Kita tentu sudah sering mendengar pernyataan ini: “Do you have the right people on the bus?”, “Getting the right talent is everything.” Siapa sih yang tidak mau mempunyai anggota tim dengan talenta yang terbaik? Kita tahu bahwa kita mengejar kesesuaian kompetensi yang kita butuhkan. Meskipun kompetensi yang kita inginkan nyata-nyata ada pada calon yang bersangkutan, tetap saja seringkali kita mengalami ketidakcocokan. Mengapa upaya ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan? Proses seleksi memang bagaikan meramal. Tes yang tajam dan kepiawaian dalam melakukan interview memang kita butuhkan untuk bisa meramalkan keberhasilan kandidat di pekerjaannya dengan tepat. Dalam proses wawancara yang berlangsung selama paling banyak satu setengah jam, kita sudah harus cepat memotret dan membuat penilaian apakah seorang kandidat benar orang yang kita cari atau tidak.
Permainan Interviu: Pewawancara vs Kandidat
Dari segala macam sumber, kita bisa melihat betapa banyaknya panduan untuk menghadapi interviu maupun untuk menginterviu. Pewawancara dan kandidat seolah beradu ketrampilan diajang pembicaraan singkat ini. Untuk pelamar, ini adalah penentuan nasib, harga diri dan masa depannya. Buat perusahaan, sukses dan gagal menginterviu tidak hanya berarti milyaran rupiah tetapi juga situasi kondusif dan moral dalam tim dan organisasi. Jadi, setiap perkiraan yang meleset berarti kekalahan. Si calon bisa gagal menyesuaikan diri padahal sudah meninggalkan pekerjaan terdahulu, hanya karena alasan-alasan yang tadinya dianggap sepele ketika proses wawancara, misalnya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di perusahaan atau juga kulturnya. Perusahaan bisa melihat calon sebagai seorang yang sangat kompeten di bidangnya, tetapi misalnya, lupa mengecek caranya dalam menghadapi orang luar yang tidak merepresentasi perusahaan.
Bila ternyata kinerja calon ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan, kita bisa mengatakan bahwa kedua belah pihak memenangkan permainan. Tetapi, bila prestasinya ternyata biasa-biasa saja, maka perusahaan kalah karena tidak membayar sesuai yang diharapkan, sementara si karyawan yang di rekrut menang karena mendapatkan tawaran yang dia ajukan. Di sinilah pihak yang menginterviu harus benar-benar sadar akan harapan, agendanya dan toleransinya terhadap derajat kelulusan seorang kandidat. Kita perlu meyakinkan pada diri kita sendiri bahwa seorang calon memang akan membawa perubahan yang signifikan di perusahaan. Keadaan ekonomi atau persaingan sering bukan menjadi hambatan berprestasi tetapi bisa menjadi alasan bagi individu untuk tidak berprestasi. Ini lagi-lagi merupakan alasan mengapa kita perlu meramal sikap dan kekuatan mental seseorang, sebelum merekrutnya.
Memotret yang Terlihat dan Tersembunyi
Bila kita analogikan kandidat sebagai sebuah mobil, maka kita akan lihat bahwa motivasi adalah bahan bakarnya. Mobil tanpa bahan bakar bisa berjalan mulus di turunan. Namun, untuk menempuh tanjakan, dibutuhkan bahan bakar. Untuk menghadapi pekerjaan yang sulit, kita tidak bisa mengandalkan orang yang biasa-biasa saja. Orang yang tergolong “high performer” adalah orang yang mampu menghadapi situasi jalan yang mulus, turunan dan juga tanjakan, dengan tetap sanggup menghasilkan kinerja yang luar biasa. Itu sebabnya pengetahuan, ketrampilan, bahkan pengalaman kerja tidak bisa semata menjadi penentu sukses dan gagalnya kandidat. Kita perlu meletakkan bobot yang sama besarnya terhadap aspek ‘sikap’, karakter kepribadian dan “passion” si kandidat. Hambatan di dalam pekerjaan ada di mana-mana, seperti rewelnya pelanggan, konflik dengan teman sekerja, tidak cukupnya pengetahuan, bahkan kemacetan tidak terduga. Tugas pewawancara adalah menyelidiki, seefektif apa kandidat dalam menghadapi hambatan.
Banyak diantara pewawancara yang sudah terlatih pun terjebak ke dalam gejala-gejala ‘halo efek’, yaitu terpengaruhnya pewawancara oleh kesan pertama, stereotype, resume kandidat yang memukau atau kualitas tertentu dari si kandidat. Seringkali impresi yang tumbuh berdasarkan ‘gut feeling’ ini menjadikan pewawancara tidak sempat menyusun pertanyaan yang terstruktur. Padahal, untuk menggali dorongan, kreativitas, rasa ingin tahu, keraguan dan keyakinan kandidat, seorang pewawancara, tidak saja harus menyusun pertanyaan yang jitu sekaligus menguasai teknik-teknik interviu dan menciptakan suasana kondusif sehingga kandidat dengan sukarela membuka diri dan menampilkan kekurangan dan kelebihannya. Terlalu mahal biaya yang harus ditanggung jika dalam proses seleksi kita masih menggandalkan “feeling”, apalagi trial dan error saja.
(Dimuat di KOMPAS, 2 Juli 2011)