was successfully added to your cart.

Kita tentu bersungut-sungut saat ada pejabat atau individu yang memanfaatkan ajudan-ajudannya untuk menerobos kemacetan, menutupi jalur jalan umum, meminta dispensasi atau menyelak proses. Seketika terasa kita seolah-olah tidak punya hak yang sama untuk menggunakan fasilitas publik yang tersedia, harus mengalah dari orang yang punya “kuasa”. Ini mungkin salah satu sebab orang berlomba-lomba mengejar kekuasaan, karena seakan-akan individu jadi punya “kesaktian” lebih untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Terkadang kita sendiri pun mencatut atau memakai nama atasan untuk bisa mendapatkan informasi atau dukungan dari orang lain, bukan. Apakah benar yang kita amati bahwa begitu orang merasa kuat, ada kecenderungan dia “menginjak” kaki orang lain?

Saya pernah punya pengalaman berkesan, saat suatu maskapai penerbangan membatalkan jadual penerbangan. Penumpang yang ada pun kemudian berebut mendapatkan tempat di penerbangan maskapai lain. Semua orang punya kepentingan, semua orang berjuang untuk mendapatkan tempat yang terbatas. Tiba-tiba terdengar suara keras:”Anda tahu saya ini siapa?” Semua orang pun menoleh mencari sumber suara tersebut, sambil memasang muka bertanya-tanya, mengekspresikan ketidaktahuan. Ada seseorang di belakang, berbisik:”Mungkin saja dia nge-top di TV atau di kantornya, tapi di bandara tetap tidak nge-top”. Dalam situasi itu, petugas tiba-tiba menyodorkan“boarding pass” kepada seorang ibu yang membawa bayi dan neneknya. “Ini sudah prosedur kami, Pak” ujar petugas tersebut menjawab komplain penguasa yang ingin didahulukan. Pada situasi seperti ini, petugas maskapai-lah yang paling “berkuasa”. Ternyata dalam beberapa situasi, dengan uang sebanyak apa pun atau pangkat sebesar apa pun, individu tidak selalu mampu berbuat apa-apa. Pangkat, jabatan dan wewenang memang salah satu sumber power bagi individu. Namun, kita bisa menilai sendiri, apakah pemanfaatan “power” yang berasal dari otoritas dan legitimasi ini bisa efektif setiap waktu? Bagaimana bila “power” itu dicopot dan terlepas dari individu? Bagaimana nasib tim yang dipimpin oleh “tangan besi” ini sesudah si penguasa pergi?

Mengundang kemurahan hati

Seorang atasan memang memungkinkan dirinya untuk “memaksa” bawahannya melakukan suatu, misalnya lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Meskipun si bawahan bisa saja tetap terlihat melakukan tugasnya, namun kita tidak tahu apakah ia menjalankan dengan keterlibatan 100%, 70% atau hanya di bibir saja. Banyak sekali orang berduit yang juga merasa bisa “membeli kepala” orang lain, baik itu pegawai, vendor ataupun pemberi jasa. Dalam situasi ini pun kita bertanya-tanya, apakah dengan keadaan “setengah terpaksa”, individu akan memberikan servis sepenuh hati pada orang-orang yang ‘berkuasa’ ini? Kenyataannya, di dunia ini setiap individu punya pilihan. Pelanggan bisa lari ke toko sebelah, vendor bisa mengundurkan diri, karyawan bisa ‘resign’ sesuai kemauannya, teman karib bisa ingkar, dan anggota tim pun bisa memisahkan diri.

Jim Collins, seorang guru manajemen, dalam bukunya: ”Good to Great”, mengungkapkan karakter model kepemimpinan baru yang ia sebut dengan “The Fifth-level leadership”. Ia mengungkapkan pada level tertinggi ini kepemimpinan didominasi oleh kerendahan hati dan kemauan keras. “...The CEOs of these remarkable companies were not aggressive, not self promoting and not self congratulatory. This relatively unique class of leader possesses the ability to “build enduring greatness through a paradoxical combination of personal humility plus professional will”. Pemimpin tidak menggunakan kekuasaan secara otoriter, namun mengajak dan meminta dukungan partisipatif dari anggota tim. Kita bisa menyaksikan dalam berbagai situasi sulit, banyak individu, anggota kelompok, yang dengan rela mengorbankan waktu dan spiritnya demi tercapainya tujuan dengan penuh kerelaan hati, tanpa tekanan. “Saya lembur karena kita memang harus mengejar deadline. Bukan semata karena disuruh atasan. Keluarga memang dikorbankan, tetapi ini tidak terjadi setiap hari, kok.” Demikian ungkap seorang karyawan. Bukankan situasi kepemimpinan seperti ini lebih indah dan menyenangkan, daripada situasi penuh penekanan?.

Apapun ‘posisi’ kita, sekali pun kita berada dalam situasi ‘memberi nafkah’, kita bisa belajar untuk mengundang kemurahan hati orang lain. Kita sebenarnya bisa mengganti ‘mindset’ dengan berpikir bahwa kita sedang dikelilingi oleh para ‘volunteer’. Kita bisa berlatih untuk lebih banyak membuat ‘request’ daripada memerintah. Kita perlu meyakini bahwa membangun hubungan penuh rasa percaya lebih “powerful” daripada membuat hirarki dan struktur politik. Secara otomatis, kerendahan hati justru menciptakan power dalam bentuk lain.

“Power” bisa mengembangkan jiwa

Tak jarang kita mendengar sikap pesimistis dan ungkapan tidak berdaya, misalnya: “kita belum merespon penawaran Anda karena atasan belum membacanya”, atau “Kalau formulir tidak lengkap, kita tidak bisa proses.” Dengan pemahaman bahwa kuasa tidak selamanya identik dengan otoritas dan tekanan, kita sebetulnya akan bisa mengembangkan power-power baru dan menghindari sikap “helplessness”. Power modern bisa kita tumbuhkan dari kekuatan menjangkau informasi, kekuatan interpersonal serta kekuatan men’deliver’  jasa dan produk yang berkualitas. Bukankah kita percaya bahwa hubungan baik dan trust dari rekan kerja, bawahan, klien akan menumbuhkan spirit tim yang tidak terharga nilainya dan begitu besar kekuatannya. Ini semua tentu saja akan membuat kita bisa menumbuhkan rasa aman, kepercayaan diri sekaligus memperkaya jiwa.

(Dimuat di KOMPAS, 14 Agustus 2010)

For further information, please contact marketing@experd.com