Kita pun bisa melihat kerjasama tim yang indah di kesebelasan Spanyol. Tim yang merajut kerjasama selama dua tahun ini kerap disebut “tidak punya siapa-siapa, tetapi bisa menjadi siapa pun”. Fleksibilitas yang ditunjukkan secara nyata terlihat menghasilkan keunggulan tim yang membuat kita mengacungkan jempol. Inikah pendekatan ‘modern’ yang disebut-sebut oleh para komentator bola? Seorang filsuf, Delanty, menyebutkan modernisasi sebagai: "The loss of certainty and the realization that certainty can never be established, once and for all." Tanpa adanya pendekatan baru, tampaknya memang sulit kita untuk menghadapi lawan yang unpredictable dan dominan. Di era mobilitas sosio ekonomi, di mana produk, permodalan, manusia dan informasi beredar bebas tidak berbatas, setiap orang tampaknya memang perlu memikirkan desain perubahan spesialisasi, segmentasi dalam masyarakat, sehingga mempengaruhi pola interdependensi dalam organisasi ataupun tim. Kita tentu perlu terus mengevaluasi sejauh mana kita sudah menerapkan cara-cara baru dalam bekerja dan bekerjasama? Seberapa jauh upaya kita untuk me-modern-kan cara pikir dan pola hubungan interpersonal kita?
Bersantai dalam Keberbedaan
Keberhasilan adaptasi terhadap keragaman etnis dalam tim dan sudah tidak dinomorsatukannya senioritas lagi, adalah sebagian contoh betapa pendekatan baru adalah strategi yang bisa membawa keunggulan bagi sebuah tim sepakbola. Pelatih Spanyol, Del Bosque, menyebutkan bahwa ia harus mengelola pemain-pemain usia muda . Para pemain menyatakan betapa permainan dan kerjasama tim bisa mereka nikmati sendiri. Xavi, motor dalam tim Spanyol, bahkan mengungkapkan: "We felt very much at ease on the pitch. That's what we want, that's what we are looking for."
Dalam dunia manajemen pun kita melihat hal yang sama. Seorang anak muda berpenampilan ABG muncul di jajaran direksi sebuah bank besar milik pemerintah. Anak muda yang berhasil mencapai puncak karir dalam usia relatif muda ini pun tidak “cupu” (baca: culun punya) bahkan ‘gaul’. Kecemerlangannya diakui oleh setiap orang. Ia memperlihatkan betapa dirinya begitu terbuka dan bahkan lebih ‘happy’ bila bisa berhubungan dengan banyak orang. Ia pun menikmati dan mencari kesempatan untuk melakukan sebanyak-banyaknya sharing pengalaman, pendapat, minat dengan orang yang berbeda suku, negara ataupun bangsa. Seorang anak muda yang saya temui di pesawat mengatakan dirinya berkebangsaan Australia, sementara dari penampilannya terlihat ia beretnis Cina. Menariknya, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia ‘berbeda’ dari suku-suku bangsa yang lain. Ini membuktikan bahwa generasi ‘modern’ lebih cair dan lebih mampu ‘sharing’ daripada generasi sebelumnya.
Dengan kondisi ini, organisasi yang saat sekarang masih mengagung-agungkan sikap stereotipik dan birokratis tentu saja terlihat usang. Bayangkan betapa besar kerugiannya bila dalam sebuah divisi atau organisasi masih ramai terdengar keluhan mengenai tidak harmonisnya hubungan antar divisi, tidak nyamannya berhubungan dengan atasan karena alasan birokrasi, atau lambatnya tindakan karena sikap segan pada atasan. Kita bisa menilai sendiri betapa perusahaan-perusahaan seperti ini tidak efisien dan efektif, bahkan membuang kesempatan untuk menguatkan barisan dalam mencapai tujuannya. Suka tidak suka, saat ini kita dihadapkan pada situasi di mana segala sesuatu seolah tidak berstruktur. Bawahan akan memilih siapa yang akan dipanut untuk menjadi mentornya. Mereka pun akan menghindari perusahaan yang membatasi kegiatan ‘networking’ mereka. Perusahaan yang terus bisa mempertahankan keunggulan, seperti Time Warner, Cisco dan Booz Allen, bahkan terus mendorong kesempatan berbagi ‘know how” dan memberi fasilitas untuk mengembangkan network yang tidak berbatas. Citibank dalam kampanyenya menuliskan “to work where and how you want”. Fleksibilitas memang perlu diciptakan dalam beragam bentuk yang kreatif. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang berbentuk “remixed” perlu dipersiapkan bila ingin menerapkan manajemen modern.
Bentuk Organisasi Modern
Tidak bisa diperdebatkan lagi apakah kita mau mencari pola baru dalam berorganisasi. Kita memang harus berubah. Organisasi baru harus mengakomodir proses ‘gunting-copot’ dengan cepat. Karyawan senior tentu saja memiliki “kecanggihannya” sendiri, misalnya untuk pekerjaan yang mengandalkan “tacit knowledge”, pengalaman serta kepemimpinan. Amex dan Novartis, misalnya, menjaga dampak negatif dari peremajaan perusahaan, dengan tetap mempekerjakan para ahli senior yang keahliannya memang tidak tergantikan sampai mereka berusia 65 tahun secara ‘part time’. Di sisi lain, perusahaan perlu jeli mengoptimalkan kecanggihan yang dikuasai oleh ‘boomers’ dan ‘gen Y’, misalnya kepandaian multitasking, ketajaman dalam menarik data dan informasi, serta kreativitas yang tinggi.
Dalam tim sepakbola, kita melihat bagaimana para pro cabutan berkumpul dalam satu tim dan kemudian bersatu dalam ambisi dan idealisme “membela negara”. Keliru bila kita membatasi peran strategis kaum muda dengan anggapan bahwa generasi muda tidak punya ambisi, tidak punya idealisme dibanding generasi sebelumnya. Bukankah kita bisa lihat banyak anak muda berani memilih pekerjaan dengan gaji kecil pada perusahaan yang berorientasi ramah lingkungan, ‘eco’ dan ‘green’ dan begitu peduli pada pengembangan masyarakat. Ambisi dan idealisme inilah yang sebetulnya bisa menjadi perekat dalam organisasi modern untuk membangun tim dengan “bentuk baru” yang lebih kuat. Tidak heran bila perusahaan seperti Virgin, Google, Facebook, Microsoft bisa terus mendobrak maju karena sistem yang dianut mengakomodasi keinginan anak muda kreatif yang juga sekaligus idealis.
(Dimuat di KOMPAS, 17 Juli 2010)