Bicara soal ujian sekolah, betapa kita tidak prihatin menyaksikan banyaknya siswa yang shock melihat kenyataan ketidaklulusannya dalam ujian nasional. Ada yang pingsan, bahkan ada yang beramai-ramai merusak sekolahnya sendiri. Hal yang lebih menohok adalah melihat ujian nasional menjadi momok sampai-sampai ada jajaran guru dan sekolah yang tega melanggar etika, bekerja sama membocorkan soal dan kunci jawaban ujian untuk membantu siswanya lulus ujian nasional. Begitu kompleksnya persoalan, sehingga ujian nasional seakan menjadi misteri yang masih sulit dipecahkan.
Teman saya yang berkewarganegaraan asing bertanya-tanya, apakah tidak ada penyamaan kurikulum sehingga setiap guru dan siswa tahu jelas apa yang akan jadi soal pada saat ujian nasional dilaksanakan? Apakah kita memang sudah tidak happy dengan segala macam ujian, pengukuran, assessment, evaluasi, kalibrasi? Bukankah kita tahu bahwa hanya dengan adanya evaluasilah kita bisa menakar, menyamakan persepsi, menjatuhkan pilihan, mendiskualifikasi dan mengambil keputusan. Kita lihat gejala ini tidak hanya terjadi di sekolah. Kita pun melihat banyak orang tidak bisa menakar kompetensinya untuk menjadi calon pimpinan daerah, wakil rakyat, karena tidak jelasnya kriterianya, juga tidak jelasnya “ujian” yang mengesahkan kompetensinya untuk mengisi jabatan yang ada.
Menikmati Ujian
Ketika saya memasuki dunia perbankan, seorang mentor memberikan buku dasar dasar akuntansi yang praktis dan komprehensif. Ketika mentor menanyakan apakah saya sudah menjalankan ujian di bagian belakang, saya terus terang mengatakan bahwa saya tidak mengerjakannya. Saat kemudian mengerjakannya, ternyata saya tidak lulus, sehingga harus mempelajari buku tersebut dari awal. Kita lihat bahwa kita sangat perlu mengetes diri kita untuk melihat efektivitas tindakan kita. Bahkan kalau perlu alat-alat ukur itu bisa dilaksanakan secara mandiri sehingga individu bisa melakukan evaluasi diri dengan leluasa dan mengatur kinerjanya sesuai kekuatan pribadi.
Meskipun di satu sisi kita tahu bahwa pengukuran merupakan alat untuk menjaga efektivitas dan pencapaian, namun tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian besar kita tersiksa menghadapinya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menjelang pengukuran kinerja akhir tahun di perusahaan, tingkat kepanikan yang tergambar dari index tekanan darah tinggi memang meningkat. Seorang konsultan menggambarkan, pintu-pintu yang biasanya terbuka, langsung ditutup dan diwarnai rapat-rapat evaluasi yang menegangkan. Inikah situasinya sehingga kita menghindari evaluasi, kalibrasi atau ujian? Bila dalam kehidupan sehari-hari kita tidak tahan dengan pengetesan ataupun evaluasi, apakah itu oleh atasan, teman, bahkan pelanggan, kita memang bisa dianggap belum lulus kompetensi tersebut.
Sosialisasikan Rahasianya
Seorang profesor pendidikan tersenyum-senyum, ketika saya tanyakan kok bisa-bisanya materi yang diujikan tidak diketahui oleh siswa yang akan diuji. Beliau mengatakan mengatakan, ”Ujian bukan tebak tebak buah manggis. Semua materi yang diujikan sudah sepantasnya diketahui oleh guru dan siswa.” Hal yang sama kita lihat terjadi juga di dunia kerja. Bila apa yang kita tuntut dari individu belum jelas, tentunya ia akan terkaget-kaget menerima evaluasi akhir tahunnya. Sosialisasi mengenai kriteria inilah yang sering kita lalaikan dalam proses evaluasi.
Dalam menentukan kriteria, rasanya kita bisa belajar dari olahraga bela diri yang punya ukuran keberhasilan sangat jelas. Melihat individu mengenakan sabuk hitam kita akan segera merasa segan karena tahu itu berarti senior yang sudah menjalani latihan paling tidak lima tahun. Dalam olahraga bela diri, tidak ikut latihan berapa kali, tidak boleh ikut ujian. Tidak memenuhi kriteria, harus mengulang latihan. Tidak mencapai level tertentu, bisa mendapat sabuk belang. Sebaliknya, bila lulus dengan nilai penuh, maka dengan muka cerah semua orang akan mengakui peningkatan peringkat.
Kriteria inilah yang sering kali tidak jelas, baik dalam pendidikan, dunia pekerjaan, bahkan sebagai warga masyarakat. Sebagai pengendara dan pemakai jalan, seberapa paham kita dengan uji emisi kendaraan bermotor? Yakinkah kita bahwa setiap sopir kendaraan mengetahui apa itu emisi? Apa standarnya? Bagaimana mengukurnya secara kasat mata? Apa bahayanya? Bila kriteria ini tidak dipahami, tentu menjadi rumit untuk menguji, apalagi bila pengukuran yang dilakukan berdampak hukuman. Katakanlah jika tidak lolos uji emisi, kendaraan tidak dapat izin operasi. Bila hasil ujian jeblok, anak tidak bisa masuk perguruan tinggi bahkan harus mengulang masa sekolahnya. Dengan dasar evaluasi kinerja, gaji tidak naik bahkan diganjar mutasi.
Kalau kita pelajari kembali, sebetulnya sistem kelas, sistem kepangkatan dan alat ukur seperti “key performance indicator” sudah ada sejak lama. Bila banyak ujian yang “meleset”, begitu banyak orang yang tidak lulus dan tidak happy dengan evaluasi, bukankah bisa jadi kriterianya yang perlu kita pertanyakan? Mungkin juga sosialisasinya yang kerap kita lalaikan. Inilah PR kita bersama, memperjelas standar ideal, mengapa standar itu dicanangkan, apa yang akan diuji dan bagaimana mengujinya. Dengan demikian kita bisa semakin nyaman dan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dari evaluasi dan penilaian.
Saya iseng bertanya kepada beberapa anak usia 20 tahunan, apakah mereka tahu ungkapan peribahasa: “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Ternyata banyak yang tidak lagi mengenal ungkapan ini. Padahal ini peribahasa asli Indonesia. Saya bertanya-tanya, apakah mungkin ungkapan ini sudah tidak diajarkan lagi dalam pelajaran bahasa Indonesia? Saya terbayang sepuluh atau dua puluh tahun lalu, jika tidak mengenal peribahasa ini, bisa-bisa siswa tidak diluluskan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Bicara soal ujian sekolah, betapa kita tidak prihatin menyaksikan banyaknya siswa yang shock melihat kenyataan ketidaklulusannya dalam ujian nasional. Ada yang pingsan, bahkan ada yang beramai-ramai merusak sekolahnya sendiri. Hal yang lebih menohok adalah melihat ujian nasional menjadi momok sampai-sampai ada jajaran guru dan sekolah yang tega melanggar etika, bekerja sama membocorkan soal dan kunci jawaban ujian untuk membantu siswanya lulus ujian nasional. Begitu kompleksnya persoalan, sehingga ujian nasional seakan menjadi misteri yang masih sulit dipecahkan.
Teman saya yang berkewarganegaraan asing bertanya-tanya, apakah tidak ada penyamaan kurikulum sehingga setiap guru dan siswa tahu jelas apa yang akan jadi soal pada saat ujian nasional dilaksanakan? Apakah kita memang sudah tidak happy dengan segala macam ujian, pengukuran, assessment, evaluasi, kalibrasi? Bukankah kita tahu bahwa hanya dengan adanya evaluasilah kita bisa menakar, menyamakan persepsi, menjatuhkan pilihan, mendiskualifikasi dan mengambil keputusan. Kita lihat gejala ini tidak hanya terjadi di sekolah. Kita pun melihat banyak orang tidak bisa menakar kompetensinya untuk menjadi calon pimpinan daerah, wakil rakyat, karena tidak jelasnya kriterianya, juga tidak jelasnya “ujian” yang mengesahkan kompetensinya untuk mengisi jabatan yang ada.
Menikmati Ujian
Ketika saya memasuki dunia perbankan, seorang mentor memberikan buku dasar dasar akuntansi yang praktis dan komprehensif. Ketika mentor menanyakan apakah saya sudah menjalankan ujian di bagian belakang, saya terus terang mengatakan bahwa saya tidak mengerjakannya. Saat kemudian mengerjakannya, ternyata saya tidak lulus, sehingga harus mempelajari buku tersebut dari awal. Kita lihat bahwa kita sangat perlu mengetes diri kita untuk melihat efektivitas tindakan kita. Bahkan kalau perlu alat-alat ukur itu bisa dilaksanakan secara mandiri sehingga individu bisa melakukan evaluasi diri dengan leluasa dan mengatur kinerjanya sesuai kekuatan pribadi.
Meskipun di satu sisi kita tahu bahwa pengukuran merupakan alat untuk menjaga efektivitas dan pencapaian, namun tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian besar kita tersiksa menghadapinya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menjelang pengukuran kinerja akhir tahun di perusahaan, tingkat kepanikan yang tergambar dari index tekanan darah tinggi memang meningkat. Seorang konsultan menggambarkan, pintu-pintu yang biasanya terbuka, langsung ditutup dan diwarnai rapat-rapat evaluasi yang menegangkan. Inikah situasinya sehingga kita menghindari evaluasi, kalibrasi atau ujian? Bila dalam kehidupan sehari-hari kita tidak tahan dengan pengetesan ataupun evaluasi, apakah itu oleh atasan, teman, bahkan pelanggan, kita memang bisa dianggap belum lulus kompetensi tersebut.
Sosialisasikan Rahasianya
Seorang profesor pendidikan tersenyum-senyum, ketika saya tanyakan kok bisa-bisanya materi yang diujikan tidak diketahui oleh siswa yang akan diuji. Beliau mengatakan mengatakan, ”Ujian bukan tebak tebak buah manggis. Semua materi yang diujikan sudah sepantasnya diketahui oleh guru dan siswa.” Hal yang sama kita lihat terjadi juga di dunia kerja. Bila apa yang kita tuntut dari individu belum jelas, tentunya ia akan terkaget-kaget menerima evaluasi akhir tahunnya. Sosialisasi mengenai kriteria inilah yang sering kita lalaikan dalam proses evaluasi.
Dalam menentukan kriteria, rasanya kita bisa belajar dari olahraga bela diri yang punya ukuran keberhasilan sangat jelas. Melihat individu mengenakan sabuk hitam kita akan segera merasa segan karena tahu itu berarti senior yang sudah menjalani latihan paling tidak lima tahun. Dalam olahraga bela diri, tidak ikut latihan berapa kali, tidak boleh ikut ujian. Tidak memenuhi kriteria, harus mengulang latihan. Tidak mencapai level tertentu, bisa mendapat sabuk belang. Sebaliknya, bila lulus dengan nilai penuh, maka dengan muka cerah semua orang akan mengakui peningkatan peringkat.
Kriteria inilah yang sering kali tidak jelas, baik dalam pendidikan, dunia pekerjaan, bahkan sebagai warga masyarakat. Sebagai pengendara dan pemakai jalan, seberapa paham kita dengan uji emisi kendaraan bermotor? Yakinkah kita bahwa setiap sopir kendaraan mengetahui apa itu emisi? Apa standarnya? Bagaimana mengukurnya secara kasat mata? Apa bahayanya? Bila kriteria ini tidak dipahami, tentu menjadi rumit untuk menguji, apalagi bila pengukuran yang dilakukan berdampak hukuman. Katakanlah jika tidak lolos uji emisi, kendaraan tidak dapat izin operasi. Bila hasil ujian jeblok, anak tidak bisa masuk perguruan tinggi bahkan harus mengulang masa sekolahnya. Dengan dasar evaluasi kinerja, gaji tidak naik bahkan diganjar mutasi.
Kalau kita pelajari kembali, sebetulnya sistem kelas, sistem kepangkatan dan alat ukur seperti “key performance indicator” sudah ada sejak lama. Bila banyak ujian yang “meleset”, begitu banyak orang yang tidak lulus dan tidak happy dengan evaluasi, bukankah bisa jadi kriterianya yang perlu kita pertanyakan? Mungkin juga sosialisasinya yang kerap kita lalaikan. Inilah PR kita bersama, memperjelas standar ideal, mengapa standar itu dicanangkan, apa yang akan diuji dan bagaimana mengujinya. Dengan demikian kita bisa semakin nyaman dan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dari evaluasi dan penilaian.
(Dimuat di KOMPAS, 1 Mei 2010)