi situasi yang:”ever-increasing uncertainty” dan sulit dibaca ini memang terjadi dimana-mana dan menyebabkan para analis keuangan atau politik pun sulit mengambil kesimpulan. Logika sebab-akibat sudah tidak bisa digunakan lagi. Solusi yang kita gunakan hari ini, mungkin sekali basi dalam waktu yang dekat. Pertanyaanya, sampai kapan kita akan membiarkan diri tenggelam dalam kompleksitas situasi, tanpa urgensi untuk menghadirkan solusi?
Berpegang pada Fakta
Beberapa pimpinan perusahaan, entah disadari atau tidak, sering mengambil kebijakan yang merugikan karena tidak sabar melihat perkenbangan perusahaan, misalnya saja mengadu 2 divisi atau channel distribusi. Dalam industri manufaktur, terkadang ada kebingungan untuk mengikuti standar internasional versus respons terhadap pasar lokal. Pejabat yang mengajukan ide pemberantasan korupsi secara tidak lengkap atau individu yang memberi komentar “asal-asalan” mengenai cara penanggulangan kemacetan, tak jarang menuai caci maki habis-habisan di media. Itu sebabnya kita memang perlu senantiasa belajar berpegang pada fakta yang mendukung sebelum menyikapi kompleksitas yang ada.
Tidak salah bila dalam tahap awal kita mengeluarkan berbagai hipotesa penyebab masalah yang ada. Dalam berbagai metode perbaikan kualitas pun kita diajarkan untuk mengidentifikasi semua hal yang bisa menjadi penyebab masalah. Namun, jangan lupa bahwa ujungnya tetap kita harus memilih satu-dua akar masalah yang paling mendasar dan mencurahkan energi dan fokus kita untuk menyelesaikan hal-hal yang mendasar itu.
Keyakinan Diri sebagai “Guiding Star”
Bersikap kalang kabut dan menjawab kompleksitas dengan kompleksitas sudah pasti bukan solusi yang baik. Perusahaan ABB pernah membuat struktur organisasi berbentuk matriks yang bersisi 6, tak lama sesudahnya kembali menyederhanakannya. Bila kompleksitas ini tidak bisa diurai, maka kita perlu kembali menelaah diri kita sendiri yang justru adalah pos yang bisa kita kontrol. Bila saja kita tetap mengacu pada sebuah “guiding star” yang jelas, maka kita bisa mempunyai cakrawala yang lebih jelas dan paling tidak bisa menentukan prioritas. Seorang ahli manajemen menyatakan : “Ramalan cuaca juga tidak pernah benar 100 %. Tetapi adanya ancaman bencana tetap banyak dimonitor oleh ramalan tersebut juga”. Ada masanya memang kita tidak perlu kejelasan yang benar benar factual. Kita cukup mempunya Dos dan donts yang jelas, sehingga tidak terperosok ke hal hal yang tidak termasuk jalur aman. Selebihnya kita tentunya tetap maju menuju sasaran yang sudah kita canangkan.
Ketika di perjalanan kita mendapatkan ‘warning’ bahwa situasi sedang tidak ‘aman’ maka kita memang perlu menentukan plan B. Namun, “Purpose and values” yang kuat akan membuat kita kokoh, dan lebih tahan banting menghadapi kompleksitas ini. Pada akhirnya kita akan tampil sebagai orang yang berkeyakinan tinggi dalam menghadapi segala macam situasi.
(Dimuat di Kompas, 24 September 2011)