Dalam pembahasan mengenai leadership, kita kerap membaca ulasan mengenai bedanya “manajer” dan “leader”. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat bahwa pemimpin punya “derajat” yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara, pemimpin dipandang memiliki peran yang lebih strategis. Ia harus punya visi ke masa depan, menentukan arah, memilih strategi dan sekaligus memiliki kemampuan persuasi untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya bergerak ke arah yang diinginkan. Ahli manajemen, Peter F. Drucker pun berkomentar "Management is doing things right; leadership is doing the right things." Pertanyaannya, apakah kita membutuhkan pemimpin dengan kemampuan manajerial yang kuat atau manajer dengan kepemimpinan yang kuat?
Meramu Kompetensi Manajerial dan Kepemimpinan
Banyak nasehat yang beredar mengenai teknik kepemimpinan untuk lebih melihat permasalahan secara menyeluruh, dari sudut pandang helicopter dan melihat jauh ke depan. Padahal, di sisi lain, kita tahu Xerox tidak akan selamat dari keterpurukan bila Anne Mulcahy tidak membenahi setiap detil perusahaan itu, pada masa-masa awal kepemimpinannya. Di samping mimpi dan visi yang jauh dan progresif, jagoan-jagoan seperti Francis Ford Coppola atau Steve Jobs pun ternyata adalah orang-orang yang sangat mendalami industri dan keahlian yang diperlukan dalam lini bisnisnya dan selalu mempelajari semua persoalan secara in-depth. Ini berarti pemisahan antara fungsi kompetensi manajerial dan kepemimpinan sudah tidak bisa kita lakukan secara ekstrim. Bahkan, perlu kita akui bahwa di samping kapasitas kepemimpinan yang harus digali dari seorang manajer, seorang pemimpin juga perlu mewarnai kapasitas memimpinnya dengan hal-hal yang berbau “how it will be done”.
Saya jadi teringat nasehat seseorang yang sudah bisa tergolong begawan di dalam lini bisnis telekomunikasi. Ketika seorang CEO baru berkunjung dan mempertanyakan kegagalan-kegagalan pendahulunya. senior ini hanya menganjurkan untuk berkunjung ke ‘pasar’ dan mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman pelanggan’ yang sesungguhnya. Nasihat ini tentu menyadarkan bahwa pemimpin tidak akan bisa membuat terobosan dan keputusan yang tajam, bila ia tidak menjiwai, merasakan dan menghayati kebutuhan anak buah dan “pelanggan” di lapangan.
Harus kita akui, banyak sekali pemimpin yang dianggap oleh anak buahnya sebagai “ahli teori”, namun tidak mengenal keadaan anak buahnya sama sekali. Pemimpin tipe “big picture only” ini mungkin saja tersandung pembuatan keputusan yang hanya berdasarkan data di kertas, namun tidak mempunyai akses pada realita di lapangan. Tak heran bila kita pun sering mendengar komplain adanya keputusan yang kaku dan “tidak mau tahu”. Ini juga tampaknya yang mendasari tuntutan agar para pemimpin harus senantiasa ingat untuk “walk the talk”. Tidak bisa sekedar memberi instruksi perubahan atau pengembangan di atas kertas, namun harus senantiasa mengikuti sampai implemetasinya. Bukankah ini juga yang bisa kita pelajari dari Steve Jobs. Secara teratur ia mendatangi Apple store di setiap kota yang dia kunjungi. Kedekatan dan pemahaman dengan kondisi di lapangan inilah yang membuatnya bisa senantiasa mengambil keputusan dan tindakan progresif yang terbukti membawa perusahaannya menjadi terdepan.
“Action” Tidak Bisa dipertukarkan dengan Konsep
Seringkali pemimpin berhadapan dengan masalah, berkutat membahas, menganalisanya berhari-hari. Pada saat menyusun action plan, entah karena habis tenaga atau memang menganggap bahwa action itu mudah dan ‘taken for granted’, perumusan tindakan pun digambarkan seadanya saja. Padahal action plan pun harus ditelaah kembali, perlu betul-betul dipastikan apakah memang akan bisa membawa perubahan signifikan atau tidaknya. Action plan juga dbutuhkan untuk menjamin follow up dan mempermudah pengecekan. Bisa kita lihat sendiri betapa kebijakan kebijakan yang dibuat oleh penguasa negara sering tidak berbuah perubahan, karena tindak lanjut yang tak jelas.
Dari sebuah simulasi kegiatan pada pelatihan kepemimpinan, tidak satu pun kelompok yang mendapat tugas merancang perubahan, menyertakan time frame dan action plan yang mendetil. Di sini kita bisa berkaca bahwa sosok pemimpin yang dibayangkan seringkali adalah sosok yang tidak perlu ‘go into details’. Padahal jarak antara perancangan dan tindakan ini bagaikan jurang yang dalam yang bahkan terkadang misterius. Dengan tidak diterjemahkannya konsep ke dalam ‘action’, kita tidak bisa melihat nilai, konflik bahkan ketakutan-ketakutan apa yang menghambat pelaksanaan perubahan. Setiap anak buah pastinya menunggu-nunggu pernyataan pemimpin untuk menggerakkan perbaikan proses,sumberdaya manusia, infrastruktur dan mental di lembaga yang dipimpinnya. Semakin nyata instruksi mengenai sasaran, tindakan apa yang perlu dilakukan, kapan dan seberapa besar cakupannya, akan semakin bisa kita menjamin adanya langkah perubahan dan perbaikan proses. Sehebat-hebatnya visi pemimpin, arahan tindakannya harus jelas.
(Dimuat di KOMPAS, 2 Oktober 2010