Kita memang tidak lagi terkejut, saat seorang mantan menteri secara blak-blakan mengatakan bahwa berpolitik di negara kita sudah sulit tanpa memperhitungkan peranan uang. Dalam kampanye, bukankah tidak lagi malu-malu orang untuk membayar orang lain agar bisa mendapatkan dukungan? Teman saya bahkan mengatakan bahwa orang yang berduit cenderung tampak lebih ‘sexy’ daripada yang tidak berduit. Mau tidak mau, kita perlu mengakui bahwa uang memang berkuasa dan mempunyai kekuatan. Kita tahu ada pepatah: “Those with the gold make the rules.” Hal ini juga bisa kita buktikan dari dibelokkannya pembuatan undang undang negara, demi kepentingan bisnis tertentu. Negara miskin di kontrol oleh orang kaya. Bahkan perang pun sering bukan didasari pertengkaran politik semata, semuanya kembali ke uang. Begitu “sexy”-nya uang, sampai-sampai bisa mendorong banyak orang rela mengotori dirinya dengan korupsi, menciptakan istilah gratifikasi, dan berbagai alasan untuk berbuat curang.
Pada akhirnya, bukankah banyak – sedikit, berguna atau tidaknya, serta nilai uang akan kembali ke masing-masing individu? Bagi individu tertentu gaji 2 juta bisa mencukupi pendidikan dan hidup layak sebuah keluarga, tetapi bagi individu lain uang 2 juta hanya dianggap sebagai upah kepada seorang petugas untuk ‘mengurus surat-surat’. Apakah kita memang akan mendewakan uang untuk bisa membangun pengaruh, mendapatkan respek dan tampak “sexy” di mata orang? Apakah tidak ada hal lain yang bisa menandingi uang, untuk membuat kita merasa punya kekuatan, memiliki pengikut dan merasa puas dan sejahtera?
Tidak “Ujung-Ujungnya Duit”
Saya mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang yang baru melakukan perjalanan dinas dari luar negeri. Seketika timbul pertanyaan di benak saya: apa keahlian orang-orang ini? Apa misi rombongan? Apa yang didapat dari perjalanan dinas yang dibiayai lembaga ini? Pertanyaan ini terus menggelitik karena hasil tanya jawab saya membuktikan bahwa apa yang mereka amati, alami dan bicarakan dalam kunjungannya sama sekali tidak berbuah pemikiran baru atau paling tidak pelajaran baru. Sulit rasanya memunculkan respek terhadap individu yang tampak cukup berduit dari belanjaannya.
Saya jadi teringat presenter berbadan mungil, Sarah Sechan yang mempunyai follower lebih dari dua ratus lima puluh ribu orang di di twitter-nya. Para follower seakan senantiasa antusias untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Sarah. Ketika ada inisiatif membantu korban Merapi, Sarah hanya berulang kali menyampaikan pesan pada para pengikutnya bahwa sumbangan bisa di kirim ke alamat tertentu. Ia mengatakan dirinya akan berada di sana. Kepedulian yang ditunjukkannya menumbuhkan respek. Truk demi truk sumbangan barang pun berdatangan, membuktikan bahwa tokoh muda ini ‘punya pengaruh’. Perez Hilton, seorang jago media sosial terkenal karena blognya dikunjungi orang berulang kali. Orang seakan tidak ada bosannya mengunjungi websitenya karena respek terhadap karya, pikiran, dan hasil kerja individu. Orang yang ingin berpengaruh, bisa mempengaruhi orang lain melalui respek yang tumbuh terhadap dirinya.
Jika kita membuka mata lebar-lebar, kita akan menyadari banyak orang bisa mendapat “pengikut” tanpa harus mengeluarkan cash. Lihat saja, Irfan Bachdim, yang dalam semalam mendapatkan followers lebih dari dua puluh ribu orang, sesasat setelah menampilkan permainan cantik saat timnas kita mengalahkan Malaysia dengan 5-1. Lihat juga jagoan hip-hop Talib Kweli yang direspek tua muda. Gary Vay-ner-chuk yang bisa membuat analisa ‘wine’ dengan pendekatan gonzonya, juga bisa membuat passion-nya berpengaruh. Tentu sangat ketinggalan jaman, jika kita masih berpikiran bahwa uang semata yang bisa memberi kekuatan dan membuat diri kita berpengaruh, Seseorang ahli manajemen perubahan mengatakan:” — in business as well as in politics — is that these three much-celebrated resources are almost always overvalued as tools for leading change and making an impact. The surest way to fail is to rely for your success on money, power, and fame.“
Menambah Daya Tarik
Arkadi Kuhlmann, founder dan chairman dari ING Direct, yang sangat terobsesi dengan service leadershipnya, membuktikan bahwa ambisi, misi, dan hasil karya kita bisa membuat daya tarik. Beliau meyakini bahwa simpati, rasa hormat memiliki kekuatan yang menghasilkan pengaruh yang lebih genuine.”It is never about you. It is always about the mission. And people will follow you if you're prepared to get a mission done, something with a goal that is a little bit beyond the reach of all of us”, begitu ungkapnya. Orang akan merespek orang yang ‘berisi’, yang misinya berpengaruh karena dipercaya, jernih, dan berbobot.
Jane Harper, veteran IBM meyakinkan para pembacanya, bahwa pendekatan yang rendah hati dibarengi dengan ambisi yang kuat, walaupun tidak usah seekstrim Mahatma Gandhi, akan membuat publik atau pengikut merasakan bobot. Kita perlu jujur mengakui bahwa kita tidak mungkin juara di segala bidang. Tetapi, di dunia yang kompleks, fast-moving dan sulit dipahami ini, kita perlu yakin bahwa respek yang kita dapatkan dari pihak lain sangat kita perlukan untuk survive, apakah itu di bidang politik, bisnis, ataupun di rumah tangga. First you get the respect. Then you get the power. After you get the power, the money will follow you.
(Dimuat di KOMPAS, 4 Desember 2010)