was successfully added to your cart.

Kegiatan ‘menonton’ memang semakin sulit dihindari. Media audiovisual sudah demikian lekatnya berperan dalam  kehidupan kita. Rasanya sulit menemukan keluarga dari golongan menengah yang tidak mempunyai televisi. Bila dulu kita bisa bosan dan tidak berminat menonton, sekarang pilihan demikian banyak, sehingga hampir semua jenis tontonan bisa disesuaikan dengan minat kita. Suguhan tontonan yang demikian intensif, informatif dan komprehensif membuat kita dengan mudah mempelajari, bahkan mengomentari berbagai ilmu ekonomi, olahraga, bahkan politik. Betapa kita lihat, golongan menengah seperti para ‘driver’ di parkiran pun bisa meng-”update” berita politik dengan intensif. Komentar mengenai ditangkap atau dilepasnya jenderal ‘anu’ atau dicekalnya pengusaha ‘itu’ dibicarakan  dengan komentar-komentar yang lumayan ber-’teori’.

Sebagai penonton setia olahraga bola basket, sepakbola dan bulutangkis, kita bisa sangat bersemangat mengomentari taktik dan teknik pemain. Padahal belum tentu bila kita yang berada di “lapangan” kita bisa dengan baik menerapkan apa yang kita katakan. Sebagai penonton, kita pun bisa merasakan keterlibatan emosional yang mendalam, pro – kontra dengan sepak terjang para eksekutif dan legislatif serta berbagai trik-trik politik pihak yang berseteru. Meskipun kita lihat banyak individu yang sebenarnya menganut nilai-nilai yang bisa membawa perubahan, namun jarang sekali ada yang benar-benar mampu mempengaruhi dan menggerakkan perubahan tersebut. Kesannya, komentar individu hanya “omdo” alias omong doang, namun seolah-olah tidak bertenaga. Pertanyaannya, jika lebih banyak dari kita yang sangat menikmati peran sebagai penonton, lalu siapa yang akan bergerak dan mendorong perubahan?

Pemain Kecil pun Berharga

Teman saya yang memimpin organisasi selalu mengingatkan bawahannya untuk tidak menjadi penonton. “Lakukan sesuatu, jangan hanya melihat, mengamati dan berkomentar”. Ketika seseorang mempertanyakan sistem pengawasan atasan yang seolah memperlakukan temannya dengan tidak fair, lagi-lagi teman saya ini memperingatkan untuk tidak menjadi penonton. “Banyak sekali di antara kita yang pandai membahas, bukan ‘berbuat“.

Saya teringat cucu saya yang mendisiplinkan dirinya untuk mengurangi penggunaan kertas tisu dan penggunaan kertas. Ia diajarkan di sekolah: “Lebih banyak memakai kertas, lebih banyak tanaman yang ditebang”. Meski tidak semua orang sempat menjadi aktivis dan politisi yang punya power memberi pengaruh luas, namun kita semua sebetulnya punya kesempatan untuk berpartisipasi menerapkan kebiasan-kebiasan baru yang kita yakini bisa bermanfaat bagi diri kita, lingkungan, juga organisasi dan bangsa. “Pemain kecil”, melakukan tindakan kecil, tentu lebih berharga daripada sekedar berteriak tentang lingkungan tetapi tidak menyadari pemborosan listrik air dan tidak berusaha berhemat karena alasan itu.

Strategi vs Implementasi

Morale alias motivasi kelompok sangat tergantung dari dinamika, gerak dan ‘action’. Saat angka penjualan merosot, kita lihat ada tim yang sibuk rapat menganalisa dan pointing fingers, sebaliknya ada tim yang langsung bergerak memperbaiki proposal, menjaga moral tim, juga mengecek data prospek yang belum di-follow up dengan sempurna. Banyaknya orang yang berusaha, menyebabkan tidak sempatnya orang saling menyalahkan atau berteori dulu baru bergerak. Prinsip “work smart, not hard” memang tidak salah. Strategi yang ‘smart’ memang perlu disusun agar kita bisa lebih fokus dan efektif dalam menyusun langkah yang akan diambil. Dalam organisasi, kita tahu penyusun strategi adalah orang-orang pintar. Kemampuan mereka untuk membuat analisa yang tajam tidak diragukan, apalagi bila sudah menyandang gelar S2. Namun, strategi dan implementasi tetaplah dua hal yang berbeda. Itu sebabnya teman-teman pembuat strategi perlu memiliki daya imajinasi yang kuat tentang situasi pelaksanaan, seperti atmosfir, waktu, deadline, enerji, tekanan, situasi sosial yang perlu dirasakan di dalam sistem syaraf, otak dan badan individu. Tanpa pemahaman lapangan yang kuat, rekomendasi dan analisa akan berakhir di kertas saja, bahkan bisa jadi sasaran olok-olok saja.

Biasakan Terlibat

Seorang teman mengatakan bahwa meski bekerja dalam satu “atap”, ia banyak tidak kenal karyawan bagian lain. Padahal, ia mengakui sendiri bahwa jumlah karyawan di kantornya tidak terlalu besar, tidak sampai 80 orang. Saat ditanyakan lebih lanjut proyek apa yang sedang dikerjakan oleh rekan di bagian lain, ia pun hanya geleng kepala. Situasi ini ternyata kerap terjadi di banyak organisasi. Seorang ahli manajemen mengemukakan hasil penelitiannya bahwa !9% karyawan dalam organisasi, secara aktif membatasi diri dan memotong keterlibatannya dengan bagian lain. Ini berarti mereka memang sengaja menutup hubungan dengan bagian lain alias “tidak mau tahu”. Dalam sebuah negara maju, ujar ahli manajemen ini, kerugian sebagai akibat dari ke-’cuek’-an sikap ini bisa mencapai 300 milyar dolar per tahun!

Di dalam organisasi, kita memang tidak selamanya mempunyai akses ke bagian lain atau kantor lain. Hal yang sering tidak kita sadari adalah bahwa kita tidak pernah dilarang untuk tertarik dan mengenal lebih dalam apa yang dilakukan oleh bagian lain. Padahal, rendahnya keinginan mengenal bagian lain, membuat diri kita jadi tidak siap untuk berpartisipasi. Sebagai individu, setiap dari kita yang ingin sukses, perlu mengingatkan diri bahwa ‘engagement’ perlu kita lakukan. Bentuk keterlibatan bisa sangat beragam, seperti menjaga kesamaan visi dengan organisasi dan atasan, juga “walk extra miles” untuk melibatkan keyakinan dan minat di luar tugas yang sudah menjadi tanggung jawab kita. Hanya dengan ‘passion’ yang tinggi terhadap kerja, organisasi dan bahkan negara, kita akan bisa memelihara enerji untuk bergerak, melakukan sesuatu dan bukan sekedar menganalisa dan bicara. Orang yang memilih untuk ‘melakukan lebih’ pasti akan lebih sukses daripada orang yang membatasi diri.

(Dimuat di KOMPAS, 22 Mei 2010)

For further information, please contact marketing@experd.com