Tidak hanya di lapangan hijau, dalam rapat-rapat perusahaan atau parlemen pun sering kita lihat gejala saling menyerang dan saling menjatuhkan, misalnya saja saat seseorang mempresentasikan pendapatnya. Seorang teman yang kecewa melihat hal ini suatu waktu berkomentar, “Individu seakan tidak lagi bisa melihat sisi positif, manfaat dan kelebihan anggota tim lain, bila di kepalanya sudah terisi keinginan menyerang.” Bayangkan apa jadinya tim, perusahaan, juga negara, bila yang dikedepankan adalah saling menyerang, sementara tata cara, tata krama dan aturan main dilanggar?
Di tengah makin canggihnya sistem manajemen, sebut saja “balanced scorecard”, “ISO”, “corporate governance” dan segala macam inovasi manajemen untuk mengelola bisinis yang lebih efektif, yang perlu kita pikirkan juga adalah bagaimana hubungan interpersonal di dalam kelompok di atur agar lebih efektif. Pernahkah kita mengantisipasi konflik, keterasingan, individualism di dalam tim? Seseorang yang merasa tidak dilibatkan sebelumnya dalam diskusi, tentu memilih diam saja dalam rapat, meskipun dia mempunyai ide-ide cemerlang. Hubungan interpersonal ini memang tidak bisa dilihat berkontribusi langsung dengan keuntungan perusahaan, namun sebaliknya kita nyata-nyata saksikan kerugian perusahaan yang terjadi bila tidak ada kekompakan, keterlibatan perasaan dan pikiran dalam kelompok. Kita tentu perlu serius memikirkan cara untuk “back to basic”, menegakkan norma kelompok dan masyarakat, sehingga kemajuan teknologi, kecanggihan media komunikasi serta semakin kompleksnya cara berpikir ini bisa dilandasi oleh aturan yang bisa dipatuhi bersama dan menciptakan harmoni.
Menjunjung Sikap Sportif
Sportivitas adalah hal yang senantiasa menumbuhkan respek dan membuat kita yang melakukan merasa bangga. Kita bisa temukan betapa pertandingan yang paling sadis pun tetap dimulai dan diakhiri dengan menghormati lawan dan negara. Semua taktik, trik, dan teknik dalam olahraga pun dilakukan dengan aturan main yang super ketat. Tidak hanya saat berlaga di arena saja olahragawan dituntut untuk berkompetisi jujur, saling menghormati dan patuh pada apapun hasil pertandingan, namun olahragawan yang sekarang ini sudah menjadi selebriti dan senantiasa berada di bawah lampu sorot, diharapkan menjaga perilaku dan tata krama bergaul, sebagai bagian dari “showmanship”-nya. Meski bukan atlet, kita pun bisa memilih bersikap fair menghadapi kekalahan, disiplin, tidak main curang, namun tetap mampu mempresentasikan buah pikiran kita secara ‘straightforward’ dan benar.
Kita bisa belajar dari Lionel Messi. Ia yang sesudah tiga kali pertandingan tidak kunjung mencetak gol, berkomentar: "Saya tahu, saya belum mencetak gol. Tapi, saya tak terganggu dengan kenyataan ini. Saya ingin sekali mencetak gol dan Saya yakin gol itu akan datang dalam waktu dekat ini.” Kata-katanya sungguh menunjukkan tanggung jawabnya terhadap harapan fans, negara, pelatihnya dan tim. Praktik sikap sportif ini hanya bisa dikembangkan melalui learning by doing. Orang tidak lahir dengan pemahaman norma kelompok. Norma kelompok ini tumbuh di dalam diri individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan kelompok dan komunitasnya, dan mencontoh perilaku role model-nya. Itu sebabnya sikap sportif perlu kita upayakan tumbuh dalam setiap situasi, baik di rumah, kantor maupun dalam rapat, tanpa perlu banyak alasan.
Maju Terus sesudah Konflik
Reaksi ‘patah arang’, ‘ngambek’, ‘walk out’ sesudah konflik keras sering terjadi dalam kerja kelompok. Ini tentu tidak bisa dibiarkan jadi kebiasaan, apalagi dijadikan contoh. Kita tahu bahwa konflik pasti terjadi, bahkan tak jarang malah akan memperkaya kekuatan kelompok. Namun, saat umpan balik diberikan dan kesalahan ditunjukkan, sering kita lihat anggota kelompok yang langsung defensif, merasa di nilai jelek atau bahkan merasa dipersalahkan. Terkadang ini berujung pada pemikiran untuk tidak lagi berkontribusi dalam proyek, tidak lagi “all out” dalam menyerang pasar atau memenangkan persaingan. Tanpa memupuk kedewasaan, tentu sulit untuk kita maju, menyerang dan berprestasi.
Ada sebuah perusahaan, di mana pada setiap awal meeting dibacakan tata krama rapat. Isinya antara lain ketentuan penggunaan handphone, keharusan tiap individu mengeluarkan pendapat, dorongan bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, fokus pada upaya mencari jalan keluar serta sikap merespek setiap pendapat tanpa melupakan tanggung jawab bersama untuk tercapainya sasaran rapat dengan optimal. Dengan cara seperti ini, terbukti setiap orang jadi terdorong untuk bersikap dewasa menghadapi perbedaan pendapat, sudut pandang dan persepsi. Mereka pun bisa mengalahkan kepentingan dirinya pada saat memikirkan kepentingan kelompok dan perusahaan.
Kemenangan atau kekalahan, sebagaimana dalam pertandingan olahraga, adalah hasil yang sering tidak bisa diganggu gugat. Bagaimana pun juga, hasil yang diperoleh adalah buah kerja keras yang harus diterima dengan lapang dada. Saling tuding antar kelompok, antara pelatih dan pemain, bahkan kilas balik permainan pun sudah tidak bisa mengubah hasil. Tidak ada salahnya kita di dunia komersial dan pemerintahan mempelajari sikap ini. Kalau kita mau berjuang dan ‘fight’, lakukanlah pada saat ‘bermain’, bukan sesudahnya.
(Dimuat di KOMPAS, 26 Juni 2010)