Kesejangan generasi memang sangat biasa terjadi. Gaya komunikasi, pola asuh dan kemajuan teknologi sudah jauh berbeda dari tahun ke tahun. Kita mengenal generasi yang baru dengan sebutan macam-macam: Generation Next, Net Generation atau Echo Boomers. Generasi ini, seperti generasi Beatles alias Flower generation pada masanya, banyak diberi komentar negatif oleh generasi sebelumnya. Ada yang menyebutkan generasi sekarang lebih tidak bertanggung jawab, tidak bisa ‘ditembus’ dalam komunikasi dan tidak ‘komit’ dalam menghadapi pekerjaan. Benarkah itu? Bukankah di sisi lain kita melihat di era sekarang, teman-teman yang masih berusia di bawah 30 tahun bisa masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di dunia? Banyak dari mereka juga terbukti lebih mandiri dalam bekerja dan menghasilkan karya-karya kreatif. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa para “Gen Y” ini sejak lahir sudah melek teknologi, sehingga mereka lebih mendominasi penyebaran informasi dengan media baru.
Bila di era The beatles generasi muda populasinya 11-12 % dari seluruh penduduk dunia, maka sensus terakhir menunjukkan bahwa mereka sekarang mengambil 24% dari populasi dunia. Kita pun pasti menyadari bahwa dalam kurun waktu tidak lebih dari satu dekade, mau tidak mau, kepemimpinan perusahaan akan dialihkan pada generasi ini. Masihkah kita menghindar dari kebutuhan untuk lebih memahami dan bekerjasama dengan generasi muda ini? Apalagi kita semakin menyadari bahwa saluran komunikasi akan beralih dari yang konvensional ke saluran komunikasi yang saat sekarang dikenal oleh generasi muda. Tidak ada pilihan lain, kecuali berusaha menjembatani kesenjangan ini dan mencari cara-cara baru dalam berkomunikasi dan berorganisasi dengan generasi baru.
Generasi ‘Autis’ yang Semakin Sosial
Seorang karyawan berbakat yang dikenal mampu melakukan multitasking, kreatif, santun dan selalu dengan tekun menghadapi komputernya, tiba tiba mengajukan pengunduran diri. Ketika ditanyakan alasannya, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa ‘bergaul’ di tempat kerjanya. Sebenarnya pernyataan ini cukup aneh, mengingat ia memang adalah pekerja mandiri dan memang tidak dituntut untuk banyak berkomunikasi verbal. Walaupun berbakat pendiam, ia memang terlihat aktif memainkan ponsel dan “blackberry”-nya terus menerus dan selalu muncul dengan komentar-komentar lucu di Twitternya. Kita lihat betapa kebutuhan interaksi sosial mereka begitu tinggi, tanpa harus bertatap muka.
Kita mungkin bisa lebih berempati bila membayangkan betapa generasi sekarang tumbuh ketika komunikasi dan informasi bisa didapatkan dengan cara yang mudah dan murah. Hal inilah yang menyebabkan mereka mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kesempatan. Bagi mereka, kesempatan memang sangat tidak berbatas. Bila sebelumnya kita memiliki hambatan untuk meng-global, tidak demikian dengan mereka. Anak muda sekarang biasa menembus jaringan tanpa batas, sehingga tumbuh menjadi generasi yang multikultural, interaktif dan kolaboratif dengan caranya sendiri. Mereka pun lebih mudah antusias terhadap apa saja yang ada dihadapannya, walaupun mungkin tidak terlalu tahu substansinya. “Ah, kita browse saja di internet”, itu keyakinan mereka. Mereka yang memang sudah tech savvy jadi lebih optimistis, lebih ‘care’ terhadap komunitas dan bahkan biasa menjadi ‘multi tasker’ kronis. Dengan ditunjang kemudahan teknologi dan cara-cara interaksi personal, generasi muda sekarang memang berbeda secara bumi dan langit dengan generasi gaptek, penuh struktur dan berbirokrasi. Pertanyaannya, sampai kapan kita mau menstres perbedaan antara bumi dan langit ini? Mengapa justru kita tidak melihat tantangan untuk memanfaatkan talenta baru misalnya untuk untuk menemukan hal–hal yang dulu tidak terpikirkan oleh kita? Sebaliknya, kita juga perlu mawas diri tentang cara berkomunikasi kita, karena teman-teman muda kita ini mempunyai lifestyle digital dan juga sangat tribal dan terlibat dalam kelompok sosial kecil maupun besar.
Tembus Kesenjangan dengan Belajar
Dari mana Anda belajar mengenai kecanggihan komunikasi digital? Banyak sekali orang tua yang belajar memakai laptop dan membuka account facebook atau twitter karena bantuan anak, bahkan cucu mereka, bukan? Hasil survey menyebutkan bahwa 40% dari generasi non-Y belajar mengenai I-tunes, My space, You-tube dari adik-adik “GenY”. Hal ini merupakan fakta bahwa ada jalan yang mudah untuk menembus kesenjangan generasi ini.
Time Warner, perusahaan yang dikenal sangat kreatif ini pun memanggil mentor-mentor yang terdiri dari mahasiswa untuk mengajarkan bagaimana menulis blog, memposting video di You Tube dan memanfaatkan media-media baru untuk memperkaya imajinasi dan mendapatkan ide ide segar. Sebuah perusahaan konsultan yang berusia lebih dari 100 tahun pun mempercayakan situs web komunikasi internalnya pada para management trainees yang belia. Hal ini disambut hangat oleh para senior dan bahkan menghasilkan peningkatan motivasi kerja yang sangat signifikan. Jadi, isunya adalah bukan menunggu mereka ‘behave’ dan menyesuaikan diri dengan kultur lama yang sudah berlangsung, tetapi justru belajar dari teman-teman baru tentang hal-hal yang memang sudah merupakan keharusan untuk dikuasai.
Generasi baru yang terkenal pembosan ini juga menyukai tantangan. Mereka bisa diberi tugas-tugas riset yang menarik. Kita juga melihat betapa mereka pun menguasai cara-cara marketing elektronik yang banyak tidak dikenal yang langsung bisa kita manfaatkan untuk inovasi. Kitalah yang harus mempersiapkan organisasi untuk merangkul generasi selanjutnya. Kalau kita selama ini men-cap mereka tidak siap, pertanyaannya: mungkinkah kita yang tidak mempersiapkan diri menyambut mereka?
(Dimuat di KOMPAS, 12 Februari 2011)