Di satu sisi, semua orang setuju bahwa “manusia adalah aset terbesar perusahaan”. Tanpa manusia, perusahaan tidak akan jalan. Mari kita evaluasi, apakah divisi HRD di organisasi kita sudah diperlakukan sebagai pusat strategi perusahaan? Apakah perusahaan meletakkan kebijakan dan strategi pengembangan sumber daya manusia di atas strategi dan manuver lain? Apakah dalam visi pimpinan perusahaan digambarkan tipe manusia dan perilaku manusianya di 10 tahun mendatangnya? Bagaimana bisa menjamin inovasi, pengembangan ketrampilan dan pengetahuan bila divisi SDM hanya dianggap sebagai divisi yang mengurus ketertiban, gaji dan kenaikan pangkat? Betapa kita sering mengalami, seorang yang sedang berada di kelas pelatihan, “dipaksa” meninggalkan kelas karena urusan ‘urgent’ menyangkut soal bisnis. Bukankah pelatihan juga sering dianggap sebagai upaya menghabiskan budget di akhir tahun dan bukan sebagai upaya utama di awal tahun? Kita juga bisa melihat bahwa ketidakmampuan manajer untuk melakukan ‘coaching’ tidak dianggap sebagai hal yang krusial untuk diperbaiki dibandingkan dengan menghasilkan angka penjualan. Apa yang menyebabkan pernyataan dan keyakinan bahwa “manusia adalah aset terbesar di perusahaan” sering tidak dibarengi dengan sikap terhadap pengembangan sumberdaya manusianya sendiri?
Manusia Pencipta “Values”
Sudah demikian banyak teori manajemen dan pemasaran yang menekankan pentingnya menciptakan ‘value’ dalam bisnis, bila kita tidak mau tergilas. Kita sendiri pasti juga menghargai betapa hasil pemikiran yang sekarang sering disebut sebagai ‘software’ dihargai dengan mahal. Sepintar-pintarnya komputer, kita sendiri sangat sadar bahwa yang mengadakan inovasi dan manuver baru tetap manusia. Berarti manusia adalah value-producing asset yang perlu menjadi fokus bisnis dan bukan dianggap sebagai beban. Ini tentu prinsip yang senantiasa perlu dipegang dan diterjemahkan dalam strategi, sistem, prosedur, inisiatif dan perilaku sehari-hari, tidak hanya oleh divisi SDM, tapi juga pimpinan perusahaan dan para manager. Kita pun perlu senantiasa mengecek dan mengevaluasi, apakah perusahaan dan HRD sudah berhasil menciptakan “values” dari manusia yang ada.
Kemampuan organisasi berkreasi, mencari jalan lain yang berbeda dengan yang ‘biasa’, hanya mungkin dilakukan oleh sumberdaya manusia yang ‘tidak biasa’. Inilah pekerjaan divisi Sumber Daya Manusia. Para eksekutif di divisi SDM perlu tahu apa visi dan masa depan perusahaan dan sekaligus perlu sering memantau perkembangan kondisi manusia di lapangan, sehingga bisa membentuk dan mengasah manusia di organisasi, demi masa depan tersebut. Eksekutif SDM harus bisa membuktikan bahwa mereka betul-betul serius menjadi ‘strategic partner‘ yang paling utama dari manajemen puncak perusahaan. Berpikir strategis ke masa depan dan sekaligus menterjemahkan strategi ke dalam tindakan tindakan pengembangan yang efektif. Sudah tidak masanya lagi divisi SDM hanya berfokus mengurus administrasi personalia karyawan. Divisi HRD memang harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan ahli, serta memiliki “passion” terhadap people dan juga bisnis, karena para ahli human capital ini perlu me-
“re-engineer” business process dan aktif mendengarkan aspirasi karyawan, sehingga komitmen dan kapabilitas karyawan tersalur dengan positif.
Bukan “Embel-embel”
Bila ada karyawan bermasalah, baik itu kinerja maupun sikap kerjanya, tak jarang yang ditunjuk bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini adalah HRD, bukan? Berapa banyak orang yang masih berpandangan divisi HRD ibarat guru BP (Bimbingan Penyuluhan) yang ada di sebuah sekolah menengah? Jika HR masih semata dituntut untuk berkutat menterapi atau memberi rasa “comfort” kepada karyawan, tentu saja perusahaan akan segera memanen masalah, baik itu moral dan produktivitas, karena fungsi penting HR modern tidak dijalankan.
Perusahaan dan karyawan, perlu sadar bahwa divisi HRD tidak bisa hanya berpikir “here and now” saja, tapi perlu jeli untuk meramalkan kebutuhan manusia dalam menjawab tantangan bisnis berpuluh tahun ke depan. Dengan demikian, yang diciptakan bukan sekedar kekuatan sumber daya manusia, tetapi justru kekuatan intelektual dan mental manusianya. Kita tahu, menurut Dave Ulrich, peran HR yang perlu diperkuat di organisasi adalah menjadi “change leader”. Namun, tentu saja HR sendiri pertama-tama perlu bisa menggerakkan dan menjalankan perubahan di tubuhnya sendiri lebih dulu. Bila dulu manajemen bisa dipuaskan dengan program-program training dan rekrutmen yang dikelola oleh divisi SDM, maka yang sekarang perlu dihasilkan adalah kekuatan hubungan interpersonal dan spirit manusianya. Bila dulu substansi yang digarap adalah disiplin, tunjangan atau remunerasi karyawan, di masa sekarang tuntutannya adalah mengelola mindset dan prespektif karyawan. Tanpa terobosan, cara-cara baru dan perubahan, mustahil peran ini bisa dimainkan dengan optimal. Bila divisi keuangan sering dianggap sebagai urat nadi perusahaan, kini saatnya divisi HRD membuktikan peran sebagai “otak” perusahaan dan bukan lagi sekedar beban dan embel-embel di perusahaan.
(Dimuat di KOMPAS, 23 Oktober 2010)