was successfully added to your cart.

Salah untuk Menang

Sering sekali hal-hal yang tidak enak terjadi di luar kesengajaan kita. Dalam dunia ‘real-time’ dan media sosial yang ‘tell-all’ begini, ucapan, sikap, pendapat atau perbuatan yang dinilai tidak pantas bisa segera menjadi bahan diskusi, sindiran, bahkan sampai menempatkan sosok yang menjadi sorotan sebagai “bulan-bulanan”. Komentar negatif yang dilontarkan terhadap sebuah restoran tiba-tiba membuat orang lain terdorong timpal-menimpali membicarakan kejelekan restoran tersebut. Foto “nakal” dari masa lalu yang tersebar luas, bisa membuat individu diberi label negatif untuk masa yang panjang. Komentar yang tidak tepat di saat meeting, bisa membuat seseorang yang tadinya dikagumi menjadi disudutkan. Pejabat yang salah bicara atau tertangkap kamera melakukan perbuatan yang tidak patut, mau tidak mau harus siap “mempertanggungjawabkan” keteledorannya. Kita sangat sadar bahwa nasib kita tidak selalu di atas angin. Kesalahan, yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak, sekejap mata bisa merusak reputasi dan langsung akan berdampak pada daya jual, respek dan penerimaan orang.

Seorang direktur di sebuah perusahaan multi-nasional tadinya berkeyakinan untuk mengabdikan diri sampai akhir masa kerjanya di perusahaan. Saat angka penjualan anjlok, sebagaimana sudah diprediksi dan kerap dikemukakan didalam rapat, yang bersangkutan kemudian disingkirkan tanpa alasan yang jelas. Ada teman yang kerap berkomentar: “Things happen”. Hal-hal yang tak terduga memang bisa saja terjadi. Dalam kepemimpinan maupun bisnis, kejatuhan atau kegagalan sering sekali ‘tidak tertahankan’. Kita lihat banyak orang yang benar-benar merasa terpuruk, malu dan sulit untuk bangkit. Apakah selalu berarti: “sekali lancung ke ujian , seumur hidup orang tak percaya”? Masih bisakah kita merasa “menang” dan tetap “bangkit” di saat kesalahan kita disorot dan kelemahan kita dipertontonkan? Bukankah sangat manusiawi bila orang  sesekali berbuat salah?

Jangan Sembunyi

Perusahaan pizza yang terkenal dan tumbuh sangat pesat suatu waktu mendapat komentar negatif yang bertubi-tubi di media sosial. Ada yang mengatakan pizzanya keras dan tidak ‘fresh’ lagi. Pelanggan lain menimpali bahwa delivery yang tadinya dijamin 30 menit pasti sampai, sekarang ternyata tanpa malu-malu terlambat sejam lebih. Orang-orang yang menyaksikan hal ini mengatakan, “ Perusahaan pizza ini pasti ambruk”. Kenyataan ini sangat diakui oleh perusahaan tersebut. Bila mereka tidak bertindak dan melakukan sesuatu, maka reputasi, bisnis dan kepercayaan pelanggan menjadi taruhannya. Hal yang kemudian dilakukan perusahaan adalah membongkar kembali resep-resep lama. Mereka pun dengan sungguh-sungguh bereksperimen dengan menu dan kombinasi baru. Hal yang paling mengejutkan adalah bahwa dalam iklannya, perusahaan ini membenarkan bahwa servis dan produknya pernah gagal, tetapi mereka sekarang sudah melakukan perbaikan dan mempersilakan para pelanggan mencobanya. Para pelanggan yang menyaksikan iklan tersebut, memberi komentar positif dan menyatakan respek terhadap komitmen dan kebijakan perusahaan yang jelas dan segar ini. Hal yang paling penting lagi adalah para pelanggan lama mulai lagi mencoba pizzanya dengan rasa baru. Ternyata, keterpurukan perusahaan malah justru menjadi genjotan  baru untuk bangkit.

Kita melihat tidak ada gunanya bersembunyi dari kesalahan dan kegagalan. Dengan sikap ‘gentleman’ perusahaan ini mengakui kesalahannya dan memperlihatkan bagaimana ia pemperbaiki kesalahan tersebut. “Failure point’ ini  malah menjadi titik balik untuk membuat penjualan berlipat ganda. Tidak heran juga bila kita tidak berkometar negatif lagi tentang pejabat yang mengaku salah dan segera mengundurkan diri. Nama baiknya mungkin sempat tercoreng, tetapi paling tidak, untuk ke depannya, ia masih berkesempatan memperbaiki diri, bermodalkan tanggung jawab dan sikap ‘fair’-nya itu. Hubungan interpersonal yang matang berulang kali menjadi obat mujarab bila terjadi “kisruh” dalam kepemimpinan dan bisnis. Bila seorang pemimpin berhasil melewati masa sulit, kita sering melihat malah justru hubungan akan diwarna rasa percaya yang lebih tinggi. Risiko memang ada, namun sering kali bertindak dan bertanggung jawab memberi hasil yang lebih baik daripada ketidakberanian mengambil risiko.

Berstrategi dalam menangani kesalahan

Teman yang sedang juga mengalami keterpurukan pernah berkomentar bahwa mengalami, menghadapi bahkan mengakui kesalahan adalah sebuah tugas yang berat tetapi memang termasuk dalam “upah” kita sebagai pemimpin. Daripada mengerahkan energi untuk menghindari kesalahan, kita lebih baik membangun karakter dan mempersiapkan organisasi yang siap menyikapi kesalahan. CEO baru perusahaan mobil Ford, Alan Mulally, pada rapat pertamanya dengan para eksekutif, menanyakan pendapat para eksekutif tentang keadaan perusahaan. Ia meminta para eksekutif memberi warna hijau untuk situasi mulus, warna kuning untuk waspada dan warna merah untuk keadaan bahaya. Semua orang mengangkat kartu hijau. Beliau kemudian meminta mereka berpikir lebih dalam dan kemudian kembali dengan penilaian baru. Orang pertama yang mengacungkan warna merah kemudian di aplaus oleh si CEO sendiri. Saatnya kita untuk membuka mata: “Create a new culture that could admit when something was going wrong, and do so early enough so that the organization could still have an impact on the outcome.” Dengan demikian tim, terbiasa bersikap waspada dan terbiasa melihat kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Banyak orang mencampuradukkan kesalahan dengan tidak berprestasinya individu atau perusahaan. Padahal kedua hal ini jelas berbeda. Kesalahan memang harus diantisipasi, boleh saja di-“punish”, namun kita perlu berlatih untuk tidak menyerang individu dan memandangnya sebagai ruang untuk menemukan jalan keluar, menjadi lebih kuat dan memberi momentum untuk “naik kelas”.

(Dimuat di KOMPAS, 16 April 2011)

For further information, please contact marketing@experd.com