Di media sosial, banyak ungkapan yang membesarkan hati mengenai manfaat puasa. Ada yang mengatakan puasa membuat kita semakin cantik. Banyak pendapat yang sudah juga membuktikan bahwa dengan berpuasa tubuh memperbaiki metabolismenya dan mekanisme ‘detox’ terjadi dengan sendirinya. Hal ini adalah ‘hadiah’ alami yang bisa kita rasakan. Namun demikian, banyak hal yang yang bisa kita manfaatkan dan tidak bisa kita dapatkan secara otomatis, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional kita. Teman saya pernah mengatakan, bahwa kebiasaan puasa senin kamis membuat dia lebih peka. Artinya, hal-hal yang tidak dirasakan sebelumnya, tiba-tiba bisa ia rasakan. Bisakah kita juga memanfaatkan puasa untuk mempertajam indera dan melatih kesadaran kita?
Kita tahu, para ahli psikologi sudah lama membagi kesadaran ke dalam 3 lapisan. Ada tingkat kesadaran yang bisa terlihat, terdengar dan terasa seketika. Ada tingkat sub-sadar, yang bisa kita ketahui bila kita berusaha keras untuk memfokuskan pikiran, namun bila tidak kita gali akan terpendam, bahkan tenggelam ke tingkat yang lebih dalam yaitu ke ketidaksadaran. Orang yang lapisan ketidaksadarannya tebal, sering tidak tahu bahwa ia sedang membohongi diri sendiri, tidak bisa melihat kesalahannya sendiri dan sebagai akibat sulit berubah. Dalam filsafat India, hubungan antara kesadaran dan ketidaksadaran ini sering diibaratkan dengan manusia yang menunggang gajah. Manusia ibarat kesadaran, gajah ibarat ketidaksadaran. Pertanyaannya: sanggupkah manusia, si kesadaran, mengendalikan “si gajah”, ketidaksadaran, yang lebih besar dan ‘powerful’. Ternyata, hal ini hanya bisa dilakukan bila kita rajin melakukan observasi diri, dan menelaah isi pikiran, keinginan, situasi, serta ‘rasa’ kita, sehingga kita berkenalan bahkan menjadi familiar dengan ketidaksadaran kita yang kebanyakan berisi hal-hal yang tidak enak dan negatif. Sudah pasti latihan menelaah ketidaksadaran ini akan sangat bermanfaat.
Refleksi : Menyusun Kekuatan
Fakta psikologis mengatakan bahwa pengembangan karir seorang profesional atau manajer sangat bergantung pada konsep dirinya. Ini sebabnya proses memotret diri, kesadaran untuk menggali umpan balik, menelaah dan memanfaatkan hasil asesmen psikologi, serta memanfaatkan kegiatan coaching dengan optimal adalah hal yang sangat penting dalam pengembangan karir individu. Orang yang tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai dirinya, “self-image”-nya, maupun persepsi orang lain terhadap dirinya, akan sulit mengembangkan diri. Apakah kita lamban atau terburu-buru? Apakah kita kurang berkomunikasi? Apakah kita sering salah paham? Seberapa besar kita mempunyai hasrat utuk selalu menang? Sadarkah kita akan dampak dari sikap dan perilaku serta karakter kita pada lingkungan dan pada proses pencapaian hasil kerja?
Idealnya, ‘Aku’ dibalik layar, ‘Aku’ yang berada di realitas dan ‘Aku’ yang dikenal orang, kita sadari semaksimal mungkin. Contohnya, bila seseorang sedang marah, dia bisa menyatakan dengan jelas bahwa dia marah, tetapi bila ada yang mengatakan bahwa ia marah-marah, belum tentu ia mengakui bahwa sikapnya demikian. Dalam ilmu psikologi situasi ini disebut sebagai “I syndrome” di mana orang hanya melihat apa yang ingin ia lihat dan hanya mengandalkan persepsinya. Bahkan, ia pun tidak mendengarkan perasaannya, padahal perasaan selalu mewarnai keputusan keputusannya. Dari sini kita bisa belajar, betapa pentingnya kita berkenalan dengan ketidaksadaran melalui kesadaran kita. Dengan kemampuan ini kita akan terlatih untuk meningkatkan kontrol diri yang akan berpengaruh pada kekuatan mental kita.
Komit pada “Action Plan”
Kontrol diri tidak akan bermanfaat bila kita tidak menindaklanjuti dengan agenda perubahan. Pemahaman pengertian tentang emosi, perasaan kita, perlu kita ikuti dengan komitmen pada diri sendiri untuk berubah. Bila kita berjanji, pada saat marah tidak akan “marah-marah”, maka kita bisa mengatakan kepada sahabat karib kita untuk selalu mengingatkan bila hal ini terjadi lagi. Bila kita mengakui bahwa kita punya kecenderungan menyalahkan orang lain dalam suatu masalah, kita bisa berjanji untuk selalu bertanya dahulu pada diri saya sendiri: ”Apa kontribusi saya dalam masalah ini?”, sebelum melihat kesalahan pada pihak eksternal. Perubahan selalu berat, bahkan sering gagal. Namun penyadaran diri hanya bisa dianggap aktif bila terjadi peningkatan pada kebiasaan dan cara kita menghadapi situasi. Bayangkan berapa kali kita sudah mengalami bulan Ramadhan dan berapa kali kita sebetulnya mempunyai kesempatan mengembangkan diri. Dengan berada dalam kondisi sebulan penuh berpuasa, maka kesempatan kita untuk mengumpulkan kekuatan refleksi ini menjadi semakin besar. "…why should we not calmly and patiently review our own thoughts, and thoroughly examine and see what these appearances in us really are?" (plato)
(Dimuat di KOMPAS, 13 Agustus 2011)