Seorang kepala cabang yang dituntut untuk meningkatkan penjualan sering berdalih kekurangan orang dan meminta tambahan anggota tim. Sering terjadi, kalau orangnya sudah ada juga, namun tetap saja penjualan tidak kunjung bergerak mencapai target. Divisi SDM sering mengeluhkan, mengapa SDM yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Seakan tambahan karyawan baru menjadi investasi yang sia-sia. Jadi, individu sendirian tidak bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa yang kita garap tidak selamanya individunya tetapi justru perilaku kolektif dari sekelompok orang.
Spirit Kolektif
Seorang manager berkomentar:”Kenapa ya, kalau di suruh bekerja sama susah, tetapi bila protes mereka bersatu.” Di salah satu perusahaan, para anggota manajemen puncak bisa secara teratur makan siang bersama, berkeluh-kesah mengenai perusahaan sebagai musuh bersama, namun begitu disuruh berkoordinasi atau mengatur strategi tiba-tiba menjadi tidak kompak, bahkan tercerai berai. Seorang ahli psikologi sosial mengatakan, bahwa sifat dari perilaku kelompok itu sangat emosional, dan bahkan tidak sering tidak rasional. Hal ini bisa kita buktikan sendiri bahwa dalam keadaan panik, gembira sekali, ataupun marah, tiba-tiba individu dalam kelompok bisa bersatu, saling mendukung, mengeroyok, bergerak ke satu arah sesuai komando. Inilah yang menjawab betapa membahayakan spirit ‘bonek’ ‘arema’ ‘jakmania’ yang sering kuat, bertenaga sampai sampai tidak terkontrol.
Kekuatan kelompok memang tidak bisa kita anggap main-main. Bila individu dalam kelompok mempunyai ‘rasa’ yang sama dan berfokus pada ‘single issue’, maka sudah pasti kekuatan kelompok jadi berlipatganda. Unsur-unsur inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan yang berhasil mengangkat spirit karyawannya. Hal yang sangat penting juga adalah ‘collective mind’-nya. Mereka menghipnotis anggota kelompok untuk berpikir dan berkeyakinan sama, membuat individu siap menyatukan visi dan menghapus sikap ‘selfishness’-nya.
Dalam Indonesia HR Summit 2010 yang baru diselenggarakan di Bali beberapa waktu lalu, Ishadi SK, komisaris TransTV mengutarakan betapa spirit organisasi terbangun dengan kejelasan dan kesadaran pada kesamaan misi. Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa ‘employee partnership’ hanya bisa didapatkan perusahaan bisa karyawan ‘memiliki’ dan merasa ‘menguasai’ tujuan dan misi perusahaan. Semakin mulia, kongkrit dan trendi misinya, semakin dibelilah ‘purpose’-nya oleh karyawan Transtivi. Bila ini terjadi, karyawan bisa sampai memeras tenaga tanpa hitung-hitungan dan bahkan rela bekerja sampai lupa waktu. Siapa yang menonjol? Kelompoknya, perusahaannya, bukan individunya, bahkan produknya.
Karyawan sebagai “co-creator”
Kita kerap bertanya-tanya, apakah seorang pemain bola kelas kakap, seperti Wayne Rooney, jika pindah klub, akan bisa menjamin performa seperti di klub terdahulu? Kita semua menyadari bahwa walaupun permainannya terhebat, ia belum tentu bisa berkinerja optimal di tempat yang baru. Hal ini tentunya tidak disebabkan oleh keadaan situasi tim yang baru saja, tetapi apakah dia mengkontribusikan seluruh kapasitasnya secara ‘all out’ di tim barunya. Hal ini lagi-lagi adalah sekedar kekuatan emosi dan mental.
Hal yang juga sudah tidak disangsikan lagi, generasi muda yang banyak dikenal dengan genY, hanya mau mengkonstribusikan segenap kapasitasnya, bila kelompok, lembaga atau perusahaan membuat agar ia merasa seperti “co-creator”, dalang, ikut menentukan nasib perusahaan. Di sinilah emosi individu menggerakkan dirinya untuk mengeluarkan seluruh ketrampilan dan kompetensi individual ke dalam kekuatan tim. Setiap orang perlu merasa, bahwa dialah yang membuat tim atau perusahaan berubah, bahkan maju. Dan, sikap ini sangat emosional. Ken Blanchard dalam bukunya High Five! The Magic of Working Together, menyatakan:” The Warriors realized that working together as a team would get them closer to their goal than all playing for individual benefit.”.
Utamakan ‘gerak’
Bila kita ingin menggerakkan individu, kita memang perlu memanfaatkan ‘gerak’ untuk menghidupkan perilaku kelompok ini. Gerak membuat suasana jadi dinamis, memberi kesiapan untuk berubah. Di perusahaan di mana pemimpin me’mati’kan semangat anak buah, misalnya dengan tidak merespek dan ‘mengecilkan’ upayanya, sering kita lihat efeknya adalah si individu membeku, berhenti berpikir, tidak bersedia untuk mencoba, tidak bergerak. Di perusahaan yang saya kenal dinamis, ‘speed’ seakan sudah menjadi budaya perusahaan. Setiap permintaan direspon segera, mereka berjalan dengan cepat, bahkan berlari saat naik turun tangga. Keseragaman perilaku ‘bergerak’ ini serta merta menjadikan perusahaan bersemangat untuk maju.
(Dimuat di KOMPAS, 27 November 2010)