Pertanyaan yang menggelitik adalah seberapa tepat orang bisa mengukur “harga diri”-nya dengan upah yang ia terima? Pernahkah kita yang punya pangkat dan gaji besar, merasa diri tidak ada artinya saat pendapat kita tidak didengarkan oleh publik? Dengan kedudukan yang kita miliki, pernahkah kita menghadapi sorot mata yang mempertanyakan, “Siapa Kamu?”, saat kita menginstruksikan sesuatu? Kita yang terkadang terlalu materialistis dan mengejar kekayaan, pastilah ada rasa tertampar juga, misalnya saat menonton film Laskar Pelangi, yang memperlihatkan betapa orang mengejar nilai-nilai yang lebih luhur dan mengebelakangkan upah dan kekayaan.
Kita memang perlu merasa “berharga” untuk membuat kita mampu berdiri tegak, merasa bermakna dan happy di tengah lingkungan kita. Harga diri bisa menjadi masalah kita, terutama saat menghadapi situasi-situasi pelik, di mana kita terjebak di dalam situasi yang sudah tidak obyektif lagi. Kita lihat bahwa seseorang tentu saja pantas membela diri, menyatakan ia benar, bila ia dipermalukan di depan publik. Namun, apa sebenarnya perbedaan antara bersikap defensif dengan tindakan bersikeras menjaga muka profesi, jabatan ataupun diri? Cukupkah untuk meyakini bahwa dengan lurus memegang prinsip kita bisa tetap survive di situasi sosial yang penuh dengan ‘trick’ agresivitas, politik dan kecurangan ini?
Sasar Penguatan Ego
Banyak orang menggunakan kata ego secara salah kaprah. Jika mengacu pada teori yang disampaikan bapak ilmu Psikologi, Sigmund Freud, ego adalah kekuatan penyeimbang pertarungan antara dorongan naluriah untuk mencapai kehendak (Id) dengan tuntutan untuk menuruti nilai-nilai sosial dan budaya (superego). Semakin banyak individu berhasil menyelesaikan konflik, apakah melalui kontrol emosi, rasionalisasi, komunikasi ataupun tindakan yang berfokus pada penyelesaian masalah, maka akan semakin kuat egonya. Seorang yang kuat egonya, mempunyai cukup enerji untuk melawan tekanan, godaan, bahkan hinaan, tanpa harus bersikap defensif atau menyerang balik. Sebaliknya, setua apapun individu, bila ia tetap tidak berhasil menumpuk keberhasilan balancing dalam hidupnya, akan tetap panik dan kurang kontrol, tidak kenal dirinya dan sering mengambil tindakan yang tidak yakininya sebagai tindakan yang benar.
Dalam dunia kerja, eksekutif, birokrasi maupun otokrasi, kita kadang mendengar pengakuan pejabat yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai hati nuraninya karena “diminta oleh atasan”. Bahkan, ada juga individu yang menekan prinsip pribadi dan bertindak atas nama segolongan orang, untuk bertindak tidak fair. Orang yang sedang berjuang untuk menjaga jati dirinya tentu harus berjuang untuk tidak mengalah pada prinsip “cari aman”.
Seorang ahli Kimia, Helen Keller, pernah mengatakan : “Security is mostly a superstition. Avoiding danger is no safer in the long run than outright exposure. Life is either a daring adventure, or nothing.” Individu yang matang tetap harus berpegang pada sasaran dan rencana pribadinya, dalam setiap situasi. Kemenangan pribadi inilah yang bisa menjadi sumber kekuatan moral selanjutnya. Kemenangan mental ini akan menjadi modal kebahagiaan yang bukan main besar nilainya. Orang boleh tidak banyak uang, tetapi bila mentalnya kuat, ia tetap mampu berbahagia. Beginilah cara orang membangun ego-nya.
Tumbuhkan Rasa Berharga
Di sebuah perusahaan, banyak karyawan muda potensial mengeluhkan sulitnya untuk mengemukakan pendapat secara terbuka di depan pimpinan. “Di sini haram hukumnya untuk kita berargumen, apalagi mengatakan tidak.” ungkap mereka. Kita lihat ternyata masih banyak orang dan organisasi yang tidak menyadari betapa menciptakan lingkungan yang asertif sangat besar peranannya untuk menumbuhkan rasa ‘berharga’ dalam diri individu dan tim.
Lingkungan yang tidak asertif, di mana saran dan ide kerap dipatahkan, di mana kita tidak diperkenankan mengemukakan pendapat secara terbuka, serta dianggap kurang ajar bila mengatakan ‘tidak’, sering membuat orang tidak mempunyai kesempatan untuk menghidupkan ‘social smartness’-nya.Demikian juga, social smartness tidak akan berkembang di lingkungan yang tidak tahu cara berbantah, berdiskusi,berdebat tanpa harus mempermalukan lawan bicara. Situasi seperti ini menyebabkan seseorang tidak mempunyai rasa ‘berharga’ bila bisa mengekspresikan cara pikirnya, memilih dan membuat keputusan. Dalam lingkungan seperti ini, seseorang tumbuh tanpa kesempatan merespek dirinya, kurang terasah untuk mengkotak-katik nilai-nilai yang dia anut, apalagi mengkaji ‘wants’ dan ‘needs’-nya. Kita perlu sadar bahayanya tidak bisa merespek diri, karena individu seperti ini tidak akan pernah bisa merespek orang lain secara wajar pula.
“Living Consciously”
Dalam sebuah aktivitas pelatihan, saat saya meminta peserta untuk secara intensif memikirkan diri sendiri, sering saya menghadapi wajah-wajah yang meragukan. Ada yang sambil tertawa-tawa berkomentar: “kalau begitu, kita egois dong...” Kita terkadang memang sering lupa bahwa mengaktifkan pikiran dan mempunyai kesadaran penuh atas apa yang kita hadapi secara internal dan eksternal adalah kunci kematangan dalam bertindak. Kalau kesadaran diri menurun, kita bisa seperti anggota dewan wakil rakyat yang tersorot media namun tidak sadar bahwa ia melakukan tindakan yang kekanak-kanakan. Kitalah yang harus secara aktif, bahkan proaktif, memilih untuk menghadapi situasi eksternal sambil menyadari penuh proses di dalam diri kita, dasar tindakan, motif, nilai, sasaran dan keinginan kita. Bukankah tidak ada seorang pun yang lebih bertanggung jawab menggarap diri kita selain diri kita sendiri?
(Dimuat di KOMPAS, 8 Mei 2010)