Kemampuan untuk “berhenti” erat kaitannya dengan kekuatan mengontrol dan mawas diri. Sebelum sebuah situasi mencapai klimaks, menurun atau menjadi destruktif, setiap orang perlu memikirkan cara untuk menghentikan prosesnya. Mesin yang dipacu terus-terusan tanpa henti akan meledak dan lebih cepat rusak ketimbang yang secara teratur menjadualkan berhenti untuk maintenance. Kita perlu waspada kapan harus menghentikan gaya hidup tidak sehat sebelum menyesali diri saat mengetahui penyakit yang mematikan tahu-tahu sudah mengerogoti. Orang perlu tahu kapan saatnya berhenti memarahi orang yang jelas-jelas salah, sebelum kemarahannya jadi merusak hubungan, bahkan menghancurkan esteem dan kepercayaan diri yang bersangkutan. Kita sendiri pun rasanya perlu mawas diri dan mengecek kapan kita merasa “cukup” dengan kekuasaan dan uang yang kita kejar.
Berhenti adalah Sebuah Langkah
Ketika 25 Mei yang lalu, Oprah menayangkan pertunjukan terakhirnya setelah berkiprah selama 25 tahun, banyak orang menyayangkan kejadian tersebut. Penggemar yang jumlahnya berjuta-juta begitu sedih karena akan kehilangan ‘show’-nya. Mengapa Oprah menghentikan show-nya manakala tayangan itu saat sedang top-topnya dan bukan saat rating mulai turun? Apakah sekedar tidak mau mengalami “post power syndrome”? Atau justru menganggap bahwa jalan yang terus menanjak ini berbahaya bagi perkembangan pribadi maupun kesehatannya?
Ternyata, Oprah tidak berhenti, namun menyusun rencana masa depan yang lain. Keputusan menghentikan Oprah show sudah direncanakan jauh-jauh hari. Dalam salah satu episodenya di tahun 2009, Oprah mengumumkan bahwa ia akan menghentikan tayangan televisinya di tahun 2011 karena ia akan berkonsentrasi pada jaringan televisinya yang baru. Oprah menjelaskan bahwa ia dan timnya akan melakukan brainstorming agar dapat memberikan pertunjukkan terbaik pada 18 bulan sisa masa tayangnya. Kesadaran ini membuat mereka bekerja keras membuat pertunjukan-pertunjukan terbaik dan masterpiece yang akan selalu dikenang orang. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan untuk berhenti dari sebuah posisi puncak bukanlah keputusan emosional atau keputusasaan, namun keputusan matang yang diambil oleh mereka yang berjiwa besar.
Dari Oprah kita belajar bahwa kita harus siap menghentikan hal yang lama dan terus memikirkan pembaharuan untuk masa mendatang. Berhenti dari yang lama artinya kita memiliki kesempatan untuk menantang diri kita naik ke kelas berikutnya, maju kepada tantangan yang lebih sulit untuk membuktikan beragam potensi yang belum kita miliki. Kita bisa menggunakan pengalaman – pengalaman di masa lalu sebagai referensi, namun tidak membiarkan pengalaman tersebut menjadi mental block yang membuat kita tidak berani keluar dari comfort zone.
Sadari dan Tentukan “Deadline”
Banyak sekali pasien-pasien penyakit kronis merasa sisa hidupnya menjadi begitu bermakna setelah mereka mendapatkan vonis dokter mengenai sisa hidup mereka. Mereka yang tahu kapan saatnya harus berakhir malahan merasa diri lebih beruntung dibandingkan mereka yang tidak tahu kapan akhir akan menjumpainya. Dengan pemahaman adanya “deadline”, mereka terpacu membuat perencanaan secara menyeluruh sehingga yang ditinggalkan tidak mengalami masa gamang, di samping mereka sendiri juga jadi lebih menghargai setiap detik yang tersisa. Kakek salah seorang teman saya malah sampai memilih sendiri peti matinya, mendesign obituarinya dan membuat proses kematiannya menjadi sesuatu yang berjalan sangat indah dan natural.
Sebagai pemimpin dalam organisasi di mana pun juga, bilamana kita menyadari dan sudah menentukan kapan kita akan lengser dari posisi kita, tentunya kita akan mempersiapkan sebaik-baiknya penerus yang akan menggantikan posisi kita di dalam organisasi serta memastikan bahwa keseluruhan fungsi organisasi akan tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya sepeninggalan kita. Kesadaran ini mendorong kita untuk lebih keras mencari dan melatih talent-talent terbaik, sehingga mereka siap melanjutkan “perjuangan” kita, terutama mempersiapkan mental dan karakter agar mampu menghadapi beragam situasi yang tidak terduga, mengingat tidak ada orang yang yang dapat memperkirakan tantangan apa yang akan dihadapi di masa depan, namun sudah pasti tantangannya tidak akan sama dengan yang telah kita alami.
Kita memang perlu mulai meningkatkan kontrol diri dan meluangkan waktu untuk memikirkan hal-hal apa saja yang akan kita lakukan secara berbeda bilamana kita harus meninggalkan posisi kita ini dalam kurun waktu tertentu. Apa kebiasaan lama yang basi, tidak konstruktif dan perlu kita hentikan sebelum kebiasaan itu menjadi bumerang bagi kita dan orang lain? Situasi nyaman, jabatan, ketenaran, keberhasilan, memang sangat bisa membuat kita terlena. Hanya individu yang siap keluar dari comfort zone yang akan mampu merasakan nikmatnya pembaharuan yang merangsang adrenalin dan perubahan yang memacu kematangan pribadi dan membawa kebaikan untuk diri dan orang lain.
(Dimuat di KOMPAS, 11 Juni 2011)