Dalam kehidupan sehari-hari, kita cukup ‘shock’ bila menyaksikan pemahaman yang tidak mendalam mengenai apa sebenarnya hakikat kebangsaan Indonesia itu. Hiras M.S. Turnip, di sebuah situs menuliskan: “Saya tidak yakin (bukan berarti pesimis) jika kita ambil sampel di tempat-tempat umum (misalnya mall-mall,) apakah pemuda-pemudi kita hafal 100% Lagu Indonesia Raya? Tanyakan pula, siapa pencipta lagu Bagimu Negeri? Sekali lagi, meskipun kadar kebangsaan seseorang tidak semata-mata diukur dengan bisa tidaknya menyanyikan lagu kebangsaan, atau mengetahui lagu-lagu wajib perjuangan, paling tidak hal ini menjadi suatu peringatan bagi kita pencinta bangsa dan negara ini.” Ya, mungkin tidak salah bila sekarang ini kita katakan bahwa pemahaman dasar wawasan kebangsaan tidak lagi dipahami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Ini juga mungkin yang melatarbelakangi tidak jelasnya alasan kita memilih pemimpin bangsa atau wakil rakyat. Bukankah kita terkadang merasa “asal coblos” saja, tanpa mempertimbangkan kualitas dan visi pemimpin yang kita pilih?
Ujian terhadap rasa kebangsaan tentu saja bisa terlihat dari dari cara kita merespon berbagai situasi. Berapa banyak orang yang segera turun tangan membantu saat bencana longsor dan banjir terjadi? Bukankah kita kerap bersikap cuek, “berjarak”, bahkan memikirkan diri sendiri saat menyaksikan keterpurukan, konflik dan sikap merendahkan bangsa sendiri? Sebagai profesional dan pekerja, apakah kita senantiasa memikirkan memberi kontribusi bagi bangsa dalam bekerja? Ataukah sekedar mengejar kenyamanan dan kesejahteraan pribadi? Tentu saja kita tak bisa terus diam melihat rasa kebangsaan terkikis oleh rasa ‘helpless’ dan sikap “cuek” yang berkepanjangan.
Globalisasi vs Nasionalisme
Globalisasi dan terbukanya arus informasi membuat kita sekarang ini bisa dengan mudah mem-benchmark kondisi kita dengan negara lain. Kondisi masyarakat kita yang masih belum berkemakmuran dan belum tertata, tak jarang menumbuhkan rasa kecewa dan frustasi saat kita menyaksikan kemilaunya nilai-nilai kontemporer di kawasan internasional. Kita yang berkesempatan melakukan banyak interaksi eksternal, bepergian ke negara-negara maju, menikmati fasilitas publiknya yang begitu nyaman dan modern pun mudah sekali mengalami konflik antara mengagumi kemajuan yang dicapai negara lain dengan menghargai apa yang kita punya di tanah air. Rasa frustasi dan tidak menghargai tanah air dan bumi yang kita pijak, tentu saja sangat berbahaya. Bukankah kita lebih baik bersama-sama menumbuhkan akar pemikiran yang dalam mengenai peran dan kontribusi kita dan memikirkan ‘mengapa kita di sini’?
Kita memang tidak bisa menghindari globalisasi. Itu sebabnya kita perlu memutar otak dan memanfaatkan imbas globalisasi ke arah hal-hal yang positif. Bila kita terus mengembangkan rasa cinta, rasa hormat, rasa memiliki, semangat ingin memajukan bangsa, dan niat untuk menjaga martabat bangsa dan negaranya, globalisasi tentu akan terasa sebagai peluang untuk menunjukkan kebanggaan kita pada bangsa, memamerkan keluhuran nilai dan budaya yang ada. Bukankah globalisasi juga menjadi ‘timing’ yang baik untuk memasarkan produk Indonesia ke market internasional? Memang adalah tanggung jawab kita untuk membangun budaya bangsa. Ingat bahwa budaya tidak semata produk seni dan gaya hidup belaka, sebagaimana ungkapan Pemimpin India, Jawaharlal Nehru: “Culture is the widening of the mind and of the spirit.”
Mengisi Wawasan Kebangsaan
Saya terperangah, menyaksikan lomba cerdas cermat mengenai wawasan Indonesia yang dilakukan di sebuah sekolah “nasional plus”. Soal-soal yang diberikan bukan semata hafalan Pancasila atau lagu-lagu wajib, tetapi para peserta juga diminta untuk menjelaskan perbedaan prinsip antara wayang golek dan wayang kulit. Para murid ini pun diajukan pertanyaan mengenai kecenderungan bereaksi dan cara menunjukkan sikap berbangsa dalam menghadapi situasi-situasi yang berkonflik. Memang sangat terasa, semakin kita mengenal bangsa kita, semakin tumbuh rasa bangga dan cinta pada bangsa. Saya jadi bertanya-tanya, apakah pelajaran ini memang wajib ada di setiap sekolah dasar sampai sekarang? Bukankah hal ini tak kalah pentingnya dengan orientasi global, sains, dan teknologi? Tentu tak cukup bila wawasan bernegara atau pelajaran bela negara hanya diberikan kepada militer saja, bukan?
Banyak ujian dan pertanyaan yang perlu kita jawab untuk menyikapi “krisis” kebangsaan yang kerap kita lihat di depan mata kita. Kita perlu bertanya, sudahkah kita menangkap aspirasi pelajar juara kompetisi sains dan peneliti-peneliti pintar agar mereka tidak membaktikan dirinya kepada institusi di luar Indonesia? Bagaimana dengan pengembangan produk Indonesia? Sudahkah kita memberi ruang dan memakai produk buatan dalam negeri, meskipun belum 100% sama kualitasnya dengan buatan asing? Bukankah hanya dengan memberi kesempatan dan menggunakan produk Indonesia kita menolong produk Indonesia untuk bisa berkompetisi di arena global secara mandiri? Tentu kita juga harus bertanya, sudahkan kita menjaga agar kreasi, kesenian, desain, arsitektur masyarakat tetap dikembangkan dan tidak terimbas pada budaya instan yang hanya bisa membeli, membeli dan membeli? Ini memang panggilan untuk kita semua yang tentu saja memiliki wawasan kebangsaan. Kitalah yang perlu aktif mengembangkan, memanfaatkan dan memakai, dan tidak sekedar mengkritik, kecewa dan ikut memperluas krisis kebangsaan. Tak ada kata terlambat untuk mulai lebih memahami, kemudian menunjukkan dalam tindakan nyata rasa bangga dan kecintaan terhadap tanah air, dari hal yang kecil, sejak dari sekarang.
(Dimuat di KOMPAS, 16 Oktober 2010)