was successfully added to your cart.

Banyak teman merindukan masa kecilnya. Hal yang dirindukan bukan pada fasilitas, tapi lebih pada ketentraman yang begitu kental mereka rasakan dulu. Banyak dari mereka bisa dengan detil menceriterakan masa-masa mereka merasa bebas untuk berteman, aman untuk melakukan perjalanan, juga menikmati fasilitas publik walaupun wujudnya sangat sederhana. Bandingkan dengan kondisi kita sekarang. Kita, orang tua di perkotaan, membatasi anak-anak kita untuk berhubungan dengan orang asing, takut dihipnotis. Kita pun tidak berani dengan nyaman pergi ke mall, takut ancaman bom. Meski hobi berolahraga, kita tidak berani bersepeda di jalan raya, takut di serempet. Apakah kemajuan dunia juga mengembangkan situasi yang kurang tenteram? Ataukah struktur sosial politik masyarakat yang tidak ditata dan belum dibenahi secara optimal? Di tempat kerja pun kita sering mendengar orang merindukan rasa aman, bukan? Dalam suasana kerja yang begitu sibuk, dengan proyek bertumpuk, seringkali masih ditambah juga berbagai ketakutan. Ketakutan pada atasan, tidak percayanya satu sama lain, baik antar divisi ataupun teman kerja. Bahkan, hubungan atasan bawahan juga diwarnai rasa curiga dan was-was. Rasa aman dan tentram yang kita bahas ini tentu saja tidak sama dengan ‘comfort zone’ yang sering didengung-dengungkan orang. Melihat situasi ini, kita tentu bertanya-tanya, benarkah rasa aman sudah menjadi hal yang langka?

Menghindari ‘Mind Games’

Kita tentu kenal dengan teori piramida kebutuhan yang dipopulerkan oleh Abraham Maslow, psikolog abad ke-20. Beliau jelas-jelas mengatakan bahwa bila kebutuhan akan rasa aman, keteraturan dan stabilitas individu belum terpenuhi, maka individu akan sulit memperhatikan hubungan interpersonal dengan orang lain, apalagi berprestasi dan memiliki ‘passion’ pada apa yang ia kerjakan. Bagaimana organisasi atau tim bisa mendapatkan karyawan yang bekerja penuh ‘passion’ dan ambisi bila rasa tidak aman masih berkecamuk di benak para karyawan? Di Amerika, ada penelitian yang mengatakan bahwa UFO lebih terlihat pada saat-saat masyarakat sedang mengalami stres yang lebih berat. Sikap ‘parno’ alias curiga berlebihan tumbuh lebih subur pada saat saat individu merasa galau, tidak jelas dan tidak mempunyai pegangan. Hasil penelitian juga mengatakan bahwa individu yang mempunyai jaminan kesehatan menampilkan masa penyembuhan yang lebih cepat daripada individu yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Di perusahaan di mana individu tidak mempunyai pegangan dan rasa aman, gosip mengenai perubahan jabatan, pergantian pemimpin, kesalahan orang ataupun kebijakan-kebijakan yang dirasakan merugikan karyawan menjadi lebih santer, bahkan dilebih-lebihkan. Kita lihat bahwa “mind games” memang akan subur menggerogoti kesehatan individu dan tim, bila individu mempersepsi rasa tidak aman. Dalam masyarakat kita, kita juga melihat bahwa mind games bisa begitu berbahaya dan tumbuh menjadi kebencian antar ‘gang’, antar agama dan antar suku yang tidak jelas ujung pangkalnya. Bukankah kita sama-sama bisa jelas melihat bahwa kebencian ini tidak berdasar?

Menghadirkan “Clarity”

Rasa aman, terutama secara fisik, memang perlu diupayakan pertama kali. Kita tentu bisa meniru perusahaan-perusahaan yang serius untuk menyediakan program pinjaman, perumahan, asuransi, dan berbagai program yang membuat karyawan bisa merasa “aman”, sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada kinerjanya. Bagaimana dengan rasa aman secara emosional dan psikologis? Kita lihat bahwa perusahaan yang mengupayakan clarity atau kejelasan bagi karyawan, secara sukses bisa menekan munculnya gosip.

Di jaman informasi seperti ini, kita sering beranggapan informasi yang ada sudah cukup dan memang bisa dicari sendiri oleh karyawan atau rakyat. Padahal kenyataan bisa saja informasi kemudian berkembang ke dalam stereotip-stereotip yang negatif, sikap defensif, bahkan agresif. Kita tentu masih ingat, headline Kompas beberapa waktu lalu: “Pemerintah seakan Tidak Hadir” untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mendera negeri ini. Membaca berita diatas, secara psikologis, terasa kita seketika kehilangan pegangan, menggapai-gapai mencari rasa aman dan kejelasan. Ini tentu saja sebuah panggilan bagi pihak otoritas untuk membuat keadaan menjadi lebih jelas, memberikan fakta-fakta yang membuat masyarakat bisa menumbuhkan “sense in control”. Bukankah kita akan merasa lebih aman saat berada dalam gedung yang memiliki petunjuk yang jelas mengenai cara mengamankan diri bila ada bencana?

Masyarakat perlu kepercayaan diri bahwa ada hal hal yang masih bisa dikontrol. Jelas-jelas tatanan dan manajemen keamanan perlu dikomunikasikan secara clear. Tidak berarti bahwa kabar baik yang melulu efektif membawa rasa aman. Apapun faktanya, positif atau negatif, kabar baik ataupun buruk, semuanya akan tetap bermanfaat memberi kekuatan. Kita juga perlu berkeyakinan bahwa tiap individu memiliki kapasitas untuk mengolah dan menumbuhkan kekuatan bagi dirinya sendiri. Rasa aman tidak harus disuapkan terus menerus. Bahkan Hellen Keller, penulis dan guru yang tuna rungu sekaligus tuna netra mengatakan bahkan rasa aman itu tidak tersedia , yang ada hanyalah kekuatan mengarungi ‘adventure” yang kita hadapi.  Berarti kekuatan untuk memperoleh ‘rasa aman’ ini datang dari hal hal yang tidak langsung.Selama pimpinan bisa mengkomunikasikan harapan yang jelas, menjelaskan apa yang harus dilakukan, memaparkan dampak yang muncul dari tindakan yang akan diambil, berkomunikasi dan melakukan evaluasi dari waktu ke waktu, tentu tiap individu akan bisa menumbuhkan kekuatan dirinya, menghadapi krisis,  bahkan bisa menularkan semangat “rasa aman” ini bagi orang lain di lingkungannya.

(Dimuat di KOMPAS, 9 Oktober 2010)

For further information, please contact marketing@experd.com